Geral terus menggandeng tanganku. Senyuman juga masih terpasang di bibirnya sementara kami berjalan menyusuri trotoar. Jalanan masih ramai dengan pejalan kaki dan kendaraan yang berlalu lalang. Geral membukakan pintu ketika kami sampai di restoran yang dituju. Kami kemudian berjalan hingga deretan meja paling ujung dan menaruh pantat di atas kursinya.
Setelah itu, Geral mencatat pesanan sementara aku mengamati pemandangan jalanan dari jendela. Sesekali aku mengiyakan kala Geral menanyakan nama menu padaku. Selebihnya, aku lebih memperhatikan penerangan yang temaram di tempat ini. Aku suka suasana di tempat ini. Pemilihan lampu yang sedikit redup membuatku merasa memiliki sedikit privasi meskipun kami berada di tempat umum. Geral berhasil memilih tempat yang membuatku nyaman untuk menghabiskan waktu.
"Enza!"
"Ya?" Aku kini menoleh untuk menatapnya. "Kenapa?"
"Enggak apa-apa, cuma mau manggil kamu saja biar noleh ke aku," katanya masih dengan senyuman mengembang.
"Ini aku sudah fokus buat mandangin kamu."
Pemuda itu tidak menjawab lagi, tetapi menarik tanganku lalu mengenggamnya. Aku menurut kala dia menarik jemariku mendekati pipinya. Mengusapkannya perlahan sementara matanya masih menatapku tanpa berkedip. Itu cara Geral mengungkapkan kalau dia menyayangiku. Mencintaiku melebihi kata-kata cinta yang pernah ada. Katanya itu arti tindakannya. Entah benar, entah tidak, dan aku lebih memilih untuk percaya karena hanya dia milikku satu-satunya.
Perlakuan manisnya berhenti kala pramusaji datang membawakan pesanan kami. Geral mendorong es teh ke arahku. Tanpa menunggu lebih lama, aku langsung menyesapnya. Balok-balok es di dalam gelasnya masih utuh dan bergerak bertumbukan kala airnya berkurang. Geral sendiri mulai sibuk memotong-motong daging di piring dan mendorongnya ke arahku. Aku menerima dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu aku dan dia menikmati makanan tanpa banyak bicara.
Waktu makan menyita waktu tanpa bicara. Kami hanya saling menatap lalu tersenyum, setelah itu terfokus pada piring masing-masing. Kurasa sekarang sudah cukup lama untuk tidak mengucapkan sepatah kata pun. Namun, aku belum ingin bicara. Pikiranku masih berputar di antara mimpi buruk dan bayangan anak kecil yang kulihat. Anak yang tidak pernah kuingat, tapi sering kulihat.
Aku tidak tahu sejak kapan anak itu ada di sekitarku. Anak itu datang tanpa aba-aba seperti kemunculannya tadi siang. Aku tidak tahu siapa dia, identitasnya, umurnya atau apa pun tentangnya. Entah semua itu adalah hal terakhir yang kuingat saat kecelakaan hebat belasan tahun silam terjadi, atau malah sebenarnya anak itu tidak pernah ada, aku sendiri tidak tahu. Anehnya, setiap dia muncul, rasanya juga tidak asing.
"Kamu mikirin apa sih, Za?"
"Masih soal anak kecil yang kulihat."
"Anak kecil yang mana?" Geral yang tengah mengiris daging di piringnya langsung mendongak untuk menatapku. Mata hitamnya terlihat mulai menyelidik.
"Anak kecil yang kubilang sering kulihat, Geral."
Geral memiringkan kepala, mungkin sedang mencoba mengingat. "Biar aku enggak bingung, coba kamu cerita lagi deh, Za!"
"Oke."
Aku menarik napas pelan. Kemudian mulai bercerita. Selama aku menceritakan soal anak itu, sekelebat bayangan mengerikan kembali membayang di mataku. Bocah mungil itu, dia menertawakanku saat itu. Dia selalu muncul di pelupuk mata. Satu wajah dengan berbagai macam ekspresi. Kadang, dia sedih, marah, mengejek, sinis bahkan menangis. Bocah itu sangat kreatif dalam memilih variasi ekspresi untuk menyiksa orang lain.
"Ah, bocah yang itu."
"Iya, benar."
"Bukankah kamu bilang pernah bilang kalau anak itu tidak ada lagi. Apa dia kembali?" sahut Geral sambil memasukkan sepotong daging ke dalam mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Thousand Days
FantasyJuara ketiga dalam The Goosebumps Love yang diadakan oleh @WattpadRomanceID Salah satu kepercayaan menyebutkan kalau arwah manusia yang telah meninggal akan tetap berada di dunia sampai peringatan seribu hari kematiannya. Ada lagi yang bilang kalau...