Unsettling Observations

91 18 1
                                    

Mendengar perkataan kakak laki-lakiku itu, aku menarik napas. Rasanya masih kesal, tetapi aku tidak ingin memperpanjang masalah. Apalagi aku masih butuh Alex untuk membantuku membayar tagihan rumah sakit karena sejujurnya aku tidak punya cukup banyak uang di rekeningku saat ini. Aku sendiri tidak yakin kalau uangku akan cukup untuk membayar biaya perawatan Rael saat ini.

"Za!"

"Iya, enggak apa-apa, Kak. Kuharap Kakak juga berhenti membahas soal Rael dan alasan dia bekerja di rumah."

"Oke, Kakak paham. Maaf," katanya. "Oh iya, tagihan rumah sakit untuk Rael sudah dibayar, jadi kamu tidak perlu khawatir lagi."

Perkataan Alex membuatku lega. Mungkin aku tidak tahu malu, tetapi setidaknya aku tidak perlu mengkhawatirkan biaya rumah sakit sekarang. Meski aku harus menelan harga diriku, asal Geral sehat-sehat saja maka kurasa itu harga yang pantas.

"Terima kasih, Kak. Aku sungguh-sungguh berterima kasih."

Alex tersenyum lalu menepuk kepalaku. "Enggak perlu berterima kasih. Kita kan saudara, harus saling membantu."

Aku mengangguk setuju, lalu aku memperhatikan sekelilingku. Ruangan rumah sakit ini lumayan luas dan terawat dengan baik. Setidaknya Geral dirawat di tempat terbaik dan akan sembuh nantinya.

"Lebih baik sekarang sekarang kamu istirahat, Za!"

"Apa?"

"Istirahat, Enza!"

"Tapi, Kak—"

"Kakak akan menjaga Rael. Kamu istirahat, oke?" potongnya cepat saat aku bahkan belum selesai bicara.

"Aku masih mau di sini."

"Kamu bisa tidur di dalam mobil. Jadi, kamu tetap ada di sini, kan? Atau mau ke hotel depan saja?" Alis Alex bertaut, pertanda dia tidak ingin dibantah.

"Mobil saja," kataku akhirnya.

Senyuman merekah di wajahnya saat aku akhirnya mengangguk dan menyetujui usulnya. Aku menurut juga kala dia menarik tanganku, menuntunku melalui koridor memanjang yang semula ramai kini mulai lengang. Mataku lurus memandang ke depan. Aku bukan hanya sekali atau dua kali di rumah sakit malam-malam begini. Suasana rumah sakit selalu seperti ini. Akan tetapi, semuanya jadi tidak sama lagi sejak malam naas itu.

Malam itu, semua orang berlalu-lalang kala itu. Isak tangis berbaur dengan jeritan kala jenazah Bunda terbaring di atas brankar. Bunda tidak bergerak sementara darah menutupi hampir separuh wajahnya. Napasku tercekat. Kejadian malam itu terulang lagi tiga bulan lalu saat Geral mengalami kecelakaan. Saat aku berlari menyusuri koridor malam itu, hanya untuk menemukan jasad Geral yang terbaring kaku dan tidak bernyawa. Sama seperti Bunda, Geral juga meninggal di rumah sakit.

Lalu, kejadian yang sama terjadi lagi. Ketiganya di rumah dan sebabnya pun sama, karena kecelakaan. Kali ini tubuh Rael dan jiwa yang mengalaminya. Rasanya aku tidak ingin mengulang semua kejadian itu. Aku menggeleng pelan, aku tidak mau melihat tubuh terbujur kaku yang wajahnya tertutup kain putih lagi.

"Enza!"

"Huh?"

Aku langsung menoleh karena suara Alex membuatku tersentak dari lamunan. Aku mengesah, keramaian itu hanya di dalam pikiranku lalu seolah-olah mewujud jadi nyata. Semacam adegan flashback yang ada di film-film.

"Kamu tidak apa-apa?"

Aku menggeleng. Rasa sesak mulai memenuhi rongga dada saat semua kenangan itu masih saja berkejaran di pelupuk mata. Semua masih segar di dalam ingatan layaknya baru terjadi kemarin malam. Alex merapatkan cekalan tangannya dan meremas jemariku lebih keras. Aku pasrah, berada di dekatnya membuatku lebih nyaman. Dia tetaplah kakak laki-lakiku.

One Thousand DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang