Keberadaan yang membuat mereka lupa akan suatu hal, sungguh, ini tidak bisa dibayangkan hanya dengan pikiran yang selalu buruk. Kalau saja ada alasan yang kuat untuk beradu argumen, mungkin dia akan menang ketika ia bisa mengalahkan lawan.
Sekarang yang bisa dipikirkan untuk dirinya saat ini hanyalah satu, yaitu bagaimana caranya ia bisa melupakan untuk sementara waktu agar permasalahan ini tidak terulang dalam beberapa kesempatan yang akan datang.
Air matanya selalu menjadi jawaban. Perantara dari cara yang dihadirkan lewat segelintir angin, tubuhnya terasa hampa ketika ia tak bisa lagi menggapai indahnya langit malam. Sewaktu ia mengingat bagaimana indahnya semesta, seseorang selalu menyadarkan suasana kalau ini semua tidak akan berlaku sama.
Benar saja, ini sifatnya seperti cintanya yang bertepuk sebelah tangan.
"Setelah mati-matian nunggu jawaban, nyatanya gue bener-bener gak percaya sama apa kata Leo!"
Ketika tidak bisa percaya, memang sudah ditakdirkan untuk tetap tidak. Duduk di salah satu tempat yang paling nyaman, tubuhnya bersandar pada batang pohon yang berukuran besar. Mata yang sedikit sembap pun menengadah keatas. Melihat bagaimana langit tidak tersenyum kepadanya, ia hanya bisa pasrah.
Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Tetapi tubuhnya enggan sekali untuk beranjak dari tempat lantaran sudah terlalu nyaman dan tidak bisa untuk segera pulang ke rumah. Keadaan yang benar-benar hening membuat hatinya semakin bisu.
Hanya ada sebuah penerangan yang ia pasang di atas dahan lalu menerangi dirinya kala hatinya gundah gulana. Terbayang dengan Leo yang sudah pergi ke dunianya yang lain, bibirnya tersenyum sedikit.
Nana... Nana harus percaya kalau kebahagiaan bakal dateng ke Nana.
Kebahagiaan apa?
Kalau misalnya Leo udah gak ada disisi Nana, Nana harus percaya dengan kata itu ya?
Jangan ngawur deh, Le! Lo kan ada disini, di deket gue dan gak boleh kemana-mana.
Tapi, Na. Cinta aja gak bisa dipaksakan—apalagi manusia yang hidupnya cuma sementara? Leo dan Nana juga gak bisa jamin untuk selama-lamanya.
Ini nih yang gue gak suka dari lo, suka gak jelas dan gak beratur cara ngomongnya. Udah ah, kita ke kelas aja. Jangan cabut terus, nanti bisa dimarahin sama bunda. Yuk!
"Gue kangen lo, Le. Gue butuh lo ada disini. Sekarang gue sendiri, gak ada yang percaya kalau gue cinta sama Arion dan gak ada yang bisa terima kalau gue penyakitan gini, Le."
"... gue bingung harus apa, Le. Gue gak bisa kayak gini terusss!"
Bibirnya terus mengadu pada semesta. Kerinduan dirinya terhadap Leonarda—temannya yang sudah tiada, ia bisa apa selain pasrah dan hanya meminta?
Gadis ini semakin tidak berdaya. Di gelapnya langit malam, tubuhnya memeluk kedua kakinya dengan dagu yang tersimpan di kedua lututnya. Nana hanya sendiri. Ditemani dengan angin yang lewat serta minimnya pencahayaan, ia tidak bisa bertemu pada bintang yang ia harapkan di atas langit sana.
Matanya bertemu pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ternyata sudah pukul delapan malam. "No problem. Gak ada salahnya kalau lebih baik gue gak usah pulang sekalian."
"... kalau kenyataannya gue salah mencintai orang, gue harus bisa merelakannya. Tapi gue punya misi gak boleh nyerah sebelum berhasil. Terus, jalan pintasnya... gue harus debat sama kakak?"
"... dan kalau misalnya gak ada yang bisa ngebela gue, gue bisa apa? Belum lagi dengan Arion yang pasti pilih kakak daripada gue."
Lemah pada diri sendiri. Tidak bisa dipercaya jika seorang Aliona sekarang sudah mulai menyerah dan tidak akan maju dalam langkah yang ia tempuh. Berharap bagaimana kisah cintanya akan berjalan dengan sesuai rencananya, namun ia harus bertatap muka melalui kakak kandungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
EN ROUTE
Підліткова літератураBagi Nana, Arion adalah cinta pertamanya. Dan bagi Arion sendiri... Nana hanya adik dari seorang gadis yang ia sukai. Arion Mahesa. Nana mengingat nama itu seperti ia melihat bintang jatuh. Begitu indah untuk dilihat, namun sangat sulit ketika i...