Seharusnya Kamu Mati

118 24 0
                                    

Kami pulang dari butik lalu melanjutkan makan malam di luar. Setelah itu, Geral tidur. Begitu pun aku. Aku pikir, mimpi buruk itu tidak akan datang lagi. Namun, aku membuka mata kala mendengar suara berisik dari ruang tamu. Bulu kudukku meremang apalagi dentang jam dinding membuat suasana malam semakin mencekam. Aku melangkah keluar dengan hati-hati kemudian memutar kenop pintu. Siapa tahu itu perampok atau pencuri. Walau aku tidak yakin ada benda berharga yang bisa mereka curi dari tempat ini.

Suara itu menghilang lalu suasana kembali senyap. Aku menajamkan telinga. Tidak ada langkah kaki yang terdengar masuk. Aku menjerit saat melihat sesosok bayangan keluar berjalan mendekat. Aku masih terpaku di tempat, terlalu kaget untuk berlari. Sosok tinggi itu semakin mendekat.

"Geral?"

Cahaya remang-remang dari bulan purnama menembus jendela yang tidak tertutup tirai hingga membuatku bisa melihatnya dengan jelas.

"Geral? Kamukah itu?"

Aku tidak bisa menyembunyikan getar di dalam suaraku. Entah mengapa rasanya ada yang ganjil. Bulu kudukku juga meremang.

Kesunyian masih bertahta karena Geral tidak menjawab. Wajahnya juga dingin hingga ekspresinya tidak terbaca. Sorot matanya juga redup. Aku belum bereaksi ketika akhirnya dia bergerak mendekat. Tangannya juga bergerak cepat. Tanpa kusadari, tahu-tahu jemari Geral sudah bergerak ke leherku.

"Apa—aggh—"

Aku ingin memekik tapi tenggorokanku rasanya tertutup. Kakiku menendang-nendang saat oksigen yang memasuki saluran pernapasanku mulai menipis. Aku memukul-mukul pergelangan tangannya berulang kali untuk membuatnya tersadar. Kengerian menjalar saat aku menatap matanya yang kosong. Lalu, senyuman bengis muncul di wajahnya.

"Harusnya kamu yang mati!" kata Geral tiba-tiba.

"Seharusnya kamu yang mati!"

"Sebaiknya kamu mati sekarang!"

Geral terus mengulang kata-katanya dengan variasi yang tidak kupahami. Intinya pemuda itu mengatakan kalau seharusnya aku yang mati. Namun, aku sendiri tidak tahu, kenapa aku harus mati?

Aku pun tidak bisa melontarkan pertanyaan itu karena aku bahkan tidak bisa bicara. Cengkeraman Geral masih kuat menekan leherku dan aku hanya bisa meronta. Aku ingin berteriak memanggil namanya, tetapi bibirku kelu. Jantungku berdegup kencang. Tanganku memukul-mukul pergelangan tangannya. Namun, Geral masih mencekikku dan menggumamkan kata-kata yang sama. Aku seharusnya mati.

Kakiku masih menendang-nendang mencari sasaran. Napasku pendek dan terputus-putus. Pelupuk mataku mulai buram tertutup air mata.

"Ge—Ge—Geral!"

Dia bergeming dan kedua bola matanya yang kelam kini menyorot tajam padaku. Meski begitu, cengkeramannya mengendur. Mungkin pemuda ini akhirnya mendengar suaraku. Merasa kalau dirinya mulai lengah, aku menendang lututnya. Tidak terlalu keras tapi dia bereaksi. Dia memiringkan kepalanya dengan lambat. Matanya menatap nanar. Aku menendangnya lagi. Ujung kakiku menemukan sasaran dan terantuk kakinya. Gelenyar nyeri merambati tulang keringku, sialnya dia tidak tampak kesakitan sama sekali.

Namun, sepertinya tindakanku membuahkan hasil karena cengkeramannya mengendur. Masalahnya, dugaanku ternyata salah. Aku benar-benar salah besar kali ini karena tubuhku mulai melayang. Jantungku rasanya berhenti lalu pekikan tertahan di bibirku. Punggungku membentur tembok dengan kecepatan yang tidak ternalar. Aku tersengal dan bintik-bintik hijau-kuning mulai terbentuk di pelupuk mata.

Aku masih berusaha bangun saat Geral kembali mendekat. Lari. Itulah kata yang terbentuk dalam pikiranku. Harus menyelamatkan diri. Aku harus selamat bagaimanapun caranya. Aku menjulurkan tanganku untuk menggapai benda apa pun yang bisa terjangkau. Saat Geral kembali bergerak, tanganku tepat berada di permukaan vas bunga yang ada di atas nakas. Aku mencengkeram vas bunga itu. Geral merangsek mendekat dan aku langsung memukulkan vas kaca itu tepat ke kepala Geral. Tidak membutuhkan waktu lama sampai Geral terjatuh di dekat kakiku.

Kakiku lemas dan jantungku masih berdegup kencang. Keringat dingin mengalir di punggungku. Geral masih menelungkup di lantai dan tidak bergerak. Namun, aku tidak peduli. Aku merangkak cepat ke kamarku dan menguncinya.

Aku terjatuh di dekat pintu setelahnya aku menyandarkan punggungku di pintu. Butiran keringat menyengat mataku. Aku menyeka wajah dengan ujung baju. Hampir saja aku kehilangan nyawa. Andai aku tidak memukul Geral barusan maka mungkin aku sudah menjeput ajal di luar sana.

Tapi, aku memukul Geral. Astaga. Kini aku menatap tanganku yang gemetar. Apa yang sudah kulakukan? Bagaimana kalau Geral tidak baik-baik saja? Kenapa aku jahat banget?

"Enggak, enggak, aku enggak punya pilihan lain," gumamku sambil menggeleng.

Aku mengusapkan sisa-sisa air dari vas yang menempel di telapak tangan ke permukaan pakaian yang kini merapat di tubuhku. Terus mengusapkannya hingga tanganku panas. Sementara itu, air mataku menyembul keluar. Napasku masih menderu. Bibirku berkedut saat aku susah payah menahan tangis.

Mataku berkabut. Aku mengigit bibir bawahku. Tanganku terus bergetar. Apa yang harus kulakukan? Apalagi di luar sana tetap sepi, bagaimana kalau Geral benar-benar pergi kali ini dan tidak pernah kembali?

Saat aku mengangkat tangan untuk menyugar rambut. Gelang perak berkelip dalam kegelapan. Eh, iya. Alisia. Gadis itu pasti tahu jawabannya. Aku harus menghubunginya. Dengan satu tekad baru, aku meraih ponsel dari atas meja dan menghubungi nomor ponsel yang diberikan gadis itu beberapa hari lalu.

"Angkat Alisia, ayolah!" Aku menggigit bibir. "C'mon, Alisia!"

"Kumohon, Alisia."

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif."

Suara operator yang bergema dari ujung sambungan membuatku menggertakan gigi. Aku langsung melempar ponsel itu ke atas ranjang. Rasanya aku ingin mencekik gadis itu sekarang juga. Aku memilih untuk duduk di atas ranjang. Menarik kotak kayu wadah bros ke dalam genggaman. Terlalu konyol untuk dijadikan senjata, akan tetapi aku harus siap melemparkannya kapan saja kalau Geral kembali menyerang. Aku menyandarkan punggung di tembok.

Tidak terdengar apa pun dari luar sana. Meski begitu, aku tidak bisa sepenuhnya lega. Kini aku menghitung suara jarum jam dan berusaha untuk tetap terjaga. Air mata kembali meleleh di pipiku. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa jadi seperti ini?

Suara gesekan terdengar dari luar. Mungkinkah Geral sudah bangun? Bagaimana kalau dia menyerang lagi?

Aku meneguk ludah banyak-banyak dan menahan napas. Aku juga menaruh tangan di depan mulut agar isak tangisku—atau bahkan desahan napasku tidak terdengar. Mataku awas menatap pintu yang tidak bergerak. Aku hanya berharap setidaknya aku selamat malam ini.

Ya, malam ini saja. Aku mohon, selamatkan aku.


One Thousand DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang