Bab 14 Siapa dia?

2.3K 568 332
                                    

Mau seberapa besarpun cintamu pada umat-Nya, tetap akan kalah dengan umat yang Allah takdirkan untukmu.

Terlanjur Cinta

Sesampainya di rumah, Ghaza membiarkan istrinya istirahat karena wajahnya tampak pucat. Tidak bertanya apapun, tidak mengusiknya sedikitpun. Bahkan tidak menyinggung sedikitpun tentang cincin yang Zhira kenakan.

Tidak munafik, dia sedikit sakit hati meski itu hanya cincin warisan. Pernikahannya seakan tidak dianggap sama sekali. Meski kenyataannya Zhira hanya memanfaatkan pernikahan ini karena egoismenya.

Ghaza duduk dipinggiran kasur menatap dalam wajah cantik istrinya yang sudah tertidur di mobil sejak perjalanan pulang. Karena saat ingin meninggalkan tempat jatuhnya pencuri itu, polisi datang meringkus si pencuri sekaligus menilang mereka karena sudah melanggar aturan lalu lintas.

"Ra, gue gak tau kenapa gue bisa secinta ini sama lo. Segalanya pengen gue lakuin asal lo selalu bahagia, meskipun kebahagiaan itu bukan sama gue. Kalo aja bukan karena desakan dan paksaan dari Mama. Gue gak bakal setuju sama rencana Papa lo buat misahin lo sama Alvin. Maafin gue, Ra." Ghaza menyampirkan anak rambut yang menutupi wajah istrinya ke belakang telinga.

Mendekat ke wajahnya, lalu mengecup kening gadis itu dengan lembut. "Maaf kalo menurut lo gue egois."

Ghaza akan jujur, tapi tidak sekarang. Keluar dari kamar itu, Ghaza menuju keluarganya yang duduk di ruang keluarga. Gempar yang paling banyak terkena marah, padahal adiknya hanya mengikuti perintah.

Bunda Maira dan Papa Arman juga sudah ada di rumah itu ketika diberi tahu kalau putrinya di rampok.

"Gak papa yang penting kalian semua selamat. Kamu Ghaza, lain kali jangan lagi biarkan Gempar kebut-kebutan begitu lagi. Dia belum punya SIM kamu tahu, kan?" Reno sejak tadi mengambil peran Laras untuk mengomeli ketiga putranya.

Kini ketiganya diam menunduk seperti anak kecil yang dimarahi ibunya.

"Tapi, Pa. Aku udah 18 tahun tahun, bentar lagi lulus. Masa gak dibolehin bikin SIM. Gak adil banget!" keluh Gempar.

"Kenapa Papa gak bolehin? Soalnya kamu kalo nyetir udah kayak jalanan milik nenek moyang. Seenaknya aja." tegur Laras. "Inget, Nak. Dijalan itu gak cuma ada kamu. Ada seorang ayah, yang mungkin tulang punggung keluarga, ada seorang anak yang mungkin jadi penopang orang tua. Ada seorang Kakak yang mungkin jadi sumber kehidupan adik-adiknya. Kalo ada apa-apa sama mereka gara-gara kamu tabrak, keluarganya bagaimana, hayo?"

Gempar diam tanpa kata, mamanya benar juga. Kalau sampai ada kecelakaan karena kebut-kebutan di jalan, yang dirugikan bukan cuma diri sendiri, tapi orang lain juga.

"Gempar gak salah, Ma. Aku yang nyuruh." Ghaza mengakui kesalahannya.

"Kamu juga, ngapain ngejar maling cuma gara-gara cincin. Kan bisa beli lagi. Kamu bilang hasil usaha fashion busana kamu omsetnya miliaran. Terus kenapa harus mempertaruhkan nyawa hanya demi cincin."

"Cincin pernikahan itu sakral, Ma. Gak suka aja kalo harus gonta ganti."

Hilih, kenyataannya kak Zhira tidak peduli sama cincin pernikahan mereka. Ingin sekali Gempar mengatakan hal tersebut. Namun urung. Takut terjadi sebuah pertikaian diantara dua kubu.

Sekarang Gempar tahu hubungan sebenarnya antara Ghaza dan kakak iparnya. Mereka hanya menikah, tapi cintanya hanya sepihak. Gempar menatap Ghaza. Miris sekali hidupnya. Itulah sebabnya gue gak suka berurusan dengan yang namanya betina.

"Ma, marahi dia juga." Gempar menunjuk Gemma yang sejak tadi bebas dari omelan. "Dia juga yang jadi penunjuk jalan. Dia juga yang ngeshac--"

Gemma langsung menutup mulut adiknya yang suka kayak kran bocor. "Bang Ghaza yang minta, Ma."

Terlanjur Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang