TELAPAK TANGAN

1.3K 181 91
                                    

Aku bekerja seperti biasa. Lebih tepatnya mencoba seperti biasa. Aku tidak bisa berbohong kalau sebenarnya aku tidak baik baik saja.

Sejak tadi aku terus membuat kesalahan. Sampai sampai Nona Ilse pun memarahiku. Ia mengatakan ia tidak biasa melihatku seperti ini.
Ia, ataupun teman teman yang lain bertanya mengapa aku begitu ceroboh hari ini. Tapi aku hanya mengatakan kalau aku tidak apa apa.

Aku tidak tahu sejak kapan Tobhias berdiri disampingku yang sedang mengelap meja karena sebentar lagi waktunya pulang.

Cowok keriting itu menatapku dengan serius. Aku sendiri membuang muka. Aku tidak suka ditatap seperti itu.

"Ada apa?" Tanyanya.

Aku menoleh menatapnya.

"Apanya yang ada apa?" Aku pura pura tidak mengerti.

"Hari ini kau banyak melamun. Kau sangat ceroboh. Bahkan hal hal kecil pun bisa bisanya kau salah menangani.
Sudah cukup Nona Ilse, bagaimana kalau sampai Nona Porcodio juga tahu? Kau bisa kena marah" celotehnya.

"Aku baik baik saja Tobhias, tidak perlu berlebihan" aku menyela.

"Baik baik saja apanya? Dengar Nona Belphegor, aku ini temanmu, kalau kau punya masalah, kau bisa cerita padaku. Siapa tahu aku bisa membantu" ucapnya.

"Aku baik baik. Sudahlah, kita harus bersiap pulang. Yang lain sudah berkemas" ucapku dan berlalu meninggalkannya.

Aku sedang mengambil tasku di loker saat kudengar beberapa teman mengatakan jika ada Nona Porcodio .
Mengapa dia datang saat restauran sudah tutup begini? Ah sudahlah, bukan urusanku juga. Aku pun keluar setelah berpamitan pada teman teman yang masih disana.

Aku yang biasanya pulang bersama Tobhias pun tidak dengan saat ini. Aku mengatakan jika aku akan mampir ke suatu tempat  jadi dia pulang lebih dulu.

***

Aku tahu malam sangat dingin. Udaranya menusuk ke tulang seperti paku. Ya, bukan hanya jarum tapi paku. Sisa sisa salju masih mengintip ditepi aspal.

Aku duduk di halte bus. Ditemani lampu jalan dan mobil mobil yang lalu lalang. Orang orang yang berada disini mulai naik ke bus yang sudah datang. Beberapa orang memandangku dengan aneh karena aku tak kunjung berdiri. Aku tidak peduli, aku memang tidak berniat masuk. Aku masih ingin disini hingga bus pun berlalu pergi.

Aku memejamkan mata dan membuang nafas dengan kasar. Rasanya dadaku sangat sesak. Aku hampir tidak bisa bernafas. Dan pipiku pun kini sudah basah oleh airmata.

Aku meremas ujung mantelku. Menunduk dan sesenggukan. Dinginnya udara tidak  sebanding dengan sesak didadaku.
Mungkin aku masih bisa melindungi tubuh dari hawa dingin. Tapi aku tidak bisa melindungi hatiku dari sesak dan aku tidak tahu harus bagaimana.

Aku tidak peduli dengan orang orang yang melewatiku dan menatapku aneh.
Untuk apa aku peduli pada mereka, aku tidak kenal mereka. Sementara seseorang yang ku pedulikan pun kini tidak peduli padaku. Dia lebih memilih pergi dan menjauh dariku.

Jika tahu begini bukankah lebih baik dulu aku tidak bertemu dengannya di pegunungan?  Tidak usah peduli meski dia terluka disana. Tidak perlu membawanya pulang ke rumahku dan tinggal denganku. Semuanya hanya meninggalkan luka yang datang tiba tiba. Menciptakan sebak di dalam dada.

Otakku mungkin bisa berpikir begitu. Tapi nyatanya hatiku tidak mau mengikuti cara kerja otakku.
Aku sudah terlena dengan hari hari yang telah aku lewati bersamanya. Aku sudah terbiasa dengannya di sisiku.
Jika aku tanpanya, bagaimana aku bisa menjadi diri sendiri? Berbeda antara aku dengan sahabatku.
Hanya dengannya aku benar benar bisa menjadi diri sendiri.

SAPHIRA : Di Antara Sinar BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang