"Setelah lima hari gak masuk, sekarang dia kayak mayat hidup gak sih, San?"
"Zara! Lo kalau ngomong suka gak disaring dulu ya. Kalau Nana denger, tamat riwayat lo lihat aja!"
"Yaaa abisan, gue coba tanya kenapa sama dia, malah gak ada jawaban. Minimal angguk atau gelengin kepala kek, ini mah gak sama sekali."
Kedua temannya sibuk bertanya-tanya. Mengenai apa yang telah terjadi beberapa hari belakangan, dengan satu kali penyebab—mereka justru merasa tidak berteman lagi dengan Nana.
Akhir-akhir ini gadis itu lebih banyak diam. Tidak terlalu mengekspos diri kalau tidak baik-baik saja, ternyata Nana lebih memilih untuk menutup dirinya sendiri.
Setelah mencermati gelagat Nana yang semakin kesini semakin tidak bisa dipercaya, pandangannya beralih pada Arion yang nampak biasa-biasa saja. Bahkan, laki-laki itu sedang bermain game dengan Bagas dan juga Desta.
Berpikir sejenak tentang hubungan Nana dan juga Arion, Zara semakin dibuat tidak percaya kalau Nana kembali lagi menutup dirinya seperti dulu. Seperti Susan dan Zara mengenal untuk pertama kalinya.
"San... lama-lama gue bisa jengah kayak gini deh. Kalau perumpamaan Nana berantem sama Arion, gak mungkin kan kalau Arion lebih ceria kayak gitu?"
Susan menghembus nafasnya begitu kesal. "Zar, udah deh. Lebih baik lo fokus aja sama pelajaran, gak usah pikirin yang lain."
"Yaaa tapi kan San... Nana itu temen kita, masa kita gak boleh tau soal Nana itu kenapa?"
"Kan gak semua temen musti kasih tau masalah mereka, Zar. Ada kalanya orang lain mau menutupi diri supaya orang yang ada disekitarnya gak mau khawatir."
Ternyata, yang lebih khawatir soal keadaan Nana adalah Zara. Lebih tepatnya lagi, Zara yang ingin sekali mengetahui sosok Nana yang saat ini lebih menutupi diri.
Dua tahun mengenal Nana bukanlah sifat yang terlalu agresif. Bahkan, kalau Zara pikirkan lebih jauh mengenai Nana, Zara sendiri yang suka memberikan ceria—atau kebahagiaan lewat perantara kecil berupa komedi yang ia mainkan.
Detik itu pula, Zara benar-benar tidak bisa diam. Ia bangkit dari tempat duduk, lalu menyambar tempat duduk orang lain berdekatan dengan Nana.
"Nana... kita ini masih temen kan?" ucap Zara penasaran seraya menatap wajah Nana begitu lekat. "Kita gak lagi musuhan kan, Na?"
Hingga pada saat yang ia tunggu sedari tadi, pertanyaan Zara justru benar-benar tidak di balas dengan "iya" ataupun "tidak". Gadis itu semakin diam menutup bibirnya begitu rapat, serta pandangannya yang selalu jatuh ke bawah.
"Na... lagi gak marah sama gue kan? Kenapa setiap gue sama Susan tanya, lo selalu bungkam kayak gini? Kenapa sih... cerita, Na!?!"
Lagi-lagi tetap saja diam. Hingga pandangan Zara beralih menatap Susan yang dihadiahkan gelengan kepala, supaya Zara semakin tidak memojokkan Nana untuk lebih dalam lagi.
Nafas Zara memburu kesal. Kedua tangannya mengepal dan siap mengantarkan baku hantam kepada siapa saja yang siap untuk menerimanya dengan sukarela.
Brak.
Seisi kelas beralih pada Zara. Pandangan dengan ribuan pertanyaan membuat Zara memfokuskan pandangannya pada laki-laki yang tengah menatap dirinya. Dia Arion, dan kawan-kawan.
"Arion... please. Kenapa lo suka banget bikin orang kayak gitu sih? Kalau sama-sama suka, kenapa gak jadian aja?!? Kenapa malah berantem kayak gini!?!"
Mata Nana menatap Arion. Pandangan ini merindukan banyak kenangan ketika ia benar-benar mencintai Arion setulus hatinya. Dalam hatinya, ia ingin berteriak untuk mengatakan apa saja yang sudah tidak bisa ia bendung lebih lama lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
EN ROUTE
Teen FictionBagi Nana, Arion adalah cinta pertamanya. Dan bagi Arion sendiri... Nana hanya adik dari seorang gadis yang ia sukai. Arion Mahesa. Nana mengingat nama itu seperti ia melihat bintang jatuh. Begitu indah untuk dilihat, namun sangat sulit ketika i...