'Braakk'
Pintu ruangan terbuka. Dua sosok manusia yang ada diruangan sebelumnya perlahan meringsut meninggalkan mereka.
Dengan langkah tergesa, sepatu kanvas yang terbalut noda lumpur itu seketika memenuhi jejak lantai ruangan. Pandangan matanya tak lagi sejernih itu, air mata kini kembali menggenang dipelupuk.
Kakinya mendadak lemas, kaku, ia menariknya mendekati seorang wanita yang terbujur lemah diatas ranjang rumah sakit.
Suara alat rumah sakit itu mendadak seperti hitungan mundur yang memekakkan telinga. Hatinya terasa begitu perih, sakit yang dia tidak pernah mengerti sebelumnya. Seluruh dirinya hancur saat ia menatap sendu wanita yang tubuhnya dipenuhi oleh alat-alat pembantu kehidupan.
"Kenapa... Kenapaa..." hanya itu yang bisa digumamkan oleh bibirnya yang kering dan bergetar. Kini air mata yang sudah mengering, kembali membanjiri seluruh wajahnya lagi. Dengan isak tangis sendu, ia menggenggam erat tangan wanita itu, seolah memberikan kekuatan agar manusia itu bangkit lagi.
"Harusnya kamu nggak ada dihidupku. Harusnya kamu nggak disini. Harusnya aku..."
Ia terus menangis, mengisi kesosongan ruangan dengan pilu tangis yang beradu dengan suara pendeteksi jantung disana. Hancur sudah segala kehidupannya. Kalau saja kali ini ia kehilangan seseorang yang amat berarti dalam hidupnya maka tidak akan ada lagi alasan untuknya tetap disini.
Ia tidak pernah tau, kehilangan seseorang yang amat berati akan terasa semenyakitkan ini. Seseorang yang begitu penting, bahkan lebih penting dari dirinya sendiri.
Ia selalu merasa jika dirinya akan selalu bisa mengatasi segala masalahnya sendiri. Ia tidak perlu bergantung pada orang lain, tapi banyak orang lain yang bergantung pada dirinya. Ia merasa bahwa dirinya sendiri penting, tapi kini sepertinya hal itu berubah. Entah sejak kapan eksistensi wanita ini mulai mendominasi dirinya sendiri.
Ia menyesal.
Ia benar benar menyesal. Kalau saja ia bisa memutar waktu lagi, ia ingin kembali ke waktu itu. Ia akan lebih sering mengatakan kata aku mencintaimu, mengekspresikan diri, menghabiskan waktu bersama. Ia akan menghargai setiap saat kebersamaan mereka. Tapi apa yang terjadi sekarang? Ia bahkan tidak bisa melihat lagi senyuman manis yang selalu menyapanya di pagi hari.
Ia tidak sadar kapan ia berhenti menangis, bahkan hingga dirinya terlelap dalam kesedihannya.
Hari-hari begitu terasa kelabu untuknya. Tidak ada senyum, tidak ada ekspresi, bahkan tidak ada gairah untuk hidup. Ia tahu, setiap kali keluarga bahkan teman mereka mengatakan agar ia tetap sabar. Menunggu tidak pernah semenyenangkan itu, ia tidak pernah sadar sebelumnya tapi kini dia dibuatnya menunggu. Menunggu kesadaran wanita yang sudah koma hampir 10 hari lamanya.
Masih membasuh telapak tangan wanita itu, tiba-tiba ia melihat jarinya bergerak. Sedikit tak percaya, ia melihatnya bergerak lagi. Dengan segera ia menekan tombol alarm agar perawat dan dokter menuju ruangannya.
Saat dokter tiba, hatinya yang berdebar terasa sedikit longgar. Ia tidak tau apa yang dilakukan teman dokternya itu, tapi saat temannya menatapnya dengan tatapan lega dan teduh, bongkahan dalam hatinya perlahan meluluh.
"Selamat, dia sudah siuman." Dokter itu tersenyum selagi menepuk pundaknya.
Seperti terhipnotis, perlahan langkah kakinya mendekat. Kelopak mata yang selalu tertutup beberapa hari itu terlihat terbuka. Mata yang bahkan tidak terbuka saat ia memohonnya untuk melihat betapa kacau dirinya. Manik matanya terlihat tersenyum haru saat mereka saling berpandangan.
Ia langsung bersimpuh di dekat wanita itu sembari menggenggam erat tangannya, "terimakasih. Terimakasih karena sudah kembali."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Billionaire Marriage Partner
ChickLitResyakilla tau kalau suaminya itu pendiam, emotionless, kaku, moody, galak, tidak bisa disentuh. Segala aspek yang dimiliki suaminya berkebalikan dengan laki-laki idamannya. Tapi disisi lain, suaminya juga merupakan manusia yang disiplin, bertanggun...