Dua Puluh Satu

146 15 0
                                    

Juli 2022


Suara gesekan payet yang menyentuh lantai kembali terdengar. Di tempatnya, Yaya berdiri gelisah sambil melempar pandangan ke luar jendela. Entah kenapa detak jantungnya semakin tidak karuan. Hari ini merupakan hari yang bersejarah untuknya, tetapi ketakutan itu tiba-tiba melanda.

Bagaimana jika semua rencana itu batal? Bagaimana jika di detik-detik terakhir Nando berubah pikiran dan meninggalkannya? Terlebih, beberapa minggu ini, Yaya dan Nando sempat adu mulut. Lebih tepatnya, Yaya dilanda cemburu hingga memojokkan Nando tanpa sadar.

Siger yang terpasang sempurna di kepala Yaya, membuat kepala wanita itu sedikit pusing. Padahal ketakutan Yaya yang tanpa alasan itu sudah cukup membuat kepalanya pusing sedari pagi. Yaya bahkan tidak bisa tidur memikirkan ketakutannya tersebut.

Andai saja Yaya tetap bersikap masa bodoh dan lebih mempercayai Nando, maka hatinya tidak segusar sekarang.

Yaya masih mengingat dengan jelas betapa jahat kata-kata yang keluar dari bibirnya setelah menyadari tatapan Nando yang sedikit berbeda pada Rana. Meski sulit untuk mengakui, Yaya tahu posisi Rana di hati Nando tidak akan mudah ia geser.

Yaya mondar-mandir di kamarnya dengan gusar. Meski ditemani beberapa sepupunya yang sibuk berfoto ria karena telah berdandan cantik, tetap saja hati Yaya belum tenang. Meski Nando memaafkan dan memaklumi tingkah Yaya, wanita itu belum meminta maaf pada Nando dengan benar.

“Istighfar aja Ya, biar lebih tenang,” celetuk salah satu sepupunya. Yaya terlalu fokus pada kegusarannya hingga kata-kata sepupunya terdengar seperti bisikan di telinga.

Tanpa disuruh, sebenarnya Yaya sudah mengucap istighfar berulang kali. Yaya sadar, semua ini mungkin cobaan baginya dan Nando karena tengah menuju jalan yang diridhoi Tuhan.

Letih karena mondar-mandir di kamarnya, Yaya memilih duduk di pinggir ranjangnya yang sudah dihias dengan kelopak mawar putih. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya, tak lupa merapal istighfar, barulah Yaya bisa sedikit lebih tenang.

Para tamu undangan yang terdiri dari para tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan ke kediaman Rina dan Heru. Suara para tamu yang saling bersapa di luar sana, terdengar jelas dari kamar Yaya. Menambah kegugupan Yaya yang semula sempat berkurang.

“Acaranya mulai jam berapa?” tanya Yaya pada Tari yang kini masih menemani wanita itu di kamar. Sedangkan sepupu Yaya yang lain telah keluar untuk menikmati kudapan ringan selagi menunggu rombongan calon mempelai laki-laki.

“Jam sembilan, ‘kan?” sahut Tari.

Yaya melirik jam di display ponselnya. Sekarang telah pukul delapan lewat lima belas menit. Seharusnya saat ini rombongan keluarga Nando masih berada di perjalanan. Atau malah sudah dekat dengan rumah Heru dan Rina.

Mencoba menenangkan sang sepupu, Tari menggeser duduknya dan menggenggam tangan Yaya. Wanita muda itu lantas tersenyum.

“Tenang aja, Abang Nando pasti datang kok. Mungkin sekarang masih di jalan.”

Yaya juga berharap demikian. Namun entah kenapa, pikiran jika Nando tidak datang di akad nikah mereka membuat Yaya dilanda ketakutan. Apalagi beberapa bulan yang lalu, Yaya sempat menonton berita perihal mempelai laki-laki yang tidak datang ke kediaman mempelai wanita. Padahal saat itu tamu undangan telah hadir untuk menyaksikan akad nikah yang sakral.

Waktu terus berputar, tetapi belum juga ada tanda-tanda kedatangan rombongan keluarga Nando ke kediamannya. Yaya semakin gusar dibuatnya. Ingin menghubungi Nando, tetapi Yaya menahan diri. Dia harus lebih bersabar lagi dan meyakinkan diri bahwa Nando akan datang. Yaya yakin Nando adalah lelaki yang bertanggung jawab dan tidak akan kabur di acara akad nikahnya sendiri.


***

April 2020


Soni meraih ponselnya di atas dashboard. Kembali ia melihat aplikasi maps sesuai dengan link yang dibagikan Aldo padanya.

Seharusnya Soni mengiakan saja ajakan Aldo untuk bertemu di kafe, sebelum akhirnya menyambangi kediaman keluarga Rana. Namun Soni menolak dengan alasan bahwa ia ingin sekalian jalan-jalan memutari Jakarta yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan.

Seolah tahu Soni tengah dilanda kebingungan, Aldo menghubunginya di waktu yang tepat. Panggilan tersebut langsung Soni terima karena arahan dari Aldo sangat ia butuhkan saat ini.

“Posisi lo di mana?” tanya Aldo, to the point. Sepertinya lelaki itu tahu bahwa Soni kemungkinan besar kesasar. Karena Soni belum juga tiba di rumahnya, walaupun waktu yang dijanjikan lelaki itu untuk berkunjung telah berlalu cukup lama.

“Ehm, di depan rumah dua tingkat pagar hitam,” sahut Soni. Matanya menatap sekeliling demi mencari titik vital agar Aldo bisa segera mengetahui posisi yang tepat mengenai keberadaan Soni.

“Rumah dua lantai? Coba lo maju kayak sepuluh meter, ada lapangan voli apa nggak?”

Soni menuruti arahan Aldo dan benar saja, ada sebuah lapangan voli di sebelah kanan jalan.

“Iya, ada lapangam voli di sebelah kanan. Terus gue mesti ambil jalan yang mana?”

“Di depan ada pertigaan, ‘kan? Lo belok kiri aja. Terus nanti kalau ada masjid, lo lurus aja sampe mentok, baru belok kanan. Nanti gue berdiri di depan pagar.”

“Oke. Gue on the way.”

Sambungan telepon pun berakhir. Soni kembali meletakkan ponselnya di dashboard dan melajukan mobilnya seperti yang telah diarahkan Aldo.

Mobil Soni pun berhenti setelah netranya menangkap sosok Aldo yang berdiri di depan pagar berwarna hijau daun. Lelaki itu tampak santai mengenakan kaos oblong dan celana pendek selutut.

“Parkir di depan aja,” ujar Aldo. Mengarahkan Soni untuk parkir di tepi jalan yang cukup mempunyai sisi lebar. Sehingga tidak akan mengganggu pengguna jalan yang lain.

“Ternyata lumayan juga jaraknya dari rumah gue,” kata Soni setelah berdiri di hadapan Aldo.

“Ya udah, masuk aja dulu. Bokap sama Nyokap udah ada di dalem, nungguin lo.”

Soni mengangguk. Lelaki itu pun mengikuti langkah Aldo yang melenggang memasuki rumah berlantai dua tersebut.

Kedatangan Soni untuk yang pertama kalinya, disambut Radit dan Annisa dengan tangan terbuka. Meski tanpa kehadiran Rana di sana, Soni dengan mudahnya mengobrol dengan Radit.

“Jadi Rana nggak tahu kalau kamu ke sini?” tanya Radit, bersamaan dengan Annisa yang baru saja datang dari dapur. Diletakkannya secangkir kopi di hadapan Soni, tak lupa menyediakannya juga untuk Radit.

Aldo memilih duduk di ruang keluarga dengan TV yang menyala. Namun lelaki itu memasang baik-baik telinganya agar bisa mendengar percakapan antara Soni dan kedua orang tuanya di ruang tamu.

“Iya, Om. Tapi Rana udah tahu kok aku bakalan main ke rumah. Cuma waktunya kapan, Rana nggak tahu,” jelas Soni.

“Nak Soni, diminum kopinya,” ujar Annisa.

“Iya Tante.” Soni mengangguk, lalu menyesap kopi yang dihidangkan Annisa.

“Jadi, maksud kedatangan kamu ke rumah saya itu apa?” tanya Radit to the point.

Soni yang ditanyai seperti itu sontak saja langsung tersedak kopi. Beruntung, cairan hitam pekat itu tidak muncrat begitu saja dari mulutnya. Mata Radit yang menatapnya lurus membuat Soni ketar-ketir dibuatnya.

Meletakkan kembali cangkir kopinya ke atas meja, Soni berdeham pelan. Tenggorokannya terasa kering tiba-tiba. Padahal baru saja ia minum beberapa teguk kopi yang dihidangkan Annisa.

“Ehm, maksud kedatangan saya ke mari, karena saya ingin mengenal keluarga Rana lebih dekat lagi, Om,” kata Soni susah payah. Entah kenapa di bawah tatapan tajam Radit yang seolah mengulitinya, membuat kepercayaan diri Soni perlahan menciut.

Dari tempatnya, Aldo yang mendengar itu hanya bisa terkekeh pelan. Situasi ini sudah pernah Aldo lihat sebelumnya. Tentu saja orang yang berhadapan dengan Radit saja yang berbeda.

“Mengenal keluarga Rana lebih dekat?” ulang Radit. “Kamu ingin mengenal keluarga Rana sedekat apa?”

Ada intimidasi dari suara dan tatapan Radit. Namun Soni sebisa mungkin memupuk kepercayaan dirinya lagi. Soni sudah melangkah sejauh ini dan memberanikan diri menghadap langsung kedua orang tua Rana. Soni tidak akan mundur lagi setelah ia berada di tahap ini.

“Saya ingin serius dengan Rana, Om, Tante,” kata Soni. Ditatapnya Radit dan Annisa secara bergantian. Berbeda dengan yang tadi, kali ini kesungguhan terlihat di mata Soni yang menyala karena semangat. Sesuatu yang bisa dilihat Radit dengan jelas.

“Serius yang bagaimana yang kamu maksud?” pancing Radit. Lelaki di hadapannya ini, entah kenapa membuat Radit begitu tertarik. Radit ingin tahu seberapa kuat Soni akan bertahan dengan semua intimidasi yang sengaja ia lakukan.

“Saya mencintai Rana, anak Om dan Tante. Meski saat ini Rana tidak ada di samping saya dan bahkan tidak mengetahui kedatangan saya ke mari, saya benar-benar ingin menjadi pendamping hidup Rana. Saya meminta izin dan restu dari Om dan Tante agar bisa menjadi pendamping yang layak bagi Rana.”

Radit terdiam tanpa kata. Bibirnya terkunci erat, membuat tidak hanya Soni yang bertanya-tanya apa yang saat ini tengah Radit pikirkan, tetapi juga Annisa dan Aldo. Aldo bahkan kini sengaja mendekatkan tubuhnya ke arah ruang tamu. Benar-benar penasaran dengan jawaban yang akan Radit lontarkan atas ucapan Soni tadi.

Radit mendesah, tahu bahwa Soni memang sedang tidak main-main dengan ucapannya. Lelaki yang kini tengah menjalin hubungan asmara dengan anak gadisnya itu benar-benar tengah meminta restu Radit dan Annisa agar bisa menjalani hubungan yang lebih serius dengan Rana.

“Apa kamu tahu rahasia yang Rana simpan?” tanya Radit, membuat Soni mengernyitkan dahinya.

“Maksud Om?” tanya Soni bingung.

“Apa kamu pernah diberitahu Rana bahwa ia pernah menikah sebelum bertemu dengan kamu?”

Pupil Soni membesar. Terlalu terkejut denga napa yang baru saja ia dengan dari Radit. Tidak hanya Soni, tetapi Annisa dan Aldo juga tidak menyangka bahwa Radit akan membeberkan fakta itu. Annisa bahkan menyentuh lengan Radit dan menggeleng pelan begitu suaminya itu menoleh.

Tatapan Annisa yang penuh kekhawatiran itu seolah memberitahu Radit bahwa belum saatnya Soni tahu mengenai fakta tersebut. Bukan hak Radit ataupun Annisa untuk memberitahu Soni bahwa Rana sudah pernah menikah.

Radit tersenyum. Mengabaikan tatapan Annisa, Radit kembali menatap Soni yang bergeming. Dari raut wajah Soni, Radit sudah bisa menebak jawaban dari pertanyaannya barusan.

“Om tebak, Rana belum memberitahu hal ini ke kamu.”

Soni mengerjap. Susah payah Soni menelan ludahnya sebelum mengangguk membenarkan.”"Iya, Om, Rana belum cerita sama saya. Mungkin belum saja.”

“Lalu, setelah kamu mendengar hal ini, apa kamu masih tetap ingin bersama anak saya? Setelah tahu Rana pernah menikah, apa kamu tetap ingin mengenal keluarga ini lebih jauh lagi? Bahkan Rana saja tidak memberitahu kamu bahwa ia sudah pernah menikah. Lalu kamu masih ingin menjalin hubungan yang serius dengan anak saya?”

Soni mengerjap, sedangkan Radit dengan sabar menunggu jawaban. Jantung Soni serasa berhenti berdetak setelah dipukul Radit secara bertubi-tubi dengan kata-katanya.

Hati Soni mendadak goyah. Ucapan Radit membuat Soni kepikiran. Selama ini, Rana sama sekali tidak pernah memberitahu Soni mengenai statusnya. Rana tidak pernah sekali pun membuka cerita bahwa ia sudah pernah menikah.

Bukan Soni hendak menghakimi Rana kalau wanita itu sudah pernah menikah lalu bercerai. Hanya saja, Soni sangat memikirkan mengenai seberapa penting ia di dalam hidup Rana. Selama bertahun-tahun bersama, sebenarnya apa posisi Rana di hati Soni? Ucapan Radit membuat Soni seolah tersadar dari mimpi panjang.

“Sa—saya mencintai Rana, Om,” ucap Soni pelan. “Apa pun status Rana, saya akan menerimanya. Saya tidak peduli apakah Rana sudah pernah menikah atau belum. Saya akan tetap mencintai Rana.” Soni menatap Radit dengan sorot penuh keyakinan.

Radit manggut-manggut. Tidak menyangka Soni akan tetap berdiri tegak setelah intimidasi yang ia lemparkan.

“Kamu begitu mencintai Rana anak saya?” tanya Radit, sekedar ingin memastikan sesuatu.

Soni mengangguk tanpa ragu. “Saya mencintai Rana dengan sepenuh hati saya.”

“Walaupun Rana ternyata seorang janda?” kejar Radit.

“Saya tidak peduli akan hal itu, Om. Saya benar-benar mencintai Rana.”

Radit tertegun dengan keteguhan hati Soni. Tatapan yang Soni keluarkan saat ini, sangat berbeda dengan tatapan lelaki yang dulu melamar Rana saat usia sang wanita belum genap berusia tujuh belas tahun.

Meski Radit tahu kedua lelaki itu mencintai anak gadisnya, tetapi kesungguhan dan kebulatan tekad di mata Soni saat ini, tidak Radit temukan di mata Nando kala itu. Bukan Radit membedakan niat baik Soni dan Nando. Sungguh Radit tidak mempunyai maksud seperti itu.
Hanya saja, sebagai seorang ayah dan lelaki yang pernah merasakan kegugupan menemui wali sang pujaan hati, Radit memiliki pandangan sendiri terhadap dua lelaki yang pernah meminta izinnya untuk menjalin hubungan dengan Rana.

Radit tidak berusaha untuk berat sebelah, tetapi saat ini kesungguhan Soni lah yang ia inginkan untuk dimiliki lelaki yang tengah berhubungan dengan anak gadisnya. Nando memang serius saat melamar Rana, tetapi terasa kurang bagi Radit. Walaupun saat itu Radit menerima Nando untuk menikahi Rana.

“Setelah kamu tahu Rana sudah pernah menikah, lalu apa langkah kamu selanjutnya? Apa kamu akan meminta Rana untuk bercerita?”

Di luar dugaan, Soni menggeleng. Mungkin karena faktor umur mempengaruhi, respons Soni saat ini benar-benar berbeda dengan Nando yang kala itu berusia belasan tahun.

“Saya tidak akan pernah memaksa Rana, kalau ia tidak ingin berecerita. Meski saya sudah tahu fakta mengenai masa lalu Rana, saya akan menunggu hingga Rana mau membagi kisahnya sendiri dengan saya. Saya yakin, Rana pasti punya alasan tersendiri kenapa hingga sekarang Rana belum mau berbagi cerita dengan saya mengenai perceraiannya. Saya akan menunggu sampai Rana sendiri yang berbagi dengan saya tanpa saya minta.”

“Meski Rana tetap membungkam mulutnya hingga akhir, kamu tetap tidak akan memaksa Rana untuk buka suara?”

Soni mengangguk. “Kalau Rana tidak ingin bercerita, pasti ada alasan di baliknya. Saya tidak ingin membuat Rana tidak nyaman, hanya karena saya egois ingin mengetahui masa lalunya. Demi kenyamanan dan kebahagiaan Rana, saya tidak ingin egois dengan melakukan sesuatu yang tidak Rana sukai.”

“Baiklah kalau begitu,” desah Radit. “Kamu yakin tidak akan menyesal dengan keputusan yang sudah kamu ambil ini?”

“Tentu, Om. Saya tidak akan pernah menyesal.”

***

Yuhu!
Ada yang nungguin Menikah Kembali update?
Aku harap ada.

Btw, kalian #TimNando atau #TimSoni nih?

Psst, ada bocoran. Next part akan ada yang memancing emosi. Penasaran?

Tungguin aja ya update terbaru Menikah Kembali.

Oh iya, mampir juga ke ceritaku yang baru aku posting di Wattpad. Ceritanya juga ada di Karyakarsa juga loh. Masih gratis. Tenang aja.

Bring Me Back! mengusung genre fantasi. Karena tokoh utamanya kesedot ke dalam dunia lukisan. Penasaran? Yuk buruan mampir ke Bring Me Back!!

Xoxo

Winda Zizty 💜

7 September 2022

Menikah KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang