Refleks

158 30 13
                                    


Aku buru-buru menarik tanganku dari wajahnya. Sementara jantungku berdebar sangat kencang di dalam dada. Meski begitu, aku tidak bisa bergerak pergi karena tubuhku rasanya seperti membeku. Namun, meski kelopak matanya membuka, pemuda itu memang tidak mengatakan apa pun, matanya yang kelam menatap kosong. Wajahnya juga tidak sehat, benar-bebar pucat hingga tidak ada berbeda jauh dengan mayat hingga membuatku bergidik ngeri.

Rasa bersalah tiba-tiba datang tanpa diundang, apalagi ketika pemuda itu hanya membuka mata saja, tetapi tidak melakukan apa pun setelahnya. Manik hitam itu masih tampak kosong seperti beberapa detik sebelumnya. Kalau saja dia bersumpah serapah atau memakiku sekarang maka mungkin rasa bersalah yang muncul ini akan sedikit berkurang. Sayangnya yang kutemukan hanya kekosongan.

"Aku—"

"Kamu ngapain?" Pertanyaan Alisia membuatku terkesiap. Ternyata perempuan itu sudah ada di ambang pintu.

"Ta—tadi di—dia bangun, dia buka mata, di—dia—"

"Ya, ya, aku tahu. Enggak usah repot-repot menjelaskan!" potongnya sambil mengibaskan tangan tanpa perasaan.

Aku menatap gadis itu menuntut penjelasan. Alisia mengangkat bahu dengan sikap santai dan bergerak mendekati pemuda yang kini masih terbaring di tempat tidur itu.

"Lihat, matanya masih terbuka."

"Ya, kan tinggal ditutup lagi," tukas Alisia santai.

"Maksudnya?"

"Ya, ditutup saja, seperti ini," katanya sambil menekan kelopak mata pemuda itu hingga kembali menutup.

Melihat hal ini membuatku benar-benar tercengang. Bagaimana bisa Alisia melakukan hal semacam itu? Maksudku menganggap reaksi seperti kelopak mata yang bergerak terbuka itu biasa saja lalu menutup mata seseorang dengan paksa seolah-olah memang sudah seharusnya begitu.

"Ta—tapi, matanya terbuka tadi."

"Iya, aku juga lihat."

"Kalau terbuka begitu bukannya artinya dia bakalan segera sadar."

Alisia kini menatapku lekat-lekat. "Kamu pernah dengar soal gerakan refleks pada pasien koma. Ada yang bisa menggerakkan jari tangannya, membuka mata bahkan menangis?"

"Pernah."

"Tapi, itu semua tidak menjamin seseorang akan segera sadar."

"Dari mana kamu tahu? Memangnya kamu yakin kalau orang ini tidak akan pernah sadar lagi? Bagaimana kalau dia mendengar semua hal yang kita bicarakan?"

"Kalau dia dengar memangnya mau apa?" Kedua alis Alisia terangkat dan bibirnya menyunggingkan seringai.

"Mau apa gimana? Memangnya kamu enggak kepikiran kalau dia mungkin akan segera bangun terus kalau dia dengar obrolan kita maka dia pasti akan mengejar kita."

Alisia kini melipat lengan di depan dada dan menatapku lekat-lekat. "Dengar, dia tidak akan pernah bangun dan mustahil dia bisa mengejar kita."

"Tapi, Al. Bagaimana kalau—"

"Jangan cari alasan buat batalin perjanjian karena kamu sendiri yang akan rugi nantinya," katanya memperingatkan.

"Aku bukan mau batalin perjanjian, tapi kalau dia tiba-tiba bangun terus bagaimana?"

"Dia enggak akan pernah bangun tanpa izinmu, Enza."

"Maksudnya?"

"Kamu sendiri yang sudah mengikat jiwanya." Alisia menegaskan. "Dia membuka mata reaksi dari darahmu, titik awal perjanjian."

"Ta—tatata—pi—"

Alisia menurunkan lengannya dan kini bergerak mendekatiku. Jemarinya meremas bahuku sementara kepalanya miring sedikit hingga membuatku bisa merasakan embusan napasnya yang mengipasi daun telingaku.

"Tidak akan ada yang terjadi, Enza. Percayalah. Kamu hanya perlu ingat kalau besok dia membuka mata maka Geral yang ada di sana, bukan orang lain, tapi kekasihmu."

Kata-kata Alisia seketika membuatku terdiam. Mungkin aku terlalu banyak bicara, akan tetapi aku masih penasaran dengan semua hal yang tidak terjawab sampai beberapa menit lalu. Namun, ketika mendengar kata-kata Alisia soal Geral tiba-tiba aku hanya ingin percaya saja. Rasanya kata-kata Alisia adalah kebenaran yang tidak boleh kuragukan. Aku hanya perlu percaya maka semuanya akan baik-baik saja.

"Benar, kamu hanya perlu percaya lalu kita akan baik-baik saja," bisik Alisia lagi seolah-olah perempuan itu bisa membaca pikiranku lalu menjawabnya.

Aku mengangguk, sementara jemariku bergerak gelisah. Entah kenapa aku merasa semua ini tidak benar meski aku ingin sekali percaya.

"Nah, kalau begitu kamu bantu aku!"

"Bantu apa?"

"Kita harus segera membawanya pergi." Alisia sudah bergerak menjauh dan kini dia mendekati jasad lelaki itu.

"Kenapa?"

"Jangan banyak bertanya, aku akan jelaskan nanti!"

Saat aku tidak kunjung bergerak, Alisia memiringkan kepala dan mengangkat kedua alisnya. Mungkin ingin menegaskan kalau dia menunggu agar aku segera menghentikan perlawanan dan menuruti perintahnya.

"Baiklah," sahutku sambil menuruti Alisia untuk membantunya membangunkan jasad itu.

Aku bergidik lagi degupan ketika tangannya yang terkulai itu menyentuh kulitku. Tangan itu begitu dingin hingga aku tidak akan meragukan kalau ada yang bilang tangannya terbuat dari bongkahan es batu. Namun, bukan hanya tangannya yang dingin yang membuatku takut. Aku berani bersumpah kalau jantungku melewatkan satu atau dua kali degupan ketika tangan pemuda itu rasanya seperti bergerak pelan.

"Kenapa?" tanya Alisia lagi ketika aku berhenti dan menunduk untuk menatap tangan lelaki itu.

"Bukan apa-apa," kilahku berbohong.

Ya, mungkin semua ini hanya perasaanku saja atau benar kata Alisia, cuma reaksi refleks yang bisa terjadi pada orang dalam fase vegetatif. Aku memilih diam saja dnan mengikuti arahan Alisia karena kami berhasil membuat tubuh lelaki itu berdiri. Dengan satu lengan di pundak Alisia dan satunya lagi di pundakku, kamu bergerak keluar.

Dalam perjalanan keluar, aku terseok dan tertatih beberapa kali. Lelaki ini memang kurus, tapi postur tubuhnya cukup tinggi hingga membuat kami sedikit lebih lambat. Selama itu pula, aku mengamati tempat ini. Rumah itu masih sepi layaknya kuburan angker yang tidak terjamah, entah ke mana wanita berjarik parang dengan melati di kepalanya itu pergi.

"Kita enggak berpamitan sebelum pulang?" tanyaku begitu kami hampir sampai di pintu keluar.

"Kamu akan lebih manis kalau diam saja, Za."

Ada peringatan dalam suaranya hingga aku memilih untuk diam saja. Lagi pula, membawa pemuda ini sudah cukup berat. Untung saja, kami berhasil membawanya sampai ke mobil dan menempatkannya di kursi belakang. Setelah itu, aku masuk ke dalam mobil. Aku pikir Alisia akan kembali untuk menutup pintu rumah itu dan gerbangnya sekalian karena kami keluar begitu saja. Namun, ternyata perempuan itu malah duduk di sampingku.

"Kamu enggak nutup pintu dan gerbang?" tanyaku sambil memutar kunci dan menyalakan mesin mobil.

"Apanya yang perlu ditutup?" Alisia malah balik bertanya.

Aku mengerutkan kening dan melongok untuk melihat kembali ke rumah itu karena kata-kata Alisia terdengar aneh. Namun, benar kata Alisia kalau pintu dan gerbang itu sudah menutup. Padahal seingatku kami meninggalkannya begitu saja dan selama itu aku tidak melihat ada yang menutup pintu. Aku juga tidak mendengar suara seseorang yang menutupnya atau minimal bunyi benda yang bergerak menutup. Jemariku kembali terangkat untuk menyentuh tengkuk. Sial, sudah keberapa kalinya bulu kudukku meremang hari ini.

One Thousand DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang