Hari ini, lagi-lagi aku mencoba melewati hari dengan mencoba untuk bahagia. Ya, matahari cukup cerah untuk membawa keceriaan dan seharusnya mampu membuatku mengabaikan soal kenyataan bahwa sekarang aku benar-benar sendirian. Aku menarik napas berat, sepertinya aku masih belum bisa. Namun, setidaknya aku ingin berusaha.
Langkah pertama yang bisa kulakukan adalah membuka toko bunga itu yang sempat terabaikan sejak Geral di rumah sakit hingga akhirnya pemuda itu meninggal. Aku berharap bisa memulai dari tempat ini karena toko ini harus segera dirawat atau akan hancur selamanya mengingat bunga-bunga juga mulai layu di dalam vas. Bahkan bunga yang kutanam di pot tidak menunjukkan tanda-tanda akan segar kembali meskipun aku telah mengguyurnya dengan air sejak kemarin.
Aku menarik napas lalu mulai membersihkan tempat ini. Selama bersih-bersih, pikiranku kabur ke mana-mana. Kepalaku menggeleng beberapa kali, mencoba untuk menghapus semua pikiran buruk yang melintas. Sementara itu, kemoceng di tanganku bergerak di sela-sela rak kayu membawa debu beterbangan ke udara.
Ketika debu yang menempel di setiap sudut mulai berkurang dan tempat ini sudah terlihat lumayan bersih, aku meraup tangkai-tangkai bunga layu yang terbengkalai dan mengangkutnya ke dekat mobil pick up di depan toko. Semua sisa tanaman ini harus dibuang ke tempat pembuangan akhir terdekat, mengingat tidak mungkin menaruh sampah sebanyak ini di bak sampah depan rumah.
"Bersih-bersih, Za?"
Aku menoleh ke arah datangnya suara. Seorang ibu gemuk yang tinggal tepat di samping rumah kini menyapa. Tangannya sibuk menggoyangkan kipas ke kiri dan ke kanan. Mungkin dia baru saja selesai menonton acara gosip pagi hari dan memerlukan teman untuk berbicara atau berbagi info gosip terbaru.
"Iya, Tante."
"Sendirian saja?"
"Iya."
"Kenapa Alex enggak ngebantuin, kan dia bisa bantu kamu beresin rumah kalian yang kusam itu?"
Kata-kata terakhirnya menyengatku hingga membuatku langsung mengamati rumahku. Ya memang bangunan itu catnya tidak lagi sebagus dulu, bahkan beberapa bagian sudah mengelupas. Memang benar kalau rumah itu terlihat sangat kusam dan kelam. Sejujurnya, aku lupa sejak kapan perubahan warna ini terjadi karena rumah ini sebenarnya cukup mewah di masa lalu dengan empat pilar tinggi di teras yang menantang. Ditambah dengan gazebo beratap kubah melengkung di taman depan. Dua pilar lain berdiri tegak di sisi kiri mengapit dua buah veranda. Dua pilar lain terletak di kanan dengan posisi sama persis seperti di sisi satunya. Satu hal yang tersisa dan cukup indah dipandang adalah bunga-bunga di veranda atas memang masih mekar. Meski begitu, bunga-bunga itu tetap tidak mampu menutupi warna cat di tembok yang mulai menguning.
"Tapi, catnya yang kusam malah menyamarkan rumahmu karena akhir-akhir ini banyak maling berkeliaran. Mungkin itu bisa jadi keuntungan buatmu," katanya lagi sebelum aku mengatakan apa pun. Mungkin wanita itu sudah tidak sabar untuk menebar kebencian karena lawan bicaranya tidak merespon. Dia juga bersikap seolah ingin bersimpati, tetapi sayangnya kata-katanya terlalu tajam untuk disebut perhatian.
"Maling?" Aku membeo, meski sebenarnya aku enggan menanggapi semua hal yang dikatakan wanita itu.
"Iya, maling. Katanya beberapa orang dengan senjata dan membawa mobil. Mereka nyuri di rumah warga secara acak."
Aku jadi berpikir ulang karena topik yang dibicarakan oleh wanita itu dan Alex nyaris sama. Jangan-jangan sekarang memang sedang musimnya maling-maling menjarah rumah warga secara acak.
"Jadi korbannya tidak pasti ya, Tante?"
"Ya, bisa dibilang begitu. Bisa jadi rumahmu bakalan kena, Za. Kemungkinannya cukup besar buat itu," sahutnya dengan kening berkerut seolah-olah sedang berpikir.
Padahal aku tahu pasti kalau semua ini hanya sebentuk sindiran atau pancingan untuk membahas topik yang lebih jauh dari itu. Mungkin soal ayah dan kakakku yang tidak pernah datang lagi atau soal fakta kalau mereka meninggalkanku sendiri. Aku tidak tahu pasti, tetapi kemungkinan topik yang dibahas tidak akan jauh dari situ.
"Tidak ada yang bisa dijarah dari Tan, tidak apa-apa di rumah," kataku mencoba untuk tetap sabar—setidaknya berusaha untuk berpura-pura jadi penyabar.
Wanita itu menarik alisnya ke atas lalu mendengus, terdengar sebal. "Rumahmu ada di ujung dan kamu tinggal sendirian, itu bisa jadi alasan kuat perampokan."
Aku mengerutkan kening saat mendengar kalimat buruk terlontar dari mulutnya. Bisa-bisanya dia mengatakan hal jahat begitu dengan mudah. Namun, aku memilih untuk mengatakan apa pun sebagai jawaban. Setidaknya dengan begitu wanita itu akan segera pergi. Meski begitu, kata-katanya tetap membuatku penasaran hingga aku melirik ke tikungan jalan.
Rumahku memang berada paling ujung tepat berada di tikungan. Pos siskampling memang ada di dekat jalan masuk, namun cukup jauh dari rumahku. Kalau terjadi sesuatu maka aku akan sendirian. Apalagi kamera cctv di depan garasi itu tiba-tiba saja rusak selama beberapa minggu terakhir. Entah sejak sebelum kematian Geral atau setelahnya, aku sendiri tidak bisa memastikan. Kalau ada maling masuk ke rumah maka mereka tidak akan tertangkap kamera. Ah, sudahlah. Tidak akan ada apa-apa.
"Berhati-hati tidak ada salahnya, Za. Apalagi kamu tinggal sendirian!" ucapnya lagi seakan-akan dia tahu apa yang kupikirkan.
"Tentu, Tan. Terima kasih." Aku mengangguk setelah tersenyum.
"Selamat bersih-bersih, ya!" katanya sebelum bergerak menjauh meninggalkanku. Mungkin bosan karena tidak mendapatkan gosip apa pun.
"Iya, terima kasih," sahutku sambil menatap pinggulnya yang gemuk dan tampak bergoyang seiring langkah kakinya.
Kata-kata wanita itu membuatku sedikit takut. Ya, aku hanya bisa berharap, semoga saja tidak ada apa-apa. Semoga Tuhan bersedia mengabulkan doaku kali ini setelah banyak doa di waktu lain yang jarang terkabul.
Aku menaruh satu tumpuk terakhir tangkai yang layu ke dalam bak mobil. Setelah membuang ini, maka aku harus mampir ke supplier untuk memesan bunga segar dan mengabari pelanggan via sosial media kalau toko bunga milikku akan mulai beroperasi lagi besok. Kalau pergi sekarang maka siang hari nanti aku sudah ada di rumah. Aku berharap dengan sibuk bekerja akan membantuku melupakan kesedihan yang sejak kemarin terus bergelayut.
Setelah menyelesaikan semuanya, aku mengunci toko setelah meraih kunci mobil dan tas selempang. Aku juga memastikan sekali lagi kalau gerbang depan telah digembok lalu aku masuk ke dalam mobil. Mesin pick up menderu kencang tidak lama setelahnya, aku melirik sekali lagi ke arah rumah dan memastikan bahwa gerbang depan telah digembok. Ketika aku merasa tidka ada masalah lagi, aku menekan pedal gas. Hari ini mungkin akan jadi hari yang sibuk dan aku tidak perlu memikirkan hal-hal yang tidak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Thousand Days
FantasyJuara ketiga dalam The Goosebumps Love yang diadakan oleh @WattpadRomanceID Salah satu kepercayaan menyebutkan kalau arwah manusia yang telah meninggal akan tetap berada di dunia sampai peringatan seribu hari kematiannya. Ada lagi yang bilang kalau...