Traumschnipsel

76 17 0
                                    


Kepala Geral sudah terkulai. Darah pekat mulai membasahi rambutnya. Kakiku lemas, napasku mulai pendek-pendek karena dadaku mendadak sesak. Kerumunan orang mulai mendekat untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Sementara aku masih terpaku di tempatku berdiri. Tubuhku membeku seperti patung, padahal perutku melilit hingga rasanya seperti diaduk. Jalanan juga mulai miring.

Aku serius, aku enggak bohong. Tempat ini miring dan tidak datar lagi. Saat tubuhku mulai limbung dan mulai jatuh ke atas aspal, aku hendak berteriak. Namun, suara pekikanku tidak keluar. Yang keluar dari mulutku malah cairan kental dengan rasa asam yang pekat. Aku terbatuk ketika muntahan dari mulutku meluber di jalanan. Kepalaku berputar dan rasanya berat.

"Kamu enggak apa-apa, Kak?"

Aku mendongak dan menemukan seorang perempuan yang kini berdiri di dekatku. "Iya, enggak apa-apa."

Setelah mengusap bekas muntahan di sudut bibir, kini mataku kini beralih pada kerumunan yang terdengar ramai. Orang-orang yang ada di sekitarku saling berbicara dan menanyakan soal keluarga atau teman yang bisa menolong pemuda malang bersimbah darah itu. Aku bahkan mendengar salah satu dari mereka berteori kalau kepala Geral mungkin sudah pecah.

Aku beranjak berdiri. Bergerak lambat dengan kepala berat untuk menerobos kerumunan. Kakiku juga lemas, tetapi aku masih belum menyerah. Ketika aku berhasil mendekat, Geral masih terkulai lemas di jalanan bersama beberapa orang yang menolong.

"Sa—saya keluarganya," kataku sambil berjalan mendekat.

Kini aku bersimpuh di sampingnya dan mengangkat kepala pemuda itu ke pangkuan. Air mataku mengalir deras saat melihat mata Geral masih saja terpejam. Jemariku menyentuh keningnya dan mengusap rambutnya yang lengket akibat cairan kental itu.

"Ge—Ge—ral, aku mohon buka matamu!" Bibirku gemetar menyebut namanya.

Aku menggoncangkan tubuhnya dan tetap mengabaikan orang-orang kini masih saling berbicara satu sama lain. Aku masih bisa mendengar salah satu mereka yang katanya menghubungi polisi dan ambulans.

"Tolong, Tolong dia," kataku sambil menoleh.

"Iya, Kak, sabar. Katanya ambulans sebentar lagi datang," kata seorang perempuan yang berdiri tidak jauh dariku.

"Jangan tunggu ambulans, kalau bisa pakai kendaraan yang ada dulu saja!" kataku setengah memaksa. "Nanti saya ganti uangnya."

"Iya, Mbak. Pakai mobil saya juga gak apa-apa," kata yang lain.

Untung saja, suara sirine mobil ambulans mulai terdengar mendekat. Ketika mobil itu akhirnya sampai dan berhenti tidak jauh dari posisiku sekarang, beberapa orang menyentuh bahuku. Mereka menawari untuk membantu berdiri meski aku masih menangis. Aku menurut dan ikut berdiri kala petugas paramedis sudah datang.

Para petugas itu sekarang turun sambil membawa matras. Petugas paramedis mengangkat tubuh Geral yang masih pingsan ke dalam mobil ambulans. Mereka juga memapahku naik ke dalam mobil. Tidak menunggu waktu lama sampai mobil itu mulai bergerak.

Begitu mobil berjalan, aku menggigit bibir. Tanganku sekarang memegangi tangan Geral yang terkulai lemas. Matanya masih terpejam dan dia tidak bergerak sedikit pun. Aku benar-benar takut sekarang.

"Aku gak akan maafin kamu kalau kamu pergi sekali lagi!" ucapku di sela tangisan.

Sesampainya di rumah sakit, Geral langsung dibawa masuk ke ruang operasi. Sambil menunggu, aku menghubungi Alex. Meski aku malas menjelaskan kejadian ini kalau kakakku itu datang, hanya saja pria itu lebih tahu cara menangani masalah ini. Selama ini, dialah yang membereskan semua masalah yang kuperbuat. Harus kuakui, seburuk apa pun kelakuannya, Alex adalah satu-satunya orang yang akan berlari untuk menolongku.

Sambil menunggu Geral ditangani, banyak pikiran buruk berlarian di dalam kepalaku. Peristiwa ini bisa jadi akan berakibat buruk. Hal terburuk itu mungkin saja bisa berupa tereksposnya identitas jasad yang ditempati Geral. Kalau itu terjadi maka kemungkinan orang yang mengenalnya akan mulai mencari keberadaanya. Memang kecil kemungkinan, akan tetapi manusia tidak pernah tahu bukan. Tidak akan ada yang bisa menebak kalau misalnya salah satu orang yang mengenal Rael terselip di antara paramedis yang berkejaran di rumah sakit ini atau pengunjung rumah sakit. Tidak ada keterangan kalau pemuda itu yatim piatu—Alisia juga tidak pernah menjelaskan. Untuk itulah, aku memerlukan Alex, meski tidak ingin.

Aku masih duduk di bangku. Meremas rambutku. Pikiranku tetap tidak bisa tenang. Firasat buruk rasanya berkejaran satu persatu di dalam kepala. Kematian pertama Geral disebabkan oleh kecelakaan. Sekarang, dia juga mengalami kecelakaan. Sejujurnya aku takut kecelakaan ini menjadi jalan untuknya pergi lagi.

Aku takut karena katanya dunia punya sistem alami untuk mengembalikan semuanya ke tempat seharusnya. Karena seharusnya Geral sudah mati. Benang hidupnya mungkin sudah lama putus dan aku memaksanya untuk menyambungnya kembali. Kedatangan Geral ke dunia bukan hal yang seharusnya terjadi dan mungkin aku telah mengacaukan takdir. Selain itu, kehadiran Geral mungkin membuat banyak perubahan yang seharusnya tidak terjadi. Semacam butterfly effect.

Memikirkan semua ini membuatku making pusing saja. Aku menyandarkan kepala di tembok dan menatap langit-langit.

"Kamu ngantuk, Sayang?"

Aku menoleh kala mendengar suara feminim yang tidak asing itu. Aku menarik napas dan mengerjap. Ada sosok perempuan yang tengah mengemudi. Perempuan itu duduk di sampingku. Jemariku mulai mengucek mata. Kalau ini hanya sekadar halusinasi maka aku harus tersadar secepatnya. Tapi, Bunda tidak menghilang.

Lagu yang diputar di radio juga masih terdengar. Suara tenor penyanyi pria itu terdengar merdu dan penuh harapan. Kini aku menoleh ke sekeliling dan mencoba mencerna yang terjadi. Ini mustahil. Bagaimana bisa aku ada di dalam mobil sekarang padahal aku jelas-jelas ada di rumah sakit?

Aku menoleh dan menatap perempua itu. "Bunda?"

"Iya, Enza," sahutnya. "Kamu ngantuk? Mau tidur?"

Saat sosok itu menjawab, aku lagi-lagi mengusap mata. Akan tetapi sosok Bunda tidak mau menghilang. Sementara itu mobil kami melaju cepat. Aku tersentak kala mendengar suara keras. Napasku tertahan saat mengalihkan pandangan dari Bunda ke depan—ke jalanan. Bagian depan mobil itu menabrak seseorang. Aku tidak bisa melihat jelas orang itu. Satu hal yang pasti, sosok yang tertabrak itu terpelanting. Tubuhnya kemudian terjatuh di kaca depan mobil hingga menimbulkan bunyi berderak. Setelahnya, aku tidak bisa melihatnya lebih lanjut karena mendadak perutku seperti ditonjok kala kursi yang kududuki berputar.

Suara yang lebih keras terdengar sekarang hingga aku menutup mata. Rasanya aku muntah—atau entahlah karena mobil ini sekarang bergerak mirip gasing. Saat putaran itu terhenti aku menoleh. Kepala Bunda terkulai di sampingku. Darah juga mengucur membasahi wajahnya. Meleleh turun dari mata Bunda dan keningnya yang sobek.

"Bunda!" ucapku.

"Bunda!!!"

Saat aku berteriak, aku merasakan suara tepukan di pipi. Kelopak mataku terbuka sementara napas tersengal. Wajah Alex kini berada tepat di hadapanku.

"Kamu ketiduran?" tanyanya.

Aku menoleh sekeliling. Hal yang kulihat adalah koridor di dekat ruang operasi. Kini aku tidak lagi ada di dalam mobil. Aku mengembuskan napas dan mencoba menenangkan diri. Jadi, aku tadi mimpi?

Tapi, masa sih? Hal yang kulihat itu terlalu nyata untuk disebut hanya mimpi saja.

Lalu, kalau bukan mimpi, maka siapa sosok yang ditabrak Bunda dan jatuh ke kaca depan mobil? Dilihat dari tubuhnya sepertina bukan orang dewasa. Tapi, bukankah Geral sendiri yang bilang kalau tidak ada anak kecil malam itu? Tidak ada korban lain juga selain dirinya dan Bunda dalam kecelakaan naas hari itu?


One Thousand DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang