Konsekuensi dari Masalalu

16 1 0
                                    

  Katanya, dia libur sendiri hanya tiga hari. Tetapi semakin kesini, semakin tidak jelas. Pandangan yang lusuh menatap keluar, mulai mencari jawaban. Ada yang berbeda setelah satu minggu telah terjadi kekacauan di lapangan depan.

  Harapannya hanya satu, dia bisa masuk sekolah. Dengan begitu, rasa penasaran yang diam-diam menyakiti hatinya bisa terbalaskan. Terakhir kalinya menerima pesan singkat, waktu Susan dan Zara jahil dengan ponselnya.

  Setelah itu, tidak lagi. Benar-benar tidak ada panggilan masuk hanya sekedar iseng, ataupun pesan yang masuk hanya sekedar salah kirim.

  "Huhhh, Ya Allah... kenapa Nana jadi kayak gini sih."

  Hembusan nafasnya begitu panjang. Hingga rasa kesal pada hatinya begitu membuncah, gadis ini pergi melenggang keluar dari kelasnya. "Daripada bete gini, mending gue cuci muka."

  "Ehhh Na! Mau kemana?!?" teriak Susan.

  "Gue boleh ikut gak? Ke kantin ya?" sahut Zara.

  Nana menoleh, menatap Susan dan Zara secara bergantian. "Mau buang air besar, ikut juga?"

  "ENGGAK, MAKASIH!" teriak Susan dan Zara bersamaan.

  "Yaudah kalau gak mau," selepas itu Nana pergi.

  Dengan jalan begitu santai, Nana menelusuri koridor sekolah seraya menatap ke arah kelas-kelas lain sedang mengerjakan tugasnya. Ada yang bermain permainan yang Nana tidak mengetahuinya, ada yang asik memoles wajah seperti buku gambar, dan ada juga yang hening dengan memilih tidur sebagai jalan keluar.

  Nana hanya berwajah datar ketika ada orang lain yang menatapnya dengan tatapan tidak mengenakan. Hingga kedua kakinya berhasil memasuki kamar kecil, kedua tangannya beringsut memutar keran air seraya membasuh wajahnya.

  "Ahhhh, seger banget."

  Asik membersihkan wajahnya dengan air, Nana mematikan keran air lalu membasuh wajahnya dengan tissue. "Kenapa air disini gak karuan banget deh."

  "Lo Nana?" seseorang memanggil namanya dari samping. "Lo Nana yang dikabarin deket sama Arion itu kan?"

  Nana menoleh, menatap seseorang dengan wajah penuh make-up dan juga rambut yang penuh jepitan dengan motif bunga. "Iya, gue Nana. Cuma kalau soal deket sama Arion, kayaknya bukan gue deh."

  "Lho bukan gimana. Jelas-jelas lo Nana yang digosipin deket sama Arion, bahkan suka jalan  bareng. Standar lo oke juga ya, setelah nolak mentah-mentah Ketua Osis disini?"

  Nana tidak menanggapi. Ia mengambil selembar tissue lagi lalu melenggang keluar. Namun sebelum menarik gagang pintu, tangannya lebih dulu terhenti oleh pergerakan seseorang di belakangnya.

  "Ohhh jadi bener yang orang lain bilang. Gadis cuek bebek, arogan dan... yaaa standarnya selalu pilih-pilih ini. Ngerti sih kenapa lo jadi bahan gosip anak Andromeda."

  Nana diam. Kalau ia bertindak dengan semena-mena akan membuat kepribadiannya kacau dan merasa dunianya sudah runtuh dengan seketika. Kedua tangan yang terkepal hebat, hatinya sudah memanas sejak tadi, lalu bibirnya yang bungkam membuat pikirannya semakin kemana-mana.

  Seseorang yang berada di hadapannya saat ini membuatnya marah. Berusaha untuk tetap tenang dan baik-baik saja, Nana memutar wajahnya dengan membuang kasar seraya berdecak pelan.

  Bukannya membiarkan Nana pergi, justru tangan kanan yang tidak tahu sopan santun mencengkram wajah Nana dengan kuku panjangnya. "Dan lo gak sadar juga hm?"

"... lo gak sadar, kalau penyebab kematian Leo adalah seorang Aliona yang gak kebanyakan orang tau, bahwa gadis cuek bebek, arogan dan pilih-pilih ini adalah pembunuh?"

EN ROUTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang