25; kedua perempuan itu

430 75 2
                                    

Nadira keluar dari ruangan kamar Ecan dan berniat untuk pulan ke rumahnya. Tapi langkahnya terhenti saat di depannya  ada Rey yang kelihatannya sudah menunggu kehadirannya sedaritadi.

Nadira pun kembali berjalan dan berhenti di hadapan Rey.

"Kenapa kak?"

"Bisa ngobrol sebentar kan?"

Nadira menganggukkan kepalanya.

Kini mereka berdua sudah duduk di loby rumah sakit. Belum ada yang memulai pembicaraan padahal sudah 10 menit berlalu.

"Nad, makasih ya udah semangatin Ecan.."

"Eh? Jadi tadi kak Rey denger ya?"

"Iya.." senyum Rey

"M—maaf kak gue udah reflek meluk Ecan"

Rey tertawa, "Gak apa-apa kali, tenang aja"

Nadira meatap Rey dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

"Lo masih berharap buat pacaran sama Ecan?"

"HAH?! Ng—nggak lah kak!"

Lagi-lagi Rey tertawa atas reaksi lucu dari Nadira.

"Kenapa? Lo udah gak suka lagi sama Ecan?"

"Mana mungkin..."

"Terus?"

Nadira menundukkan kepalanya, "Gue cuma udah gak menginginkan buat jadi pacarnya kok. Menurut gue, menyukainya aja udah cukup."

"Gue juga mau berterima kasih ke kak Rey karena udah ngebiarin orang kayak gue untuk suka sama pacar lo..."

Rey diam sejenak dan memalingkan wajahnya dari Nadira

"Sekalipun kalo Ecan ternyata sama lo, lo bakal gimana?"

Nadira kaget bukan main dengan apa yang sudah Rey bicarakan barusan. Pertanyaan macam apa ini? Apa dirinya hanya menguji Nadira?

"Gue gak bisa ngebayangin."

Rey menatap bingung Nadira

"Karena hal itu gak mungkin. Ecan bakan terus nganggap gue temennya. Dan gue tau itu" kata Nadira dengan senyumannya.

"Rasa sayang dia ke gue dan ke lo beda, kak"

"Dia sayang ke gue sebagai seorang temen, hm mungkin adik juga. Sedangkan, rasa sayang dia ke lo itu bener-bener rasa sayang ke lawan jenis. Karena, gak Cuma dirinya yang bisa lindungin lo, tapi secara gak sadar lo juga ngelindungin dia. Dia bisa secara leluasa bersikap apa adanya saat bersama lo. Nggak dengan gue yang selalu ada hal yang ditutupi dari dia, karena dari sudut pandang dia aja udah beda antara gue dan lo."

Rey masih terdiam.

"Ada suatu hal yang gak bisa gue liat dan bisa lo liat dari Ecan, kak. Itulah kenapa gue bilang gak mungkin kalo Ecan bakal suka sama gue sebagai lawan jenis"

Rey menundukkan kepalanya, kedua tangannya terkepal kuat.

"Udah sore, gue pulang dulu ya kak. Kak Rey juga sebaiknya pulang, istirahat yang cukup, ya? Sebentar lagi kan ujian. Bye"

"Nad.."

Nadira menoleh ke belakang menatap Rey yang masih menundukan kepalanya. Beberepa saat kemudian, Rey mengangkat kepalanya dan menatap lekat ke Nadira.

"Gue juga ngerasain hal yang sama seperti Ecan"

Nadira masih diam, menunggu Rey melanjutkan pembicaraannya.

"Maafin gue ya, Nad..."

"Gue gak bisa nyerahin Ecan"

Nadira berlutut dihadapan Rey, "Kenapa minta maaf, kak?"

"Justru gue yang harusnya berterima kasih ke lo.."

"Eh?"

Nadira tersenyum, "Karena udah jadi energi bagi Ecan hehehe"

Rey pun tersenyum ke Nadira, begitupun Nadira.

Diperjalanan pulang, Nadira memikirkan apa yang sudah ia katakan kepada Rey. Dirinya merasa bodoh, kenapa ia harus mengatakan hal itu. Tapi, yasudahlah, karena mungkin itu yang terbaik bagi mereka dan juga dirinya.

Tapi berarti, ini artinya dirinya harus berhenti mengharapkan Ecan.

"Hue..." Nadira menyenderkan kepalanya kepada kaca jendela mobil yang menurut dia tidak terdapat orang didalamnya.

Namun, betapa kagetnya Nadira saat jendela kaca mobil itu bergerak terbuka

"Nad?"

"GAAHHHHH, KENAPA ISINYA ADA RAKA?" benak Nadira

Setelah di lihat-lihat ternyata memang benar ini adalah mobil milik Raka. Bagaimana dirinya bisa seceroboh ini? Sudahlah, Nadira sudah pasrah dengan reaksi Raka yang melihat tingkah cerobohnya tadi.

Didalam mobil, Raka menahan tawanya. Jangan sampai ia tertawa dan membuat Nadira malu.

"pfft, lo lagi ngapain tadi, Nad?"

"HAH? SEHARUSNYA GUE YANG NANYA, NGAPAIN LO MARKIR DISINI?"

"hahahahha, maaf gue udah gak bisa nahan ketawa gue daritadi"

Nadira menatap Raka pasrah.

"Maaf. Maaf..."

"Jadi, ngapain lo disini?"

Raka terdiam sejenak, "Gue khawatir sama lo gara-gara kemaren"

Ah, benar juga. Sikapnya kemarin pasti sudah membuat Raka bingung.

"Oh, kemaren pikiran gue lagi kemana-mana aja kok, Ka. Gak usah dipikirin"

"Bener?"

"Iya ih..."

Raka hanya mengangguk paham, "Habis dari rumah sakit ya?"

"Iya, kok tau?"

"Nebak doang"

Kali ini Nadira yang mengangguk paham.

"Nad... ada yang mau gue omongin sebenernya.."

Nadira menatap Raka, namun sepertinya ini bukan waktu yang tepat bagi Raka. Akhirnya, Raka mengurungkan niatnya.

"Gak jadi deh, nanti lagi aja"

"Ih, bikin penasaran aja"

"Hehe maaf, maaf"

"Lo minta maaf terus, kayak lagi lebaran aja"

Raka tertawa, "Ternyata Nadira bisa ngelawak ya?"

"Siapa yang ngelawak?" ucapnya datar

Raka hanya tersenyum, "Yaudah, gue cabut dulu deh..."

Nadira menganggukkan kepalanya, "Hati-hati yaa"

"Iya.."

Matahari dan Malam • Lee HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang