Bagian 7

123 20 0
                                    

TAP!

Tepukan pada pundak seakan bagai tombol ON yang membuat suaraku keluar dengan sangat kencang.

"KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKK!!!!"

Gaya tolakan yang terlalu besar membuat tumpuan pada kaki tidak seimbang.
Aku terjungkal ke depan dengan lutut yang terasa seperti jeli, mencium lantai vinyl yang untungnya setiap hari ku bersihkan.

GEDUBRAKK!!!

"Kau baik-baik saja?"

Pertanyaan bodoh macam apa yang dia lontarkan? Memangnya kalau terjatuh dan wajah mencium lantai itu akan baik-baik saja?
Oh, apa kau tidak dengar suara maha dahsyat baru saja itu?

Benar, rasanya aku ingin meneriakinya tepat didepan wajah.

Tapi, tunggu. Dia... siapa?

Siapa pria kurang ajar yang berani masuk ke rumah seorang gadis ting ting?

"Sepertinya lututmu lecet."

Dare?

Dare ga?

Aku yang masih menunduk sambil menangkup wajah lalu mendongak.

Mataku membulat dengan sosok yang kini berjongkok dihadapanku.

"Senseiiii????!!!!"

Dia, pria itu, sedang menutup kedua telinga dengan tangan miliknya.
"Wow, suaramu ternyata bisa senyaring ini."
Dia menurunkan tangan dan sedikit menggerakan kepala. "Gendang telingaku bisa saja rusak kalau tadi tidak ditutup.

"Tunggu. Kenapa rambutmu basah? Badanmu? A-! Tidak! Bukan itu!" Aku menggelengkan kepala dengan cepat. Ucapanku sudah tak berstruktur.
"Kenapa kau bisa ada disini?!"

Pria dihadapanku itu menyugar surai putih keperakan.
"Aku memakai kamar mandimu karena saat datang aku kehujanan."

Aku dengan bodohnya mengerjapkan mata.

Situasi macam apa ini? Apa aku masih bermimpi?

"Kok... kau bisa.... ma... suk (?)" Gumaman kecil keluar dari mulutku.

"Kan kau memberitahu sandinya padaku di telfon."

Aku memiringkan kepala. 'Kapan? Kapan aku memberitahunya?'

"Kau tidak demam, kan?" Ditempelkannya punggung tangan besar di dahiku.

Rasanya hangat yang perlahan membuat wajahku turut menghangat.

"A- kau sedikit lebih hangat dari dahiku." Selorohnya dengan tampang datar tanpa dosa.

Tangan besar miliknya berganti tempat. Kali ini  ia meletakannya di pipi kiri ku. "Sepertinya kau demam."

Kyaaaaak!!!! Demi dewi Amor! Tolong singkirkan pria penggoda iman ini dari hadapanku!!!!!

"Tidak. Aku tidak bisa berteriak seperti itu." Gumaman ini meluncur begitu saja tanpa saringan.

"Hm? Memangnya apa yang ingin kau teriakan?" Pria dihadapanku semakin mendekatkan wajahnya pada wajahku.
Jaraknya sangat dekat sampai hidungku mengembang begitu besar.

Tangannya yang sangat lembut dan hangat itu bergerak turun, seolah tengah menyapu sesuatu di bibir dan mengangkat sedikit dagu ku.

Nafasku tercekat dengan bola mata yang hampir keluar.

"Oh, bibirmu sedikit berdarah." Dia kembali dalam posisi jarak aman.

Helaan nafas keluar dengan sangat lega. Setidaknya pria dihadapanku ini bukan bermaksud untuk menciumku.

"Cepat cuci muka, lalu kita sarapan bersama."

Sensei sudah berdiri dan aku yang hendak mengangguk ini tiba-tiba tersadar akan sesuatu. 'Bersama?'

Akupun mendongak. "Tobirama-sensei... kau memasak dirumahku?"

"Oh- maaf. Tapi aku harus membuatkanmu sesuatu karena sepertinya kau sakit. Maaf karena tidak meminta izin dulu sebelum menggunakan dapurmu." Dia berucap sambil mengusap tengkuk.

Aku menahan senyum melihat kecanggungan dari ekspresi wajah pria yang terlihat sangat gagah ini.
Sambil bangkit, aku membungkuk singkat didepannya. "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, sensei!" Diakhiri dengan senyum tulus penuh kasih yang sudah lama tak ku keluarkan ini.

Tapi, apa-apaan ekspresinya itu?!
Bola matanya melebar dan sedikit memicing dibagian ekor. Sebelah alisnya juga terangkat dan...

'Ah... manisnya... wajah Tobirama-sensei sedang bersemu.'





Tobirama: "Awas ya, akan ku balas senyum mautmu itu nanti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tobirama: "Awas ya, akan ku balas senyum mautmu itu nanti. Tunggu saja! Aku pasti akan membalasnya!"

HEALERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang