Helianthus annuus

107 21 1
                                    


Tubuhku membeku saat tangan Geral kini bergerak ke arahku. Napasku tertahan sementara jantungku berdebar-debar. Kalau Geral mencekik atau menyerangku lagi kali ini maka aku benar-benar tidak bisa menghindar. Aku menggigit bibir sementara aku berusaha melangkah mundur. Arggh! Sial! Tubuh ini kenapa enggak sadar kalau dalam bahaya sih?

Rasanya jantungku merosot jatuh ketika tangan Geral malah jatuh di kepalaku. Aku masih terpaku dan mencoba menggerakkan jari-jariku saat tangan Geral masih menepuk kepalaku. Perlakuan ini manis, tapi dadaku masih sesak dan sensasi dicekik semalam masih terasa. Leherku tidak nyaman.

"Kamu kenapa sih, Za?"

"Ah, enggak, aku cuma kaget."

"Kaget karena lama enggak ditepuk kepalanya?" tanya Geral dengan wajah masih seceria sebelumnya.

"Semacam itu."

"Kalau begitu, kupeluk ya biar kamu biasa."

Aku belum sempat menolak saat tubuh Geral bergerak mendekat. Pemuda itu kini merapatkan tubuhnya dan melingkarkan lengannya. Pergelangan tangannya yang halus menggosok leherku. Wangi segar tubuh Geral menyeruak masuk menembus indra penciumanku. Aku meneguk ludah dan mencoba sekuat tenaga untuk menenangkan diri. Pelukan ini terasa akrab. Geral seing memelukku sementara satu tangannya menepuk bagian belakang kepalaku. Tangannya juga bergerak turun kemudian menggosok tengkukku. Ini perlakuannya yang biasa meski kalau sekarang membuatku merinding.

"Aku belum mandi," ucapku ketika usapan Geral membuat bulu kudukku makin meremang.

"Enggak masalah kok, Za. Aku suka meluk kamu meski kamu gak mandi setahun."

"Jangan konyol!

"Aku serius."

"Lakukan lagi nanti kalau aku sudah mandi." Aku kembali mencoba berkelit dan menyusun alasan agar dilepaskan.

"Kapan?"

"Ya, nanti."

"Okelah."

Geral kini melepaskan pelukannya hingga aku bisa melihat wajahnya. Untaian senyum masih terangkai di bibirnya. Meski begitu, kalau mengingat kelakuannya semalam membuatku bergidik. Namun, kalau melihat ekspresi wajah pemuda itu, sisa kekejamannya semalam hilang tanpa bekas. Justru aku yang lebih mirip orang yang tidak bisa membedakan mimpi dan kenyataan. Mungkin orang lain yang melihatku sekarang berpikir kalau aku mulai berhalusinasi. Meski begitu, aku berani bersumpah kalau kejadian semalam itu nyata. Tetapi, sekarang pun juga terlihat nyata. Aku benar-benar tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. Mungkin aku hanya perlu mencoba bertanya.

"Sayang!"

"Ya?"

"Semalam kamu mimpi apa?"

"Mimpi?" Geral terlihat berpikir sejenak. "Kayaknya enggak ada mimpi deh karena habis kita pulang langsung tidur dan tahu-tahu pagi."

"Tahu-tahu pagi?"

"Iya, aku bahkan enggak bangun sama sekali semalam."

"Oh ya?"

"Kamu khawatir aku enggak nyaman, ya?" tanya Geral dengan senyuman tipis. "Jangan khawatir, aku tidur nyenyak banget sampai enggak bangun sama sekali bahkan buat pipis."

"Baguslah," ucapku pelan sembari menelan ludah.

Ini aneh. Geral sama sekali tidak mengingat kejadian semalam seolah-olah dirinya berjalan dalam mimpi. Kalaupun aku menjelaskan kepadanya maka kemungkinan Geral juga tidak paham. Jika aku melakukannya malah membuat Geral makin merasa bersalah. Aku menarik napas berat. Sudahlah. Aku juga tidak ingin Geral menyadari kegelisahan yang kurasakan. Dia Geralku yang kupanggil dengan susah payah, aku hanya harus percaya kalau dia memang sudah kembali dan kejadian semalam hanyalah mimpi. Setidaknya dengan begini aku juga bisa jadi lebih tenang—semoga.

One Thousand DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang