He was as Good as I Remember

83 19 0
                                    


Aku berjalan cepat memasuki rumah. Banyak gagasan-gagasan buruk muncul di dalam benakku sekarang. Sejujurnya, aku masih tidak yakin kalau Geral membunuh anjing itu semalam. Selain, Geral yang kukenal tidak sekejam itu, apalagi pada binatang. Rasanya alasan membunuh karena anjing itu menyalak terdengar konyol dan tidak masuk akal. Anjing yang bahkan mungkin tidak berkaitan dengannya. Sialnya, aku tetap tidak bisa memahami situasi ini.

Anehnya, rumahku sesepi biasanya. Mataku menyisir ke segala arah, Geral tidak tampak di mana pun. Bahkan saat ke kamarnya, ruangan itu kosong. Aku baru saja berbalik dan hendak berjalan keluar kala mataku terantuk pada keranjang baju kotor di pojok ruangan. Kemeja yang dikenakan Geral semalam seharusnya ada di tempat itu. Tanpa menunggu waktu lama membuka keranjang itu. Aku mendesah pelan, keranjang itu kosong.

"Enza!"

Aku terkesiap saat suara Geral terdengar. Bukan hanya itu, pemuda itu ternyata langsung menaru tangannya dan melingkari leherku. Desiran tidak enak mulai terasa sementara bulu kuduk di tengkukku mulai meremang. Sejak kapan Geral ada di tempat ini?

Aku bahkan tidak menyadari saat dia masuk. Bahkan langkah kakinya saja luput dari telingaku. Sialnya, aku selalu melupakan satu hal, sejak dia hidup kembali aku sama sekali tidak pernah bisa memprediksi kedatangannya. Langkah kaki pemuda itu sekarang seringkali begitu halus hingga nyaris tidak terdengar.

"Za, kamu dengar aku, kan?"

Aku buru-buru mengangguk. "Aku dengar kok, Sayang."

"Kapan kamu pulang? Kok enggak kendengeran suaranya."

"Barusan saja kok, wajar kalau kamu enggak dengar," ucapku sambil melirik keranjang cucian.

"Ah, soal cuciannya, aku sudah cuci semua pakaian kotor." Geral menyusupkan tangannya di dekat bawah ketiak dan menarikku berdiri. "Makan, yuk!"

"Kamu masak juga?" tanyaku keheranan.

"Iya dong," katanya terdengar bangga.

Aku berbalik untuk menatapnya. Seketika keningku berkerut. Celemek berhias kepala panda tampak lucu di tubuh cowok jangkung itu. Melihat ini ketegangan yang tadi kurasakan langsung mereda. Tawaku juga meletup pelan.

"Celemeknya lucu, ya?" tanya Geral dengan tawa riang.

"Iya, lucu banget. Kamu jadi imut!"

"Seriusan?"

"Iya."

"Makasih, ya," ucap Geral sambil menyarangkan satu cubitan di pipi. "Yuk, kita makan!"

Geral kemudian mendorongku mendekati meja makan. Kelopak mataku langsung melebar saat melihat jejeran makanan di atas meja. Bukan hanya nasi dan satu jenis lauk, akan tetapi beberapa macam. Aku yakin, dia pasti berusah payah untuk membuat semua ini.

"Kamu memasak semuanya?"

Geral tersenyum lagi lalu mengangguk. "Kesukaanmu," katanya sambil menunjuk deretan rolade berwarna keemasan yang berjajar rapi di piring.

Aku belum mengucapkan apa pun saat Geral langsung memaksaku untuk duduk. Pemuda itu dengan cekatan menyiapkan makanan di piring. Sesekali aku memandangi wajahnya dan dia buru-buru tersenyum seolah sangat sadar kalau sedang diamati. Dia juga mengulurkan tangannya untuk menepuk puncak kepalaku setelah aku menerima piring berisi nasi pemberiannya.

Tidak ada yang berubah dari tingkah lakunya. Geral yang semanis dan sebaik yang kuingat. Mendadak aku merasa bersalah karena mencurigainya. Geralku mungkin tidak akan pernah membunuh hewan tidak berdosa. Sesakit apa pun kematian, mungkin tidak akan mengubah seseorang sampai sedrastis itu. Kalau dasarnya baik seperti Geral maka pasti tidak akan berubah meski sudah pernah melewati ajal dan kembali lagi.

"Kamu juga duduk dan makan dong!" kataku memerintah.

"Pasti. Jangan khawatir!"

Geral kemudian memposisikan diri di sampingku. Seperti yang biasa kami lakukan. Duduk berdampingan membuat kami merasa lebih dekat, setidaknya itulah yang selalu diucapkannya. Kata-kata dan pelakuannya itu yang selalu membuatku berpikir kalau dia menawan sekaligus sempurna.

"Enak enggak?"

"Enak." Aku menyahut jujur, masakan Geral memang selalu enak. Masakanku tidak ada separuh rasa hasil buah tangannya.

"Ngomong-ngomong kamu tadi ke mana, Za? Kok pagi-pagi udah enggak ada?"

Aku nyaris tersedak. Akhirnya dia bertanya juga mengenai hal ini. Aku tidak mungkin bicara jujur padanya. Untuk itu, aku mencoba untuk menenangkan diri sebelum melontarkan jawaban.

"Beli kopi, ya?"

Pertanyaan Geral bagai percikan kembang api yang memicu jantung untuk berdetak semakin kencang. Bagaimana dia tahu? Mungkinkah dia mengikutiku atau minimal tahu tujuanku keluar tadi pagi.

"I—iya. Kok tahu."

"Itu ada di meja," kata Geral sambil menunjuk ke ujung meja.

Aku mengikuti telunjuk Geral yang menunjuk karton berisi gelas kopi. Ingin rasanya aku membenturkan kepala ke tembok sesegera mungkin. Bodohnya. Tentu saja dia tahu aku membeli kopi saat dia menemukan karton berisi gelas kopi. Astaga! Mungkin aku sudah mulai gila.

"Ah! Aku lupa kalau tadi aku juga membeli sarapan, kupikir kamu belum masak," ucapku sambil menepuk kening—aku benar-benar tidak ingat soal nasi uduk itu.

"Iya, kita bisa makan nasi uduknya nanti ya, soalnya kita sudah terlanjur makan," katanya lagi.

Aku mengiyakan. Setelahnya, aku menarik napas lalu bergerak berdiri. Sekarang aku mendekatinya. "Geral!"

Pemuda itu menoleh saat aku merangkulkan lengan ke lehernya. Maafkan aku. Sungguh. Aku ingin mengatakannya tapi lidahku terasa kelu. Ingin sekali melepaskan semua kecurigaan ini. Ingin mempercayainya. Ingin mencintai pemuda ini tanpa keraguan. Aku mau semuanya kembali seperti dulu. Namun, aku sama sekali tidak bisa mengucapkan satu patah kata pun.

"Sayang!" Suara Geral terdengar lembut. "Ada apa?"

"Enggak ada apa-apa." Aku kembali berbohong sembari menggigit bibir. Entah sampai kapan aku harus terus berbohong dan berpura-pura seperti ini, aku sendiri tidak tahu jawabannya. "Aku cuma kangen."

Geral tidak mengucapkan apa pun, dia hanya menepuk lenganku. Membiarkan aku memeluknya. Pemuda ini mungkin tidak memahami tindakanku sama sekali, tapi membiarkanku memeluknya seperti ini tanpa menanyakan apa pun membuatku sangat berterima kasih.

"Aku mau makan," ucapku sambil melepaskan pelukan.

Geral mengangguk. Lagi-lagi tidak bicara. Setelahnya juga, tidak ada pembicaraan berarti. Geral hanya mengajakku bicara tentang acara gosip yang tayang di salah satu stasiun televisi pagi ini. Sepertinya dia menonton sambil memasak. Aku juga senang menimpali obrolan ringan itu, lagi pula sepertinya itu yang aku butuhkan setelah beberapa hari terlalu sibuk berbohong dan berpura-pura.

"Hari ini mau ke toko?" tanya Geral ketika aku menyelesaikan makanan di piring.

"Kamu mau ikut?"

"Boleh."

"Kamu bosan, ya?"

Geral mengangguk. "Tapi, aku enggak apa-apa asal ada kamu di sini."

Aku menepuk punggung tangannya. "Aku juga sama. Kita makan dulu terus mandi dan baru pergi."

"Oke."

Setelah makan, aku akan mandi dan kami akan ke toko. Setidaknya itu yang kami rencanakan hari ini. Kuharap hari ini akan jadi hari yang biasa saja dan tenang seperti sebelumnya.


One Thousand DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang