Muza Yana
Aku tiba-tiba kebingungan. Berjalan-jalan di tempat keramaian ternyata bukan ide yang tepat. Bisa saja pengurus rumah bordil menemukanku, walau jarak antara Gangnam dan Miari cukup jauh. Aku langsung bangkit dari duduk setelah beberapa menit aku menduduki kursi kayu di taman.
Aku celingukan menatap sekelilingku yang cukup ramai. Makin malam makin ramai, penduduk sepertinya menanti salju pertama. Aku memutar tubuhku menatap sekeling, aku lupa arah. Aku lupa bagaimana aku sampai di taman ini. Aku cukup lama berjalan dengan jarak yang cukup jauh.
Aku makin ketakukan dan panik. Ingin kembali ke apartemen V, tetapi aku lupa jalan ke sana. Aku melewati banyak lorong dan persimpangan hingga aku lupa. Aku mencoba menentukan arah, tetapi semua justru membuatku pusing.
Makin panik aku makin teringat kejadian beberapa minggu yang lalu saat Cha Minho menemukanku. Aku mencoba menghindar dari keramaian. Mencoba melupakan Cha Minho yang hampir menemukanku, tetapi yang teringat justru V merayu Xiaoyu dengan romantisnya. Aku menutup mulutku hingga aku menangis.
Aku tak tahan, aku tak tahan melihat mereka berdua. Kali ini yang membuatku takut bukan pertemuanku dengan Cha Minho, tetapi lebih pada sakitnya hatiku saat melihat Xiaoyu menggandeng dan meremas tangan V dengan manja. Aku sedih, aku cemburu, aku menyukai pria itu, aku sadar, aku mencintainya lebih dari sekadar seorang idola.
Aku telah tenggelam dalam samudera cinta, aku terbenam dalam palung asmara, aku terseret dalam pusaran rindu. Tak sepantasnya aku merasakan hal ini, tetapi semuanya sudah telanjur. V seolah belenggu yang membuatku bertahan di tempat ini. V juga ternyata menguatkanku untuk tetap menatapnya setiap hari.
Aku menyeka air mataku. Sebisa mungkin perasaan ini kulenyapkan, aku ini hanya pelayan. Pelayan yang tak sengaja bekerja dengannya. Namun, kini pelayan itu menderita dengan perasaannya sendiri. Aku berlari pelan menjauh dari kumpulan orang di lapangan tanpa melihat siapa pun yang ada di depanku, hingga di jalan setapak taman tak sengaja aku menabrak seseorang.
"Joesong habnida," kataku menunduk. Aku tak melihat siapa yang ku tabrak, aku langsung melanjutkan langkahku, tetapi tangan seorang pria menahan lenganku.
Aku tak bisa bergerak, tangisku makin menjadi. "Joesong habnida," ulangku.
Tangan itu menarik pelan lenganku hingga aku berada di hadapannya. Aku menunduk dan kembali minta maaf dengan bahasa Korea. Pria yang kini ada di hadapanku diam saja. Aku menyeka air mataku dan melihat pria itu. Ia menggunakan masker dan kacamata hitam. Ia menutup kepalanya dengan topi rajut.
"V!" lirihku.
V tak menjawab, pria itu lantas kembali menarik tanganku dan langsung memelukku. Kurasakan hangat pelukan V dan detak jantungnya. Aku membalas pelukannya dengan erat. Aku bahkan tak peduli ia adalah majikanku. Tangisku justru makin membucah saat ia tiba-tiba memelukku.
Setelah beberapa detik, aku melepas pelukan. Dadaku makin berdebar tak karuan, aku mendongak mencoba menatap wajahnya. Ia menurunkan maskernya, membuka kacamatanya dan meletakkan di saku kemejanya. Ia kini menatapku saksama.
Perlahan kedua tanganya berada di telingaku, sementara jempolnya menyeka air mata yang membasahi pipiku. Aku melihat pemandangan teramat indah, ia sangat tampan seperti boneka manekin pria dengan mata biru yang terpancar dari kontak lensa yang ia kenakan.
"Mengapa kau menangis? Apa karena aku menyakitimu?" tanya V pelan. Matanya masih menatapku.
Aku hanya menggeleng. Aku tak mungkin berterus terang kalau aku cemburu dengan Xiaoyu, sangat tidak mungkin dan itu lancang sekali. Bicara Xiaoyu, ke mana dirinya? Bukankah V bersamanya? Mengapa V kini justru berada di sini?
"Lalu mengapa?"
"Aku takut, V," gumamku.
V tersenyum. Ia tersenyum simpul, sangat manis tidak seperti senyum biasanya yang terkesan sinis. "Ada aku di sini. Kau jangan takut lagi, ya?" bisiknya.
Refleks aku memeluknya dan merasakan hangat dan nyaman dadanya. Tak kusangka ia juga membalas pelukanku. Aku berdebar, aku juga mendengar debaran dadanya.
"Kau jangan pergi ya, jangan tinggalkan apartemenku. Kalau kau tak ada, siapa yang menjaga apartemenku, siapa yang melayaniku," ucapnya. Pria itu masih berada dalam pelukanku.
"V, Im so sorry," kataku.
"Sorry?" V kembali bertanya.
"Sorry, because I love you. Kau boleh memecatku, jika kata-kataku ini tak pantas," kataku. Bibirku bergetar hebat, dadaku berdebar tak beraturan. Akhirnya, aku mengakuinya. Aku tak peduli apa pun tanggapannya.
V melepas pelukannya, tetapi posisinya masih dekat denganku. Ia menatapku dan tersenyum simpul. Ia menunduk dan mendekatkan bibirnya perlahan hingga bibirnya terasa hangat. Ia mengecupku pelan dan memejamkan matanya. Aku menyambutnya hingga kami berada dalam pusaran asmara.
"Saranghae," bisiknya setelah melepas ciuman.
Aku justru makin menangis, aku terharu ia membalas cintaku. Ia membalas perasan ini. Aku seperti berada di dunia fantasi. Demi apa, idol tampan seperti dirinya membalas cinta sederhana seorang gadis yang sehari-hari adalah pelayannya.
Tak disangka salju pertama di Seoul turun. Ini pertama kali aku melihat butiran es turun dari langit, bersama lelaki yang sangat kucintai. Aku mengutip butiran salju yang jatuh di dadanya.
V tersenyum. "Kita pulang, ya?" ajaknya pelan.
"Hm," jawabku tersenyum.
V memejamkan mata dan mengecup keningku. Terasa hangat walau sebenarnya cuaca dingin membekukan kami.
"Salju pertama," kataku berbinar.
"Ini!" V mengutip butiran salju di topiku dan memberinya padaku. Aku tertawa pelan, ia menarik hidungku.
Setelahnya, ia kembali memakai maskernya dan kacamata hitamnya. Kami berjalan beriringan dan bergandengan. Sesekali V menoleh ke arahku. Kami saling menoleh dan tertawa pelan. Beberapa langkah dalam rasa jatuh cinta, tak sengaja V menginjak tali sepatu yang kukenakan.
"Ough!" kataku. Aku hampir saja terjatuh, tetapi V mengeratkan jemarinya. Ia lantas menghentikan langkah dan melihat sepatu yang kukenakan.
"Hei, kau memakai sepatuku?" katanya.
"Maaf, V," ujarku. Aku tersenyum kecut.
V tertawa pelan. "Anak nakal," godanya. Ia lantas menunduk dan mengikatkan tali sepatuku.
Astaga. Ia mau mengikatkan tali sepatuku. Aku pernah dengar mitos kalau lelaki yang mau mengikatkan tali sepatu atau memasangkan sepatu seperti Cinderella maka ia adalah cinta sejatimu. Benarkah?
"V, jangan. Aku bisa melakukannya sendiri."
"Kau diam di situ," jawabnya sambil mengikat tali sepatuku.
Setelah mengikat tali sepatu, V berdiri dan kembali menautkan jemarinya di sela-sela jemariku. Sungguh romantis. Kami berjalan kaki menuju apartemen.
"Kita minum cokelat panas?" tawarku.
"Nanti di rumah kita pesan, aku tak membawa dompet. Aku tergesa-gesa mencarimu," ujarnya,
Aku tertawa pelan, aku meremas jemarinya. "Aku yang mentraktirmu."
"Kau ada uang? Seingatku, aku belum mengganjimu," katanya.
"Uang yang diberi Namjoon masih ada padaku," jawabku pelan.
Ia merespon dengan mengusap kepalaku. "Terserah kau saja."
Setelahnya, aku kembali dengan dua gelas cokelat panas dari sebuah toko kecil. Kami duduk di halte sepi, tempat aku dan Seokjin duduk. Aku memberikan segelas cokelat panas. V tersenyum dan mengambil cokelat itu. Sejak itu aku melihat perubahan senyum V. Jika biasanya ia senyum sinis kini ia senyum manis dan tentu saja membuatku leleh. Aku mencintaimu V.
Terjemahan :
Joesong habnida (Korea) = maaf
Saranghae (Korea) = aku mencintaimu
KAMU SEDANG MEMBACA
My Big Boss IS V BTS
FanfictionV menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku sudah pasti menganga, rabutnya basah dan terlihat makin menggemaskan. Ia memakai kaos oblong tipis dengan tulisan Celine dan celana hitam parasut sepanjang lututnya. Tak berdandan pun ia justru te...