Bab 18 yang kurasa ini cukup mengambil perhatian. Untuk itu, SELAMAT MEMBACA ❤️
================
"Halo?"
Suara dari seberang telepon.
"Selamat pagi pak, maaf mengganggu waktunya. Saya kepala sekolah pak. Ah, saya mengundang bapak untuk berkenan datang ke rumah sakit tempat Ciara di rawat pak bersama orang tua murid yang bersangkutan, ada hal penting yang akan kami bicarakan. Apalagi Ciara juga sudah siuman setelah 2 hari berlalu."
Hening. Tidak ada jawaban dari Papa Jihan. Pria itu menatap pemandangan yang disuguhkan dari tempat proyek pembangunan yang ia pimpin. Hamparan bangunan serta beberapa tumbuhan serta aktivitas kendaraan terus-menerus menghiasi pemandangan di sana. Di bangunan yang masih setengah jadi itu, Papa Jihan terdiam cukup lama hingga suara batuk pelan kepala sekolah membuatnya kembali alam kesadarannya.
"Ah iya, maaf pak. Iya, saya akan segera kesana. Kebetulan saya sedang tidak terlalu jauh dari rumah sakit itu, kemungkinan 15 menit saya sampai."
Setelah itu panggilan ditutup secara sepihak. Yang sebelumnya salam serta kata undur diri menjadi kalimat terakhir sebelum panggilan itu berakhir.
Tio—Papa Jihan—melihat angka di arlojinya menunjukkan pukul berapa. Setelahnya, pria itu pamit sebentar pada bawahannya melepas rompi oranye yang melekat pada tubuhnya lalu melangkahkan kaki menuju mobilnya.
***
"Om!"
Pria yang dipanggil memandang dengan wajah kusut. Riak ekspresi yang ditunjukkan sangat tidak enak dipandang. Dalam diam, Mario meneguk salivanya.
"Siapa kamu?" jawab pria tersebut dengan alis yang mengernyit. Perlu di garis bawahi, ekspresi tidak suka dan kusutnya itu masih sangat terpampang jelas. Yang mungkin sudah seperti itu bentuk dari watak pria tersebut.
"Sheira dimana om? Kenapa rumahnya hancur berantakan gitu?" Tepat, itu Wibowo—Papa Sheira—Mario menatap Wibowo dengan lamat. Harap-harap ia mendapatkan petunjuk dimana keberadaan Sheira. Namun sayang, jawaban yang diharapkan Mario tidak persis seperti yang dilontarkan Wibowo.
"JANGAN SEBUT NAMA DIA!" tegas Wibowo membentak.
Mario berasa tertohok, bukan sebab Wibowo menggertaknya melainkan bagaimana Wibowo tidak menginginkan kehadiran Sheira? Bagaimana Wibowo begitu membenci Sheira yang padahal anak kandungnya sendiri? Begitu miris rasanya, hati Mario berasa ngilu mengingat kehidupan yang selama ini Sheira rasakan dan jalani.
"Kenapa om begitu membenci Sheira? Dia salah apa om? Kenapa semua orang benci dia? Dia itu anak kandung om, tapi om sendiri pun tidak menganggap keberadaan dia." Ketika Mario mengatakan ini ia sampai maju dihadapan Wibowo, namun ditahan oleh 2 orang satpam kompleks. Mario begitu marah, wajahnya pun memerah emosional, kini menguasai dia.
Saat ia didorong oleh satpam, buku cokelat dari rumah Sheira terjatuh.
"Cepat usir dia pak, dasar anak tidak sopan! Siapa kamu mau menceramahi saya?!"
Mario kemudian didorong hingga tersungkur. Ia tanpa sadarnya menangis, begitu sedih. Ketika ia mengangkat pandangan, dilihatnya buku cokelat itu tergeletak di jalan, segera ia bangkit lagi. Tapi ia didahului oleh Wibowo yang menyadari kepemilikan buku tersebut.
Ia membolak-balik buku cokelat yang usang tersebut, yang bahkan kini dihiasi beberapa bercak darah. "Ini buku milik almarhumah istri saya! Mengapa ada di kamu? Sudah tidak sopan, sekarang mencuri barang orang juga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
REPLAYING
Mystery / ThrillerON GOING • SELASA, RABU & JUM'AT Bagaimana rasanya hidup dengan masa lalu yang terus terputar ulang? **** Masa lalu saling berkesinambungan dengan masa depan. Seringkali masa lalu tersebut menjadi arahan seseorang bahkan pelajaran untuk kehidupan ke...