Iomallach (2)

178 31 14
                                    


Setelah berpikir sejenak, aku menatap wajah Alisia lekat-lekat. "Jadi, aku harus mengorbankan sesuatu untuk memanggil mendiang pacarku kembali ke dunia ini?"

"Tepat. Kamu tahu kan kalau tidak ada yang gratis di dunia ini. Apalagi kamu akan mengikat perjanjian dengan iblis tentu saja."

Eh, jadi perkiraanku benar?

Aku berdeham pelan dan mencoba menetapkan hati untuk bertanya lebih lanjut. "Jadi, kita benar-benar akan menghubungi iblis untuk membuat Geral hidup kembali?"

"Kita jelas tidak mungkin memanggil malaikat untuk membangkitkan mayat, Enza."

Caranya menyebut namaku dengan penekanan membuatku mendadak tidak nyaman. Alisia seperti sedang meremehkanku sekarang. Namun, di sisi lain aku tahu kalau semua ini hanya subyektif. Bisa jadi aku salah dan hanya sensitif saja.

"Aku juga tahu kalau malaikat jelas tidak ada di pihakku saat ini, tapi tidak harus iblis juga," kataku akhirnya.

"Lalu kamu bersekutu dengan siapa? Sesama manusia? Memangnya mereka bisa?" Alis milik Alisia terangkat sedikit ketika bibirnya memamerkan ejekan. "Kurasa itu tidak mungkin. Sayang sekali, kan?"

"Bukankah kamu juga manusia?" ucapku tidak mau kalah.

"Iya, tapi aku beda level dengan seseorang yang belum sadar diri sampai sekarang. Ngomong-ngomong kamu lumayan bodoh, ya!" katanya sambil memutar jari telunjuk di dekat pelipisnya—seolah-olah ingin mengisyaratkan kalau kapasitas otakku memang sangat minimum.

"Madam!"

"Alisia. Hanya Alisia, aku enggak mau terlihat tua dengan panggilan madam kampungan itu." Kali ini mimik mukanya terlihat serius. Tindik hidungnya tampak bergerak saat hidung mancung itu kembang kempis.

"Kalau memang tidak mau dipanggil Madam, lalu kenapa ditulis Madam Alisia?"

"Hal semacam itu juga perlu kamu ributkan? Kamu enggak paham konsep promosi untuk menarik pelanggan?"

Sial. Kena telak. Aku kehilangan kata-kata untuk membalas serangannya.

"Nah, sekarang masih cukup pagi untuk berkutat dengan kebingunganmu yang enggak penting itu. Aku jelas tidak ingin kamu terburu-buru memutuskan, toh masih ada banyak waktu sampai tengah malam nanti. Tapi, kalau kamu kelamaan bingungnya maka busshh, dia hilang ke sana." Alisia mengerucutkan bibir sambil menuding ke arah langit, jemarinya membentuk tanda senapan. "Selamanya"

"Memangnya enggak masalah kalau kamu ngomong keras-keras di luar sini?"

"Enggak ada orang yang reseh di pagi hari," sahutnya santai. "Kecuali kamu."

Ah, benar juga. Jalanan ini masih sepi. Hanya satu dua kendaraan yang lewat, toko-toko yang ada di sekitar tempat ini juga belum mulai beroperasi. Dunia ini rasanya mendadak kosong dan hening. Aku bahkan tidak menemukan penjaja makanan di pinggir jalan yang biasanya melayani menu sarapan.

"Sudah selesai cek situasinya?" Alisia menjentikkan jarinya di depan wajahku.

"Apa?"

"Maksudku kamu sudah selesai lihat-lihat dan memindai situasi, mana tahu tahu ada saksi mata," katanya lagi.

Tanganku terkepal, berhadapan dengan orang ini benar-benar menguras kesabaran. Aku menelan ludah besar dan mengangkat dagu untuk menatap gadis itu. jantungku berdebar kencang dan bibirnya berkedut pelan. "Oke, aku terima tawaranmu."

"Kamu yakin?"

"Ya."

"Kalau begitu, masuklah!"

One Thousand DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang