Di sudut terminal bus terlihat seorang gadis perawakan tinggi dengan kulit putih bersih sedang bersandar di pintu kios asongan sembari memegang handphone dengan tatapan kosong. Tangannya menari-nari kian kemari di atas layar benda segi empat canggih itu. Sesekali memandangi jalan yang masih lenggang, dan melanjutkan kembali aktivitas semula.
Matahari mulai memamerkan sinar kuning kemasan nya pagi ini, dengan aroma embun pagi yang khas bertebaran di terminal bus menggoda siapa saja yang sepintas untuk menghirup udaranya. Sudah sekitar satu jam Qyara menunggu, dengan hati yang gundah. Sesekali matanya melirik ke arah jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul 06.48 sekitar 12 menit lagi bus akan berangkat.
Sekarang segaris senyum sudah terukir di bibirnya, setelah beberapa menit berselang orang yang ditunggunya sudah tiba. Tampaknya dia habis diguyur hujan, terlihat jelas saat dia mulai berdiri. Sebagian warna pakaiannya tampak gelap di depan dan di belakangnya berkebalikan gradien pakaian di depan. Dan masih terlihat jelas bulir hujan menempel di helm nya.
"Sudah lama menunggu?" sapa orang yang baru datang itu.
" Ya robbana, ke mana saja kamu Sya? Lihat hampir seperti anak ayam masuk ke got."
"Qyara mah jahat, masa aku dikatain kayak anak ayam." Farasha memasang wajah cemberut
"Ih sudah jangan bersandiwara lagi, jam keberangkatan tinggal 5 menit lagi. Ayo kita bergegas."
Qyara sudah menenteng tas bawaannya menuju bus diikuti Farasya dari belakang. Tak lupa kotak yang lainnya dibawa oleh ayah Farasha. Sebentar lagi mereka akan berangkat, mereka langsung salim dengan ayah Farasha dan masuk ke dalam bus. Terlihat raut wajah ayah Farasha yang masih belum bisa melepas putri semata wayangnya itu, tampak bola matanya berkaca-kaca. Ayahnya kemudian melambaikan tangan dan langsung pulang ketika bus mulai merayap.
Sekarang mereka resmi menjadi anak rantau. Jauh dari pandangan dan kasih orang tua menuju ibu kota dengan niat yang mulia yaitu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka resmi menjadi mahasiswa baru tahun ini di politeknik ternama. Di mana para mahasiswa berbondong-bondong mendaftar di sana namun karena adanya seleksi, hanya orang-orang tertentu yang lolos dan bisa berkuliah di sana. Qyara dan Farasha menjadi salah satunya dan masuk ke fakultas yang sama.
Sebelumnya kami sudah menyewa sebuah asrama di belakang kampus, namun belum bisa ditempati karena kakak tingkat masih menempati kamar itu. Untuk tempat tinggal sementara Qyara akan tinggal di rumah Sriayu, sedangkan Farasha akan tinggal di rumah keluarga dekat ayahnya.
Di perjalanan kami menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang santai tentang masa depan yang akan kemi tempuh. Sesekali bercanda untuk menghilangkan rasa sedih yang masih menempel walaupun hanya tinggal seukuran debu. Untuk pertama kalinya kami jauh dari pandangan orang tua. Bahkan mereka masih sempat mengenang bagaimana kehidupan saat masih bersama dengan orang tua. Hal ini terasa lebih berat untuk Farasha, apalagi dia anak tunggal. Mungkin orang tuanya akan sangat merindukan dirinya. Qyara mencoba menghibur Farasha, bahwa kepergian mereka ini bukan untuk menjauh dengan orang tua, tapi kebalikan nya yaitu membahagiakan orang tua.
Sambil menikmati lagu yang diputarkan dalam bis Qyara dan Farasha ikut bernyanyi, mereka tidak menghiraukan keadaan sekitar mereka. Mereka hanya sibuk dengan kegiatan mereka. Sesekali mereka memantau situasi yang ada di luar. Di sebelah kanan Qyara terlihat kompleks pemakaman di sepanjang jalan. Qyara berniat ingin menjahili Farasha.
"Sha sini, itu ada masa depan kita."
"mana?" dengan polosnya Farasha mengikuti arahan Qyara.
"Itu kuburan Ra," memukul manja punggung Qyara
KAMU SEDANG MEMBACA
My Archery Leader [[ TAMAT✓ ]]
RomanceSaat latihan simulasi perang Farasha berniat ingin menembak Qyara dengan anak panah yang tidak diberi pelindung. Di saat yang sudah diperhitungkan Farasha dengan tepat, ia mulai membidik Qyara yang membelakanginya dari balik pohon cemara. Ia ingin m...