Legacy (1)

82 17 0
                                    


Saat pemuda itu membuka mata, hal yang terpikirkan pertama kali olehku adalah identitas jiwa yang ada di tubuh itu. Aku yakin ada Geral di sana, akan tetapi tanpa kepastian apa pun apa yang bisa kuyakini. Aku juga takut kalau Alex mengetahui soal Geral yang ada di tubuh itu. Apalagi pemuda itu baru membuka mata, efek anestesia masih ada jadi segala kemungkinan bisa terjadi.

"Rael!" ucapku dengan suara pelan.

Namun, pemuda itu tidak merespon panggilanku. Tidak lama setelahnya matanya memejam lagi.

"Kok tidur lagi?"

"Mungkin efek obat, Za. Rael kan habis kecelakaan, jadi rasanya gak mungkin bisa sadar secepat ini."

"Iya sih," kataku membenarkan.

"Kalau kamu khawatir, Kakak panggil dokter?"

"Kayaknya gak perlu deh. Mungkin Kakak benar, reaksi Rael barusan karena efek obat," kataku setelah mengamati Rael.

Pemuda itu berbaring dengan napas teratur. Tidak terlihat aneh atau ganjil. Alat-alat yang terpasang di tubuhnya juga terlihat normal. Semuanya juga sama seperti sebelumnya. Lagi pula, merepotkan paramedis di pagi-pagi buat seperti ini rasanya juga tidak mengenakkan.

"Kakak panggilin dokter dulu deh."

"Tapi—"

"Kamu kelihatan khawatir banget soalnya, Za," kata Alex beralasan. "Gak apa-apa kok."

Alex benar-benar pergi sebelum aku sempat mengatakan apa pun. Dokter datang tidak lama setelahnya. Pemeriksaan dilakukan dengan cepat dan katanya Rael baik-baik saja. Tidak ada yang aneh dan kami hanya perlu menunggu pemuda itu sadar. Baru setelah itu, pemeriksaan lanjutan dapat dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya efek lanjutan paska operasi.

"Nah, kalau begini kan kamu sudah bisa tenang."

"Iya sih, makasih ya, Kak."

"Kamu mau pulang dulu?"

Aku berpikir sejenak lalu mengangguk. Aku bisa pulang ke rumah untuk mandi, mengambil pakaian ganti juga. "Kakak mau pulang juga?"

"Iya, mau berangkat kerja."

"Oke."

Aku memutar tubuh untuk menatap Rael yang masih tenggelam dalam ketidaksadaran. "Kami pulang dulu ya, Rael. Nanti aku ke sini lagi, gak lama kok."

Setelah berpamitan, kamu berjalan keluar dari ruangan. Kami melewati koridor rumah sakit yang sepi dan melangkah beriringan menuju area parkir. Alex mengantarkanku sampai di rumah. Selama itu, kami tidak banyak mengobrol.

"Kakak sudah isi saldo tabunganmu."

"Lho, kenapa?"

"Buat keperluan kamu di rumah sakit."

"Tapi, Kak. Aku juga punya uang. Kakah sudah bayar tagihan rumah sakit juga," protesku.

"Kakak tahu. Gak banyak kok. Jadi, jangan dibalikin, oke!"

Aku hanya bisa mengangguk. "Kalau begitu makasih, Kak."

"Sama-sama, Za. Nanti hati-hati ya ke rumah sakitnya, Kakak bisa nyusul nanti agak malam." Alex kini mengulurkan tangan dan mengusapkan ke pipi Enza. Matanya yang ada di balik kacamata terlihat menyipit saat bibirnya mengulum senyuman.

"Kakak juga. Hati-hati di jalan."

"Iya."

Aku turun dari mobil dan menutup pintunya dengan pelan. Alex tersenyum sekali lagi sebelum menekan pedal gas dan memacu kendaraannya menjauh. Setelah Alex pergi, aku segera masuk ke dalam rumah.

One Thousand DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang