Hentakan

11 1 0
                                    

  "Keberangkatan kamu ke Aussie, dihitung berapa hari lagi kak? Kalau masih banyak barang yang kakak perlu, nanti bunda bisa belikan sehabis ayah pulang kerja, gimana?"

  "Kayaknya Ona belum mau ke Aussie minggu ini deh, bun. Ada kendala sama dokumen penerbangan soalnya, masih perlu Ona urus terlebih dahulu. Gak papa?"

  "Yasudah, nanti biar bunda kasih tau ayah kalau ada kendala sama dokumen kamu. Sekarang panggil Nana ya kak, kita makan siang sama-sama."

  "Iya bun."

  Dari arah dapur, Alona menghampiri adik satu-satunya di halaman belakang rumah. Menatap bagaimana gadis itu tengah meratapi kekosongan yang tercipta, lantas tangannya menyentuh puncak kepala seraya memberikan senyuman yang paling indah kepada adiknya.

  Duduk bersebelahan dengan Nana, Alona pun tak sadar kalau gadis kesayangannya itu tengah menggenggam sebuah kalung berwarna emas putih.

  "Ada apa?" tanya Nana yang tidak memalingkan sebuah benda berharga miliknya. "Kakak gak jadi siap-siap? Mau ke Aussie kan?"

  "Belum bisa minggu ini, Na. Katanya ada masalah sama dokumen kakak. Kenapa?"

  Nana menggeleng. Awalnya ia banyak berpikir bahwa kepergian kakaknya sebentar lagi membuat suasananya akan tentram. Namun ketika sesuatu yang membuat Nana berubah pikiran mengenai apa yang telah terjadi, semuanya berubah total.

  Bukannya Nana tidak suka dengan batalnya sang kakak akan kembali ke Negeri Wol sana, tetapi rasa dan suasana membuat Nana seketika berubah yang awalnya senang dengan kedatangan sang kakak—justru berujung tidak mengenakan.

  Sebab apa yang telah terjadi pada hubungannya tanpa kejelasan, mungkin Nana sendiri sadar bahwa apa yang sudah dikatakan akan tetap menjadi jawaban.

  Tangannya merasakan kehangatan ketika Alona menggenggamnya lalu mengajaknya pergi masuk menuju dapur. Di tarik sampai meja makan, hingga dengan rasa kasih sayang pada adik satu-satunya, Alona memberikan satu piring berisikan nasi beserta lauk-pauk.

  "Makan yang banyak ya, Na. Sekarang kakak masih bisa pantau kamu kalau kamu suka telat makan. Nanti kalau seandainya kakak kembali ke Aussie, pasti kamu gak bakal teratur lagi."

  "Kan ada bunda."

  "It's not always people who will tell you what's always been in you, Na. Kalau kakak sih wajar... kakak selalu memperhatikan kesehatan kamu."

  "Nana kan gak punya riwayat maag, kak. Jadi kalau seandainya Nana memang suka telat makan, memang gak pernah sakit kok, serius deh."

  "Jangan berbicara seperti itu, Na. Bagaimanapun juga, kesehatan itu nomor satu. Yaudah yuk, kita makan."

  Kakak-adik itu berjalan bersamaan. Menuju ruang makan untuk sama-sama mengisi perutnya yang kosong, mereka pun selalu berinteraksi ketika ada saja obrolan yang mereka bicarakan.

  Usai duduk dengan arah bersamaan, tangan Alona kembali memberikan sesuatu yang membuat Nana selalu saja seperti beruntung memiliki kakak sebaik Alona.

  Dengan setengah sendok centong nasi, udang balado, capcay dan juga tempe goreng menjadi menu utama untuk Nana dari sang kakak.

  "Makan yang banyak ya sayang."

  "Iya kak, bismillah..." ucap Nana dengan kedua tangan merapal sebuah doa sebelum menyendok nasi masuk ke dalam mulutnya.

  "Nanti kakak mau ajak kamu pergi ya, dek. Abis makan kamu langsung naik ke kamar terus ganti baju."

  Nana menoleh, "mau kemana?"

  "Nanti kamu juga tau."

  🌟🌟🌟

EN ROUTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang