Dua

304 29 3
                                    

Happy reading.

***

September 2014


Menjadi seorang istri Nando Mahendra tidak pernah Rana bayangkan akan semenyenangkan ini. Lupakan tentang malam pertama atau apa pun itu yang sering dibicarakan orang-orang, karena kedua orang tua mereka—baik dari pihak Nando maupun Rana—meminta mereka agar menunda momongan. Tentu semua itu Rana terima dengan senang hati. Bukan karena ia tidak menyukai anak kecil, hanya saja ia ingin lebih lama menikmati masa pacaran dengan Nando. Berdua saja tanpa ada tangisan anak kecil di rumah mereka. Belum.

Kurang lebih sebulan ini Rana disibukkan menjadi seorang istri yang baik. Meski tengah melaksanakan ospek, Rana tetap berusaha membuatkan sarapan untuk Nando. Untungnya, ospek yang diadakan selama seminggu itu cepat berlalu. Sekarang, Rana bisa menikmati masa-masa menjadi mahasiswi baru sekaligus seorang istri.

Memilih tinggal di rumah yang sudah disediakan keluarga Nando, mereka menjalankan kehidupan sebagai sepasang suami-istri muda. Teman-teman kampus mereka juga ada yang sudah tahu jika mereka sudah menikah. Bukan karena ada kecelakaan, tetapi murni atas keinginan dan kesadaran mereka berdua untuk membangun rumah tangga.

Meski bahagia bisa 24/7 bersama Nando, rasa rindu itu menyelinap di hati Rana karena tinggal cukup jauh dari orang tuanya. Memilih tinggal dan berkuliah di Bandung, Rana harus meninggalkan keluarganya di Jakarta. Aldo sendiri memilih berkuliah di Jakarta, alih-alih di Bandung seperti Nando dan Rana.

“Kak, nanti pulang sore lagi?” tanya Rana setelah Nando keluar dari kamar mandi.

Lelaki yang masih mengalungkan handuk kecil di leher itu pun menoleh sekilas. Mengambil kemeja yang sudah Rana sediakan di atas kasur, Nando menjawab, “Nggak tahu juga. Mungkin iya. Mungkin juga bisa pulang malam.”

Ada kecewa di dada Rana. Bulan September sudah berada di ujung, tetapi Nando seringnya menghabiskan waktu di kampus ketimbang rumah mereka. Kesibukannya sebagai anggota himpunan mahasiswa cukup menyita waktu sang suami.

“Mau aku masakin apa buat malam nanti?” tanya Rana lagi. Kali ini ia mengekori Nando yang keluar kamar menuju ruang tengah.

“Kayaknya bakal makan di luar kalau pulangnya sampe malem. Kamu masak buat kamu makan sendiri aja, ya.” Nando tersenyum. Mengusap puncak kepala Rana penuh sayang.

“Ya udah deh kalau gitu.”

Rana benar-benar tidak bisa menutupi rasa kecewanya. Hari ini adalah hari Sabtu, Rana tidak ada jadwal kuliah, berbeda dengan Nando. Menyadari mimik wajah Rana yang tidak sedap dilihat, Nando langsung memeluk sang istri. Mengusap punggungnya sambil sesekali mencium ubun-ubun dan dahi Rana.

“Minggu depan,” ucap Nando. “Minggu depan gimana kalau kita jalan keluar? Setelah pulang dari kampus, kita ketemuan di kafe. Gimana?”

Binar di mata Rana langsung berubah. Bibir gadis itu pun langsung merekah sempurna. Tanpa membuat Nando lama menunggu, gegas Rana mengangguk. Tanpa aba-aba ia menenggelamkan diri dalam pelukan Nando. Begitu erat hingga Nando sedikit kesulitan bernapas. Namun mendengar kekehan kecil dari bibir Rana, membuat Nando melupakan hal tersebut.

“Janji, ya. Minggu depan kita kencan!” Rana mengacungkan jari kelingking kanan, tepat di depan mata Nando.

Nando terkekeh geli melihat tingkah istrinya. “Iya, janji.” Tanpa ragu ia mengaitkan kelingkingnya ke kelingking Rana.

“Awas kalo bohong! Nggak  boleh cium-cium lagi!”

“Kalau gitu, aku cium sekarang aja.”

Tanpa memberikan Rana kesempatan untuk merespons perkataannya, Nando langsung mendaratkan bibirnya ke wajah sang istri. Dahi Rana menjadi pendaratan pertama bibir Nando.

Menikah KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang