Kejutan Lima Menit

12 1 0
                                    


  Coffee Flash.

  Duduk menatap ke arah pengunjung. Tiap-tiap yang datang membuat pandangannya sedikit kabur. Pesanan kopi americano dingin dengan sepotong cheesecake menjadi pendamping sebagai teman cemilannya.

  Seragam lusuh dengan balutan cardigan biru dongker menjadi sorotan ketika logo sekolah sengaja ia tutupi rapat-rapat. Rambutnya diikat begitu tinggi. Tarikan nafasnya begitu panjang ketika ada sesuatu yang membuatnya tidak begitu senang.

  Pukul satu kurang dua menit. Tangannya mengambil segelas kopi americano seraya di seruput begitu lembut. Dua buku pengetahuan yang selalu ia bawa kemana-mana mulai terbuka, membaca lembaran pertama dan memulai instruksi untuk lebih tenang.

  "Permisi..."

  Seseorang datang ke meja nomor lima. Bertepatan dengan dirinya yang baru saja mulai membaca buku, matanya menoleh menatap ke depan pandangannya saat bertemu.

  "Ada apa?"

  "Maaf mbak, saya mau mengembalikan barang yang jatuh di meja kasir. Saya pikir, ini punya mbaknya?"

  Seorang barista datang mengembalikan barang yang mungkin terjatuh saat menyerahkan pembayaran di kasir sana. Pandangannya jatuh kepada kalung dengan bandul yang sama ketika ia lihat di atap sekolah.

  Ia hanya mengangguk. Mengambil barang yang diberikan barista kepadanya seraya menyimpulkan senyuman. "Terimakasih ya, mas."

  "Sama-sama mbak. Kalau gitu saya permisi lagi ya..." dia pergi setelah mengembalikan kalung. Dengan kata lain, setelah barista itu datang menghampiri dirinya—ia senang karena sesuatu ada pada dirinya saat ini.

  Buku pengetahuan yang baru ia baca pembuka kata sengaja tidak dilanjutkan karena ada sesuatu yang menurutnya lebih penting. Benda berharga yang mungkin membuat pemiliknya akan terluka, sekarang ada ditangannya.

  Beruntung karena tempat kopi ini mengembalikan kepadanya. Ia pun segera sadar, sebelum kedatangannya kesini ternyata dia yang lebih dulu mengunjungi tempat ini. Bukan tanpa sebab untuk memilih yang siapa saja boleh ke tempat ini, hanya saja ia seperti ketimpa keberuntungan besar yang mudah saja ia dapatkan.

  Kalungnya ia genggam begitu erat dan tidak mau sampai terlepas. "Kenapa harus gue lagi?" katanya sambil menatap kalung emas putih di hadapannya.

  "Apa gue harus jadi yang ketiga untuk permasalahan ini? Tapi kenapa harus gue dan kenapa..."

  Tring.

  Ponselnya menyala menampilkan notifikasi di layar kunci. Kalung yang ia genggam langsung disimpan di saku baju seragamnya, lalu mengambil ponsel untuk melihat siapa yang mengirimkan pesan kepadanya.

  < AYAH
  Assalamu'alaikum sayang... kamu sehat nak?
  —
  Bagaimana sekolah kamu selama disana? Baik-baik saja kan?

  Baru membaca sudah menghembuskan nafas begitu berat. Gadis ini meletakkan kembali ponselnya diatas meja. Pesanan cheesecake ia potong lalu memakannya dengan perlahan. Rasanya tidak bisa dibayangkan ketika kue kesukaannya mulai menikmati penjiwaan-nya.

  Tring.

  Ponselnya kembali menyala. Ia semakin resah ketika ayahnya sudah menanyakan kabar tentang sekolahnya selama ini. "Kenapa sih..." geramnya ketika menatap ponsel.

  < AYAH
  Nana... sayang... bunda sama kakak katanya tadi pagi telfon, kok gak diangkat?
  —
  Kamu baik-baik saja kan sayang? Gak terjadi apa-apa kan nak?
  —
  Ayah diberi kabar tentang sekolahmu belakangan ini. Ada apa? Kenapa Nana sering bolos pelajaran? Kenapa Nana hari ini tidak masuk sekolah?
  —
  Nana sakit? Kenapa Nana tidak angkat telfon dari bunda sama kakak? Mereka khawatir nak, terutama ayah.

EN ROUTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang