REPLAYING || 6

11 5 2
                                    

Sebuah tatapan tanpa ekspresi sebuah rumah gedong besar milik seorang wirausahawan berjaya yang terkenal seibu kota negara ini. Lama berdiri di depan pagar, akhirnya ia menggoyangkan engsel pengunci pagar hingga berbunyi sebab saling membentur dengan badan pagar besi bergaya apik tersebut.

"Eh, Non. Tapi nanti..."

"Tolong bukain cepet ya!" ujarnya dengan tenang dan wajah terkesan dingin yang netral namun banyak orang bilang itu terkesan jutek. Ia sampai tidak mengerti bagaimana lagi mengekspresikan wajahnya agar baik di pandang.

Security membuka pagar hanya sedikit seukuran celah masuknya manusia. Setelah masuk ia kemudian berdiri diam sejenak. Perlahan suara familiar yang tanpa di undang memasuki indra pendengaran secara ricuh.

Matanya kemudian menangkap memori kelam yang mengerikan, yang berusaha di kubur sedalam-dalamnya tanpa galian lubang yang cukup dalam benak.

"Gak, bukan saya yang bunuh. Dia bunuh diri. Jangan bawa saya. Lepas! Mas tolong aku dong!" jerit seorang wanita awal 30-an bersikeras dengan pendapatnya dan berusaha melepaskan diri dari kekangan polisi di kedua sisinya.

Seorang anak berusia 8 tahun terdiam memandang kejadian itu, terutama saat wanita tersebut di masukkan ke dalam mobil polisi. Di detik terakhir wanita itu menatap dirinya dengan raut tak suka, namun terlihat seperti meminta pembelaan. Tapi anak gadis 8 tahun itu memandang semua kejadian dengan raut tanpa ekspresi yang tenang.

"Non!" sebuah tangan yang menepuk bahunya membuat dirinya kembali dalam kesadarannya. Ia menghembuskan napas dengan bahu yang naik turun. Lagi, hal menyeramkan pada dirinya kembali muncul ke permukaan luka.

Langkahnya kembali ia lanjutkan menuju pintu rumah besar tersebut. Saat sampai di depan pintu dan berniat memencet bel, spontan pintu berdaun dua itu terbuka. Matanya yang menukik dalam itu memandang seorang wanita di hadapannya. "Sheira?!" ucap wanita itu terkejut dan memundurkan langkah. Wajah terkejutnya tidak membuat Sheira berubah ekspresi dan berpindah tempat sekalipun.

"Kamu kena-"

"Saya cuman mau ngambil satu barang tante. Bukan mau membunuh tante dan anak kesayangan si pria tua itu." ujarnya.

"Tapi nanti papa kamu marahin tante. Kamu tahu kan papamu rajin ngecek CCTV rumah ini?" ujar wanita itu. Sheira hanya diam saja, sama dengan wanita itu. Lama berpikir ia kemudian menatap Sheira.

Wanita itu menatap pemandangan luar pagar dan celingak-celinguk sebentar. "Ya udah, kamu masuk. Tapi tolong cepetan ya? Tante takut nan-"

"Permisi!" sahut Sheira memotong perkataan Tante Karina—wanita tersebut istri sang papa. Sheira langsung melangkahkan kakinya masuk. Tepat lima langkah kakinya memasuki rumah itu, sebuah klakson mobil berbunyi menandakan bahwa gerbang harus di buka. Sheira berhenti di tempat, sementara Tante Karina yang merupakan istri dari pria pemilik rumah ini alias papanya saling memandang dengan dirinya.

"KAMU!" akhirnya sudah sekian lama sejak ia pindah dari rumah ini, Sheira mendengar lagi suara pria yang di bencinya setengah mati.

"Gue cuman mau ngambil-"

"Sini kamu!" papanya itu mendekati Sheira dan menarik tangannya keluar dari rumah itu. Sheira kira ia akan di seret keluar, namun malah di bawa ke garasi. Tante Karina menutup mulutnya namun tidak berniat mengikuti suaminya itu, ia sudah berteriak menahan tapi tetap saja suaminya itu tidak dapat di kontrol lagi ketika marah. Security hanya memandang saja tak berani ikut campur.

Di garasi, tersisa satu mobil terparkir. Tangannya di hempas kasar hingga membuat dirinya terbentur di mobil tersebut.

Dengan wajah geram, papanya kemudian menaikkan nada suaranya. "KENAPA KAMU KESINI LAGI? SAYA SUDAH BILANG JANGAN KESINI LAGI!"

Tak lama sebuah tamparan mendarat di pipi kanannya yang kini terasa panas. Wajah Sheira terpalingkan, ia kemudian tertawa hambar dengan cukup kencang.

Sementara istri sang papa tetap diam di ruang tamu dengan hati gelisah. Karena jika sudah marah seperti itu, suaminya tidak ingin ada orang lain sebab akan terkena imbasnya nanti.

"LO BENCI GUE? GUE LEBIH-LEBIH! LO ITU MONSTER YANG SAMA KAYAK WANITA GILA YANG BUAT GUE MENYESAL DI LAHIRIN DARI RAHIM DIA!" teriak Sheira tanpa ragu-ragu. Tangannya terkepal kuat hingga kuku jari panjangnya melecetkan telapak tangannya.

"Kurang ajar kamu!" Sheira kemudian di dorong kencang hingga wajahnya terbentur di benda yang ada di sana. Sampai-sampai wajahnya tergores, terluka.

"Shei!" Mario melambaikan tangannya di depan wajah Sheira yang termenung diam sedari tadi. Cewek itu tersadar akan lamunannya, lalu matanya memandang cowok itu.

Mario tertawa kecil. "Gue nanya soal kenapa wajah lo luka gitu kemarin. Bahkan sekarang bekas luka di bibir lo itu menghitam sampai segitunya." Sheira menatap lamat Mario.

"Cerita di balik luka ini gak perlu lo tahu. Gue gak suka orang orang yang terlalu kepo."

Mario terdiam. Memang wajar jika Sheira mengatakan itu padanya. Karena bagaimanapun mereka berkomunikasi baru 3 kali dalam 2 hari ini. Begitu pikir Mario. Cowok itu orang yang ceria, jika ibarat musim, dia adalah musim panas setelah hujan. Menghangatkan dan mencairkan kesedihan. Tapi hal ini tidak berlaku pada Sheira, cewek itu tetap kekeuh dengan sifatnya yang seperti menjaga jarak pada orang lain.

"Lo gak akan sanggup berkomunkasi sama gue lagi, jika lo tahu kisah apa di balik hidup gue." Sheira menatap Mario sebentar dan kembali memalingkan wajah memandang pemandangan taman ini yang semakin siang saja.

Mario yang tadinya menatap Sheira, kini mengikuti arah pandang cewek itu. "Kalau gitu, gue minta maaf. Tapi boleh gue cerita dikit?" tanyanya, Sheira mengangguk pelan tanpa menatapnya.

"Gue mau jujur..." jedanya sebentar. "kalau gue itu takut darah." sambungnya pada akhirnya.

Sheira langsung tersenyum miring. "Terus?" Mario kemudian tertawa kecil.

"Ya...gue mau ngasih tahu doang. Itu sebenarnya rahasia besar gue sih, tapi gue percaya sama lo. Itu sebabnya waktu kita sepedaan bareng ketika lo sebut darah gue jadi marah. Sebab ada kenangan yang gak mau gue ingat tentang darah itu." Mario berubah sedikit murung.

Tak lama kemudian, sebuah garpu jatuh tepat di ujung sepatu Sheira. Sheira memungutnya dan seorang anak kecil datang, sepertinya itu miliknya.

"Itu punyaku." ujar bocah laki-laki tersebut.

"Boleh pinjam sebentar gak?" tanya Sheira pada anak itu dan ia mengangguk.

Anak itu kemudian pergi ke bangkunya bersama orang tuanya, Sheira melihat itu dan memandang Mario.

"Seserem itu kenangan soal darah itu?" tanya Sheira membuat Mario diam tanpa menjawab apapun.

Sheira mengangkat garpu di tangannya dan langsung mengarahkannya cepat pada dada Mario. Cowok itu memejamkan mata dan sedikit menjerit. Namun ketika sedikit lagi sampai pada dada bidang Mario, Sheira memelankan laju garpu itu. Alhasil, hanya tertempel pelan saja bagian mata garpu itu.

Mario membuka mata perlahan dan terkejut melihat garpu itu, gantian ia memandang Sheira.

"Lo jadi temen gue!" ujar Sheira menunjuk Mario dengan garpu yang ia lengketkan di dada cowok itu. Sheira tersenyum miring dan Mario hanya menatap itu dengan jantung yang berdegup kencang.

****

Salam hangat💙,

fadilldolmi
(Rabu, 11 Agustus 2021. 22:31 WITA)

REPLAYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang