Bab 7 Aku, Kamu, dan Dia

2.8K 617 74
                                    

Cuaca malam ini sudah sangat dingin, apalagi ditambah tatapan Alvin pada Ghaza yang tidak ingin melepas genggaman tangannya dari Zhira. Ingin rasanya Alvin menonjok wajah itu sampai babak belur.

Sesaat kemudian tatapan itu beralih pada Zhira. "Ra, aku tau kalau kamu dijodohkan dengan lelaki ini, tapi bisa kan kamu jaga diri? Dijodohkan bukan berarti sudah halal," ucapnya dingin.

Zhira yang tadinya sempat berdebar karena tatapan itu, tatapan yang biasa membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Kini berubah menjadi debaran amarah. Alvin pikir ia tidak bisa jaga diri? Alvin pikir Zhira tidak punya harga diri?

Ghaza langsung melepas tangan Zhira menyadari ucapan Alvin juga untuk menyindir dirinya.

"Kak Al benar. Jangankan yang dijodohkan, yang sudah pacaran bertahun-tahun pun, belum tentu jodoh, belum tentu mereka bersama, belum tentu juga mereka saling cinta!" balasnya penuh penekanan dengan wajah merah padam menahan marah dan tangis yang coba ia tahan sekuat mungkin.

Kenyataannya hanya Zhira yang begitu antusias memberi cinta, sedang Alvin bermain hati dibelakangnya dengan Sesil. Sahabatnya sendiri pula.

"Untuk menghindari fitnah, kami akan segera menikah." Zhira menoleh pada Ghaza dengan sedikit keraguan. Saat itupula Ghaza memberikan sebuah undangan pada gadis itu.

"Undangan buat kalian berdua. Tiga hari lagi kami menikah." Zhira menyerahkan undangan itu pada Alvin.

Seperti tercengang Alvin tidak menerima ataupun mengambil undangan itu, ia hanya terdiam meratapi kenyataan yang terjadi. Ini tidak mungkin, Zhira mencintainya.

Berhubung Alvin tidak ingin menerimanya, Ghaza merampas kertas itu dan memberikannya pada Sesil-yang sejak tadi hanya memperhatikan.

Ketika keduannya mulai beranjak pergi, saat itulah kaki Zhira terhenti. Seperti ada yang menahannya, dan ternyata benar, saat menoleh Alvinlah yang mencekal pergelangan tangannya. Memang tidak kontak langsung dengan kulit, tapi rasanya ada gelenyar aneh yang menyusup melalui pembulu darah dan membuat hatinya berdesir.

"Ada hal yang harus kamu tahu," ucapnya ragu. "Sebenarnya-"

Perkataan itu terpotong ketika tangan seseorang juga mencekal lengannya. "Sahabat bukan berarti halal." Ghaza mengcopy perkataan Alvin tadi. "Lepaskan dia!"

"Apa hak Lo ngelarang gue? Lo gak berhak atas Zhira."

Ghaza tertawa meremehkan. "IYA! Gue tahu. Termasuk lo! Sahabat bukan berarti berhak, 'kan?" Lagi-lagi Ghaza membalik perkataan Alvin tadi.

Emosi Alvin rasanya sudah Sampai ubun-ubun, jangan salahkan Alvin jika acara ini akhirnya kacau. Digebukin di tengah keramaian sepertinya bagus itu orang.

Namun sebelum rencana di kepala Alvin terjadi, Sesil lebih dulu menggandeng lengan kirinya, lalu berbisik. "Please, jangan bikin masalah sekarang. Tolong pikirkan tante Tari dan ... ancaman Shesa."

Alvin membuang nafas kasar, menilik semua tamu dan keluarga yang tadinya asik menikmati hidangan, kini menatap ke arahnya. Dengan terpaksa Alvin melepas tangan Zhira, tangan yang ia harap bisa ia genggam selamanya. Kemudian menghempas tangan Ghaza dari lengannya. Membiarkan keduanya berlalu.

Tak lama tatapan tajam Alvin tertuju pada Sesil. "Aku gak nyangka kamu setega ini sama orang yang sudah banyak bantu kamu, Sil."

***

Selesai acara, Zhira dan keluarga sudah keluar menuju parkiran. Bersebab Arman tiba-tiba ada pertemuan bisnis mendadak, jadi ia tidak dapat hadir. Sebagai gantinya bunda Maira mengajak Azzam dan juga Izzah. Meski waktunya sudah terbilang telat, tetap Arman memaksa Maira agar datang.

Terlanjur Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang