Pilihan

91 20 0
                                    


Angin dingin yang tertiup ke dalam ruangan membuatku membuka mata seketika. Aku menguap lalu bergerak pelan menuruni ranjang karena gorden di kamarku kini melambai-lambai. Kurasa aku lupa mengunci jendela hingga terbuka setelah ditarik angin. Aku harus segera menutup jendela kalau tidak ingin masuk angin saat tidur nanti. Lenganku baru saja terjulur untuk meraih daun jendela saat mataku menangkap satu sosok yang bergerak mendekati pagar depan rumah.

"Eh, siapa deh?"

Aku menggosok mata dan mencoba memastikan sosok yang kini terlihat dari kejauhan. Eh, masa sih? Tidak salah lihat, kan?

Tapi, tidak salah lagi sosok itu adalah Geral. Masalahnya, kenapa dia keluar malam-malam begini?

Mataku semakin membesar saat Geral berjalan di bawah lampu gantung di pekarangan. Kemeja pemuda itu berbercak merah nyaris di sepanjang lengan. Aku melebarkan kelopak mata untuk memastikan kalau penglihatanku tidak salah. Ternyata bercak yang sangat besar itu masih di sana. Kenapa ada bercak merah di kemejanya? Dan bercak apa itu?

Aku menutup bibirku, mungkinkah itu darah? Tapi, darah apa?

Ini buruk. Benar-benar buruk. Aku buru-buru menutup jendela dengan cepat lalu memelesat menuju pintu untuk memastikan kalau kamar ini sudah terkunci. Firasatku buruk, jadi aku tidak ingin bertemu atau berhadapan dengan pemuda itu.

Setelah mengunci pintu, aku kembali ke ranjang. Tidak tidur, hanya duduk saja. Mungkin besok aku harus membeli senjata atau setidaknya tongkat pemukul. Rasanya benar-benar menakutkan kalau setiap malam selalu seperti ini. Aku meraih ponsel dan menekan nomor Alisia. Dialah satu-satunya orang yang bisa membantu.

Sialnya sampai beberapa kali deringan, gadis itu tidak kunjung mengangkat telepon dariku. Aku meremas benda itu erat-erat sambil mendengarkan suara yang muncul di luar sana. Selama itu, aku juga mencoba menghubungi Alisia lagi.

Napasku tertahan kala langkah kakinya terdengar menapaki anak tangga. Geral berjalan masuk dan sudah ada di lantai yang sama denganku. Tidak lama setelahnya, suara air dari kran mengucur deras. Kecipak air terdengar keras menampar baik air. Haruskah aku keluar? Apa aku harus bertanya padanya?

Tapi, saat Geral hampir membuat nyawaku melayang kemarin malam masih memenuhi pikiranku. Kejadian itu masih membuat bergidik ketakutan sampai sekarang jadi mungkin akan lebih baik kalau tidak keluar. Pada akhirnya, aku memilih tetap berdiam di kamar.

Suara kecipak air itu berhenti tidak lama setelahnya. Suara yang kudengar setelahnya adalah suara pintu yang terbanting. Aku menarik napas lega. Setidaknya mungkin aku aman untuk malam ini. Aku terkesiap ketika ponselku mendadak bergetar. Nama Alisia mengambang di layarnya yang menyala.

"Halo! Alisia!" Aku langsung menyapa tanpa menunggu sahutan darinya begitu sambungan telepon telah masuk.

"Ya?"

"Kamu belum tidur."

"Aku terbangun kebelet pipis. Ada apa?"

"Apa kita bisa ketemu?" tanyaku tanpa basa-basi. "Sebentar saja!"

"Untuk apa? Kangen?"

"Bukan. Ini penting."

"Aku kecewa kamu tidak kangen aku."

"Alisia, serius dikit, bisa?!"

"Ke sini saja!"

"Kapan?"

"Terserah!" sahutnya acuh tak acuh.

"Sekarang bisa?"

"Di kios," katanya pendek.

One Thousand DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang