Sudah dua hari tidak masuk sekolah. Sudah dua hari pula gadis ini lebih memilih untuk berdiam diri di rumahnya. Tatapannya kosong menatap kearah jendela kamarnya.
Pukul tujuh pagi. Hari ini hari Sabtu. Biasanya jika hari libur sekolah dihabiskan untuk pergi ke perpustakaan umum, sekarang malas dengan bersiap diri hanya alasan untuk pergi sarapan pagi.
Rumahnya benar-benar hampa. Tidak seorang pun yang datang menemuinya hanya dengan alasan sepupunya yang mengajaknya bermain, atau teman-temannya yang sekedar ingin mampir. Dari dulu juga seperti ini. Karena persembunyiannya bersifat arogan, Nana seperti tidak memiliki kawan.
Good morning, Mr. Aliona...
"Morning, Le."
Dia berbicara sendiri. Ketika menatap sebuah bingkai berukuran 4R, pandangannya mulai menyentuh permukaan gradasi itu. "How are you, Mr. Leonarda! I have a good idea. Gimana kalau gue buatin lo pancake?"
"Not now? Okay... gue akan membuatnya lain kali."
Leonarda. Mengingat nama itu Nana tidak bisa diam ketika satu permasalahan yang membuatnya menderita seumur hidup. Bahkan ketika mengingatnya sedikit saja, kepalanya mulai bereaksi lagi.
Hingga puing-puing masalah yang membuat pikirannya terluka, tubuhnya bangkit dari atas tempat tidur lalu bergegas menghampiri meja belajar. Tangannya menarik laci. Mengambil sesuatu dengan berukuran tabung yang begitu minimalis, detik itu juga ia bisa menenangkan dirinya sendiri.
Dua kapsul obat ia tenggak secara bersamaan. Menahan rasa sakit pada bagian kepalanya, ia tersadar bahwa tidak selamanya baik kalau ia harus membawa obat ini kemana-mana.
"I bad! Really-really badly!" gerutunya memukul meja belajar.
Obat yang selalu menjadi incarannya jika kepalanya sakit, rasanya tidak tertahan lagi ketika ia harus bergantung pada obat ini seumur hidup. Perlu waktu atau mungkin tidak bisa sembuh dengan penyakitnya yang tidak biasa.
Ketika kepalanya sakit, hidupnya seperti diambang kehancuran—dan mungkin, ia bisa mati dalam waktu yang bersamaan. Namun ketika ia berhasil pada dua atau tiga obat, hidupnya seperti kembali lagi. Fana sekali.
Tok, tok, tok.
Langkah yang lunglai membawa tubuhnya untuk pergi membukakan pintu masuk di depan sana. Ia sendiri belum sempat memikirkan untuk pergi sarapan hanya dengan alasan mengisi perut laparnya.
Hingga pada saat sudah berdiri di depan pintu, jarinya memutar kunci seraya menarik gagang pintu ke dalam. "Siapa..."
"Assalamu'alaikum, Na."
"Wa'alaikumsalam... ada apa pagi-pagi begini?"
"Kenapa gak disuruh masuk dulu?"
Dengan langkah gontai mengiringi tamu masuk ke dalam. Ia membiarkan tamu itu mengikuti langkahnya dan berakhir pada ruang tamu yang berada di tengah. "Duduk dulu, gue buatin lo minum."
"Gak usah, Na. Gue kesini bawain lo makanan, gue tau lo sakit."
Nana tidak jadi pergi ke dapur untuk membuatkan minum. Gadis ini duduk berhadapan dengan tamu dengan pandangannya menatap kearah bingkisan yang sudah tersedia di atas meja.
"Bisa tau rumah gue dari siapa?" bukannya berterimakasih, Nana justru melayangkan pertanyaan yang terdengar tidak sopan. "Lo penguntit ya?"
"Gue penguntit? Bukannya lo sendiri yang ngasih tau gue, kalau gue anter lo pulang waktu itu? Sadar gak sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
EN ROUTE
Teen FictionBagi Nana, Arion adalah cinta pertamanya. Dan bagi Arion sendiri... Nana hanya adik dari seorang gadis yang ia sukai. Arion Mahesa. Nana mengingat nama itu seperti ia melihat bintang jatuh. Begitu indah untuk dilihat, namun sangat sulit ketika i...