Aku Tidak Ingin Mati Malam Ini

86 21 0
                                    

Aku terseok saat berdiri. Untung saja pintu ruangan ini terbuka jadi aku langsung bisa berlari keluar. Ini benar-benar buruk karena kecerobohanku sendiri. Hanya saja, aku tidak menemukan solusi lain. Menunggu lebih lama bersama jiwa asing itu akan lebih riskan. Aku tidak bisa menebak tindakan apa yang akan dilakukannya sekaligus tidak bisa menjamin kalau Geral akan kembali ke tubuh itu di waktu yang tepat.

Namun, aku sendiri tetap tidak yakin dengan semua pilihan yang kubuat. Apalagi saat mengingat wajah Geral yang tersenyum samar tetap membuatku bergidik. Darah masih menempel di bibir dan dagunya membuatnya semakin mengerikan. Ditambah bau anyir bercampur obar-obatan membuat suasana lebih mencekam. Ya, terserah soal pilihan yang kubuat sebelumnya. Apa pun itu, salah atau benar, aku harus menyelamatkan diri sekarang juga kalau tidak ingin mati konyol.

Kakiku menuruni anak tangga dengan cepat. Sementara itu, derap langkah kakinya juga terdengar mengikuti. Aku terus berlari meski tidak tahu akan pergi ke mana. Yang terpikirkan sekarang hanyalah aku hanya ingin berlari secepat mungkin. Pergi sejauh mungkin untuk menyelamatkan diri. Untuk itu aku perlu mobil, jadi aku berbelok ke garasi untuk mengambil benda itu.

Jantungku rasanya seperti jatuh ke lantai saat ingat kalau aku keluar tanpa membawa apa pun—termasuk kunci mobil. Sepertinya aku harus kembali ke dalam untuk mengambil kunci mobil dan kurasa itu sama saja dengan bunuh diri. Bahkan dalam film aksi sekalipun tidak ada karakter yang kembali ke rumah saat pelarian hanya untuk mengambil kunci mobil. Benar saja, Geral sedang berlari keluar. Lampu teras menyorot redup membuat wajah pemuda itu terlihat semakin mengerikan.

Satu-satunya jalan adalah berlari sekarang. Hanya saja, kesialan masih menimpaku sekarang. Aku tidak memakai alas kaki apa pun saat keluar. Sama sekali tidak terpikirkan untuk meraih apa pun sambil berlari keluar. Aku menggigit bibir dan membuatkan tekad kala Geral semakin mendekat. Aku mengepalkan tangan. Keringat dingin mulai menyembul di pori-pori.

"Hah, hah, hah!"

Hanya suara napas terengah yang terdengar. Aku memacu tungkaiku untuk menerobos kegelapan dan jalanan malam yang sepi. Permukaan kasar aspal jalanan membuat telapak kakiku sakit. Aku terus berlari sambil sesekali menoleh. Geral masih mengikuti dari belakang. Embusan napas kasar keluar dari mulutku. Sementara itu, keringat mengucur deras membasahi wajah dan rambutku.

Udara terpompa keluar dengan paksa dari paru-paruku. Jantungku serasa diremas. Aku tidak tahu seberapa jauh jarak yang kutempuh atau seberapa lama aku berlari. Hanya terus berlari melewati deretan toko dan ruko-ruko yang tertutup. Meski beberapa mobil masih melintasi jalanan, aku tidak menghentikan mereka. Aku pun bisa paham alasan mereka tidak berhenti dan bertanya padaku. Bisa jadi mereka semua berpikir kalau aku adalah sejenis wanita gila yang berlari di jalanan dengan kaki telanjang.

"Ugghhh!" Keluhan itu terlepas begitu saja saat tubuhku terjungkal.

Pipiku kini menampar aspal dengan kencang. Aku menoleh ke arah belakang—jalanan yang seharusnya akan dilalui Geral jika dia mengerjarku. Mataku mengerjap saat tidak menemukan apa pun di sana. Jalanan itu kosong dan sepi. Geral tidak tampak di mana pun. Aku mengedarkan pandangan ke segala arah, tetap tidak ada siapa-siapa. Geral sendiri menghilang entah ke mana.

"Enggak noleh lengah, dia bisa datang kapan saja," gumamku sendiri di sela-sela napas yang memburu.

Dengan keyakinan itu, aku tetap kembali bangun dan kembali berjalan dengan kaki pincang. Lokasi ini tidak seberapa jauh dari tempat Alisia. Jadi, sekarang aku akan menemui Alisia karena gadis itu yang kubutuhkan sekarang. Semoga Geral tidak lagi mengejarku lagi dan aku bisa sampai di tempat itu dengan selamat.

"Hah, hah, hah!"

Napasku sudah habis dan tubuhku rasanya seperti dipukuli saat akhinya aku sampai di depan ruko milik Alisia. Aku menoleh ke segala arah. Tempat ini sunyi karena tidak ada siapa pun. Deretan ruko itu juga sangat sepi, tentu saja karena sekarang. Pintu ruko Alisia tertutup rapat dan lampunya juga dimatikan. Aku menarik napas pelan. Jemariku masih gemetar. Aku menelan ludah sebelum mengangkat tangan untuk mengetuk pintu.

One Thousand DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang