Dulu sewaktu masih berumur belasan tahun, beberapa pandangannya cukup terbilang dewasa walaupun masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.Dari raut yang tidak bisa dikatakan oleh teman-teman kebanyakan, gadis ini memang sudah terbilang acuh dengan tingkat egoisme yang tinggi. Ada yang menurutnya itu buruk, walaupun pandangan orang lain bisa saja mengatakan bahwa itu lebih dari baik.
Berbekal dengan apa yang selalu menjadi tameng untuk melindungi dirinya dari pelaku yang tidak baik kepadanya, maka gadis ini bisa saja memberitahu orang lain kalau dirinya sedang dalam masalah yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri.
"Kamu itu perlu berubah, Nana."
Kalimat itu telah kembali lagi pada dirinya untuk menjadi yang lebih baik. Dengan mimik wajah untuk tetap baik-baik saja, pandangannya pun mulai turun menatap beberapa lembar kertas yang perlu ia isi untuk mengerjakan tugas sekolah.
"Kalau kamu seperti ini terus, ayah bisa apa untuk mendidik kamu untuk menjadi yang lebih baik? Bahkan anak ayah kan ingin menjadi seorang Dokter, jadi... bagaimana keputusan Nana, ayah tidak bisa mengelak untuk itu."
Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, ayah datang dari luar kota dengan sangat terpaksa karena aduan sang bunda yang membuatnya terkejut serta harus pulang detik itu juga.
Tangannya gemetar. Ia sendiri tidak bisa mengelak kalau ayahnya sudah seperti ini—bahkan rela pulang hanya untuk menyelesaikan masalah yang baginya, hanya sepele saja.
Merasakan bagaimana tangan ayah menyentuh kepala sang bungsu, lantas dengan kekuatan penuh ayah menghantarkan pelukan hangat untuk putrinya yang sangat keras kepala ini.
"Ayah merasa jadi ayah yang gagal untuk mendidik kamu sampai detik ini, Na. Kalau kamu kembali pada sifat kamu yang dulu-dulu, ayah bisa apa selain harus mendidik kamu lebih keras lagi?"
"Nana minta maaf..."
"Ayah cuma mau Nana berubah. Tetapi ayah tidak bisa memaksa kehendak Nana untuk menjadi yang lebih baik lagi, dengan waktu yang cepat. Namun ayah cuma menginginkan Nana untuk tidak berbuat seperti itu lagi terhadap bunda, dan juga kakak, sayang."
"Tapi Nana cuma memberikan suara apa yang Nana simpan selama ini, yah. Kalau ayah juga gak setuju sama apa yang Nana lakuin selama ini, itu artinya ayah jauh lebih mendukung kakak daripada Nana."
"Na... ayah cuma mau—"
Gadis ini melepaskan kehangatan dan beranjak diri dari hadapan ayahnya. Mengusap air mata yang mulai jatuh satu-persatu, lantas ia tidak mengatakan apa-apa selain mengambil sweater dan melenggang pergi dari kamarnya.
"Nana, ayah belum selesai bicara. Ayah minta maaf kalau perkataan ayah menyinggung perasaan kamu, sayang."
Rasanya sudah cukup. Beberapa orang tidak bisa menghargai perasaannya sama sekali. Dari mulai Arion yang memutuskan hubungan dan hanya memandangnya sebagai adik dari kakak yang ia sukai, bunda dan ayah telah salah menilainya—hingga ia telah memiliki musuh yang selalu saja tidak suka terhadapnya.
Menuruni anak tangga dengan mempercepat langkah, pikirannya mulai tidak bisa diam dari beberapa hari kemarin. Kalau saja ada yang bisa mengerti perasaannya mulai detik ini, ia akan sangat berterimakasih karena mau berteman sekaligus memahami posisinya saat ini.
"Kakak mau tambah lagi sarapannya? Bunda masak telurnya dua buah untuk kakak, supaya kakak sehat dan lebih bertenaga. Mau lagi, kak?"
Sebelum melewati dapur yang terhubung langsung dengan ruang makan, Nana menatap keindahan yang jarang dialami oleh dirinya sendiri. Menatap bunda dan kakak yang tidak pernah adu mulut seperti waktu dirinya kemarin, lantas satu sudut bibirnya mengulas senyuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
EN ROUTE
Teen FictionBagi Nana, Arion adalah cinta pertamanya. Dan bagi Arion sendiri... Nana hanya adik dari seorang gadis yang ia sukai. Arion Mahesa. Nana mengingat nama itu seperti ia melihat bintang jatuh. Begitu indah untuk dilihat, namun sangat sulit ketika i...