"Selamat untuk Ciara. Kamu berhasil mendapatkan nilai sempurna dengan nilai 98 selamat ya. Jadi otomatis Ciara ya yang mewakili sekolah kita untuk ajang olimpiade antar sekolah. Ayo kita semangati Ciara agar bisa lancar dan mendapatkan hasil yang baik di olimpiade minggu depan. Yang lain jangan patah semangat ya, tetap terus belajar." Ucap Bu Farah memberi apresiasi pada peserta seleksi, ia berharap agar para siswa-siswi yang belum mendapatkan kesempatan bisa terus menggali terus kemampuan mereka untuk berkompetisi secara sehat.
"Kalau begitu ibu akhiri pertemuan terakhir kita. Terimakasih atas partisipasi kalian yang teramat antusias ini. Ibu duluan ya." Ujar kembali Bu Farah seketika pamit dari kelas tersebut.
Sebuah tangan yang kembali menggaruk tengkuk leher yang tak gatal itu membuat hatinya semakin gelisah tak karuan. Selisih nilainya dengan sosok pemenang seleksi ini hanya berkisar 5 poin. Tapi ia sudah punya rencana yang memang sudah seperti itu jalan terbaik. Namun di sisi lain dia merasa gelisah dan takut, bagaimana nanti jadinya jika dia ketahuan melakukan itu?
Yang penting gue harus bisa mewakili sekolah ini dalam olimpiade matematika, gak boleh Ciara. Papa pasti akan buat hukuman yang gak akan terampuni pada gue. Gue pasti bisa lakuin ini. Ingat Jihan, hidup lo sekarang jadi taruhan di olimpiade ini. Gue bisa!! Jihan akhirnya membulatkan tekad.
"Ciara!" Panggilnya menahan si primadona itu. Gadis itu kemudian berbalik.
"Yuk, jadikan?" Tanya Jihan pada gadis itu. Ciara kemudian mengingat sebentar, beberapa detik teringat ia langsung bercelatuk.
"Ah, iya. Ayo deh. Gue hubungi yang lain dulu gak sih? Nanti jangan-jangan mereka udah pulang lagi."
Jihan tersenyum. "Gak bakalan, gue udah nge konfirmasi mereka sekitar pukul 17.00 mereka ke rooftop. Kan sekarang udah pukul 16.47 tuh, kita nungguin mereka sambil persiapan di atas kan bagus. Gimana?"
"Ah sebenarnya udah beres, cuman kita buat lebih surprise gitu. Gimana?"
Ciara mengangguk, "Oke deh. Ayo!" Keduanya kemudian berjalan bersama menuju rooftop. Di perjalanan itu hanya diam yang menghiasi suasana. Jihan tidak bisa memulai percakapan dengan hati yang gelisah dan ragu dalam menentukan kegiatannya sebentar lagi.
"Stop!"
Ciara menatap Jihan, "Lo tunggu di sini dulu gak apa-apa kan? Gue mau mastiin kalau orang yang di suruh papa gue buat persiapan di sini udah gak ada. Lo tunggu dulu ya?" Kata Jihan ketika mereka sudah di depan pintu rooftop.
Jihan kemudian masuk dan segera menutup pintu. Dadanya kembang kempis ketika bersandar di balik pintu itu. Matanya menatap ke arah lain dengan panik. Gue bisa, gak ada jalan lain selain melakukan ini. Gue capek untuk menghadapi papa yang suka menghukum gue tanpa ampun. Batinnya sambil menatap tangannya yang gemetaran. Lalu ia menggaruk belakang lehernya sebentar dan kembali membuka pintu lalu menutupnya tidak terlalu kencang.
Ia lihat Ciara sedang di depan anak tangga yang banyak itu, berdiri memainkan ponselnya. Jihan perlahan mendekat dengan meminimalisir suara hentakan sepatunya yang biasanya bersuara. Perlahan tangannya menjulur pada belakang Ciara. Hampir mendekat, tangannya gemetaran.
"Jihan?!"
Jihan berbalik ketika sebuah suara yang tidak jauh di belakangnya mengacaukan misinya. Sebelum Ciara berbalik sempurna akhirnya Jihan berteriak dan mendorong cewek itu hingga jatuh terguling-guling bersama dirinya.
"Aaah!" Teriak Jihan dengan tangannya yang mendorong punggung Ciara sampai gadis itu kini terguling-guling mengenaskan di anak tangga yang banyak itu. Jihan juga ikut terguling namun masih sempat memegang pagar tangga agar tidak jatuh terlalu jauh di bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
REPLAYING
Mystery / ThrillerON GOING • SELASA, RABU & JUM'AT Bagaimana rasanya hidup dengan masa lalu yang terus terputar ulang? **** Masa lalu saling berkesinambungan dengan masa depan. Seringkali masa lalu tersebut menjadi arahan seseorang bahkan pelajaran untuk kehidupan ke...