Weird Offer

363 53 0
                                    


Suara Geral masih terdengar di telinga dan sentuhannya begitu nyata. Namun aku tidak menemukan apa pun saat mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. Jantungku mencelos ketika telapak tanganku malah menepuk angin bukannya menemukan jemari panjang pemuda itu. Meski begitu, aku memutuskan untuk menghentikan langkah dan memastikan semuanya. Sosok Geral—yang kuyakini ada di sini beberapa saat lalu—mendadak lenyap. Tangan Geral juga tidak pernah ada karena tanganku ternyata hanya menepuk bahuku sendiri.

Aku menarik napas, dadaku kembali terasa sesak. Tentu saja, kan. Semua ini hanya ilusi karena Geral sudah meninggal. Aku bahkan menyaksikan peti matinya tertimbun tanah. Aku saja yang terlalu banyak berharap. Mana mungkin orang yang sudah dikubur dua hari lalu mendadak ada di sini. Aku mengembuskan napas dengan kecewa dan mataku mulai berair.

Aku tahu Geral memang benar-benar telah pergi. Aku sadar semua itu. Namun, aku tidak terima. Tidak mau mengakui dan masih berharap pemuda tersayangku itu kembali. Bibirku melipat mencoba menahan air mata yang sepertinya bisa turun kapan saja. Tidak. Tidak, aku harus kuat. Sendirian mungkin tidak seburuk itu.

Ya, tidak seburuk itu. dengan tekad itu, aku mengangkat kepala lalu memaksa bibirku mengulum senyuman. Selanjutnya, menarik napas. Aku akan baik-baik saja. Ya, meski mungkin ekspresi wajahku terlihat mengerikan sekarang, aku ingin tetap berusaha karena katanya senyuman itu menular. Jadi aku berharap senyuman di bibir akan menular ke dalam hatiku, hingga membuatku sedikit lebih baik.

Aku melanjutkan perjalanan dan terus melangkah sampai di depan apotek. Jemariku baru menyentuh handle pintu kala mataku terantuk pada papan iklan yang telah miring dan usang di atas ruko sebelah. Ruko itu terletak di sebelah apotek, hanya dibatasi oleh satu ruko lain yang menjual tas dan aksesoris. Ruko usang itu tampak kontras dengan ruko lainnya yang tampak bersih dan rapi. Papan usang juga membuat tempat itu terlihat mengerikan.

Ruko itu sangat usang dan tampaknya terbengkalai. Sarang laba-laba menempel di dinding ruko dengan santainya. Entah ingin menambah kesan horor atau hanya ingin menunjukkan betapa malasnya pemilik ruko aneh ini. Aku menatap ruko itu sekali lagi dan memiringkan kepala ketika membaca nama Madam Alisia tertera di papan. Namun, bukan soal fakta kalau ruko itu usang atau nama pemiliknya yang membuatku tertegun, tetapi fakta kalau sepertinya aku tidak pernah melihat ruko itu sebelumnya. Aku memiringkan kepala dan menatap tempat itu tanpa berkedip. Jadi, sejak kapan ruko usang itu ada di situ? Apa selama ini hanya aku yang tidak pernah lihat? Atau selama ini aku hanya tidak memperhatikan saja?

"Ada yang aneh?"

Aku terkesiap kala mendengar suara tidak jauh dari tempatku berdiri sekarang. Bukan hanya sapaannya yang terdengar tidak ramah, perempuan pemilik suara itu juga menyeramkan. Perempuan muda berambut hitam legam dengan tindik di hidungnya kini menatapku. Dia kini berdiri tidak jauh dari tempatku sekarang. Matanya tampak menyelidik. Sementara itu aku malah memperhatikan pakaian serba hitam yang dikenakannya sekarang dan pikiranku sedang berdebat sendiri soal kemungkinan perempaun itu kegerahan atau tidak.

"Enggak ada," kilahku berbohong sambil membuang muka.

"Oh iya?"

"I—ya," sahutku setegas mungkin sambil mencoba menenangkan bibirku yang gemetar.

"Oh." Perempuan itu memiringkan kepala. Manik matanya masih menatapku lekat-lekat.

Aku berdeham pelan lalu buru-buru bergerak kembali memasuki apotek. Entah kenapa berlama-lama ditatap setajam itu membuatku risih.

"Tunggu dulu!"

Aku tidak peduli dengan panggilannya dan berniat untuk langsung mendorong handle pintu.

One Thousand DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang