REPLAYING || 11

8 3 9
                                    

"Gimana seleksi kamu hari ini?"

Jihan segera memberhentikan langkahnya. Tasnya yang masih menjadi beban utama di bahunya. Ia kemudian menatap papanya.

"Lancar kok, pa." Jawab Jihan. Tiba-tiba pikirannya melalang buana pada kejadian di kelas seleksi tadi.

"Ciara Aprillia?!" Ucap guru matematika di depan kelas dengan suara yang lumayan keras. Menyebutkan nama muridnya yang mengikuti kegiatan bergengsi di sekolah besar dan ternama ini.

Tidak ada yang menyahut sama sekali hanya saling memandang satu sama lain. "Gak ada yang lihat?" Tanya guru itu. Hanya Jihan seorang yang membaca materi di buku latihan Olimpiade yang papanya antar tadi ketika ia menelpon.

"Halo, ada apa Jihan?"

"Pa, aku mau minta tolong boleh? Gini, aku di beri tahu sama Bu Farah untuk beli buku persiapan seleksi, kayak bank soal dan materi olimpiade matematika. Papa bisa beliin gak? Terus anter ke sini? Soalnya waktu istirahat aku bentar lagi habis. Jadi gak sempet, gimana?"

Berselang 10 detik, akhirnya suara papanya kembali lagi. "Nanti papa bawain. Kirim gambarnya setelah ini di WhatsApp papa." Telepon kemudian di tutup sepihak sebelum Jihan mengucapkan terima kasih.

"Ciara terkunci di toilet, bu!" Lapor seorang peserta seleksi dari kelas tetangga jurusan Jihan. Sosok yang di sebut namanya berada di samping seorang siswa laki-laki tersebut. Bu Farah selaku guru matematika yang memegang tanggung jawab olimpiade tersebut menatap Ciara. "Kok bisa?"

Ciara kemudian bersuara, "Tadi di depan pintu toilet ada tulisan 'toilet rusak' dan cuman satu yang gak ada tulisannya. Jadi saya masuk ke sana. Tapi, ketika saya au keluar pintunya gak bisa di buka. Nanti Setya dateng baru saya keluar deh, bu. Maaf banget saya gak ikut kelas ibu tadi." Cewek itu menundukkan kepalanya menyesali apa yang terjadi padanya hari ini.

"Iya gak apa-apa, ibu paham. Tapi tetap saja kamu absen untuk pertemuan ketiga ini ya?"

Jihan melihat Ciara diam. Matanya mengikuti langkah Ciara bahkan ketika cewek itu sampai di bangkunya. Ciara kemudian membuka tasnya, namun cewek itu malah melempar tasnya di ubin putih ini sambil berteriak histeris.

"Ada apa, Ciara?" Bu Farah beranjak dari tempatnya. Murid lain tak lama kemudian berteriak dan menjauh ketika kemana hewan jorok tersebut pergi. Bu Farah kemudian menenangkan keadaan tapi tetap saja tak berhasil. Tapi, di tengah kericuhan tersebut, hanya Jihan di bangku kedua yang duduk diam dengan senyum yang sedikit terukir.

"Tolong tenang ya? Setya, Bimo tolong bantu teman kamu ini agar tidak ricuh seperti ini." Akhirnya Setya dan Bimo di memungut kecoa tersebut lalu membuangnya. Mereka selain Jihan yang naik di atas bangku kini turun dan Ciara merapikan bukunya yang berhamburan. Di kelas ini hanya 5 orang murid saja di hitung 6 termasuk Bu Farah untuk jumlah keseluruhan di ruangan tersebut.

"Kamu kenapa lagi, Ciara?" Tegur Hu Farah dengan kesabaran yang perlahan memudar, bertamengkan wajah berekspresi terkontrol.

Ciara menjawab ragu-ragu. "Soal Olimpiade tahun lalu yang saya pinjam untuk di fotocopy hilang, bu."

Bu Farah kemudian mendekati bangku cewek itu. "Kenapa bisa hilang? Itu bagian rahasia negara lho, Ciara. Walaupun beberapa sekolah juga punya , tapi kamu gak boleh hilangin gitu. Tumben kamu ceroboh?"

"Saya minta maaf, bu. Tapi perasaan, saya bawa kok tadi dari rumah." Kilah Ciara membenarkan diri.

Bu Farah menghembuskan nafas pelan, "Ibu kasih kamu kesempatan sampai besok. Jika kamu belum dapatkan lembaran soal itu maka kami terpaksa gak ikut seleksi olimpiade matematika ini. Kamu juga akan kena hukuman. Besok kamu ke BK karena saya akan melaporkan teguran level 2 kepada kamu besok."

Jihan melihat Ciara menunduk dengan tangan yang saling memilik satu sama lain saking gugupnya cewek itu. Jihan kembali pada bacaannya, setidaknya ia tidak mendapat masalah beruntun seperti Ciara hari ini. Lagi pun, dia merasa senang dan bahagia di atas semua ini pada salah satu sisi dirinya.

****

"Halo, Tio!" Kamu apa kabar? Wah, kita baru ketemu lagi ya?" Sapa seorang pria paruh baya itu pada seorang pria seumurannya yang sedang di toko buku ini pada rak pengetahuan.

"Eh, Wibowo. Halo, sehat-sehat kan?" Mereka kemudian berjabat ala umur mereka juga.

"Alhamdulillah, sehat. Ah, mau lihat produk penerbitan kamu ya?" Tanya pak Wibowo.

Temannya itu kemudian tersenyum. "Gak, saya lagi nyari buku untuk anak saya. Soalnya dia gak sempat kesini dam saya saya mau langsung nganterin ke sekolahnya setelah ini. Karena mau langsung di pakai." Jawabannya sambil tertawa.

"Wah, wah. Itu pasti anak kamu yang sulung kan? Dia memang pintar, bukannya dia mau jadi dokter juga ya?" Pak Wibowo tertawa dan bersuara cukup bahagia seperti memuji anak Pak Tio, yakni Jihan.

"Iya, tapi saya mau tanya sesuatu." Orang tua Jihan itu menatap Wibowo sejenak.

"Anak kamu... Sekolah di tempat Jihan bukan? SMA Cenderawasih?"

Pak Wibowo mendadak berubah ekspresi, ia memalingkan wajah ke buku-buku di rak tersebut. "Kamu kenapa menanyakan dia?" Pak Wibowo berusaha tertawa menghilangkan rasa benci yang begitu transparan di hatinya.

"Gak, saya lupa aja namanya. Apa dia.... Berambut pendek?" Lagi, Wibowo hanya diam. Pria itu melihat judul buku di hadapannya cukup lama. "Namanya Sheira. Dia berambut pendek." Akhirnya Wibowo menjawab. Ia tidak mungkin hanya diam saja.

"Ah, saya sepertinya ia ketemu dia tadi di gedung penerbitan cabang saya yang masih dalam proses pembangunan. Dia sangat mirip Nimas sifatnya, tapi untuk fisik mirip kamu. Tangannya tadi terluka. Menurut mandor saya di proyek tadi, Sheira sepertinya melukai dirinya sendiri. Tapi maaf sebelumnya, apa dia memiliki sindrom self-injury?"

Wibowo selaku papa Sheira menatap Tio dengan tangan di samping pahanya yang mengepal kuat.

PLAKK

"Kamu hanya akan selalu membuat masalah seumur hidupmu!" itu kata Wibowo ketika ia sampai dari bertemu Tio teman lamanya yang juga papa Jihan.

"Ngapain kamu kelayapan di gedung belum jadi milik papanya Jihan? Sengaja kamu buat saya malu seolah-olah kamu anak terlantar? Sejak kapan saya telantarkan kamu? Saya sudah baik selama ini mau menghidupi kamu sampai sekarang bahkan biaya kamu sekolah walau sifat kamu seperti wanita gila itu."

Sheira tidak menjawab hanya diam saja dengan wajah yang memaling ke ubin. Ia bisa melihat bayangan bulan purnama di ubin itu. Tidak ada emosi yang ia tampakkan hanya diam seperti batu.

"KENAPA KAMU TIDAK JAWAB SAYA?!" sebab sudah di luputi kabut amarah, pria itu segera mendorong anaknya hingga terbentur di tembok rumah itu. Berusaha mencekiknya. Sheira tidak melawan, hanya diam saja.

"KENAPA KAMU HANYA MEMBUAT MASALAH DAN KESAL UNTUK SAYA SELAMA HIDUPMU INI!! HAH?!!" wajah Sheira kini memerah.

Tangannya kemudian segera mencakar lengan papanya itu, apa yang dia lakukan kini sesuai bayangan yang ia lihat ketika melihat sosok wanita yang di cekik ibunya pada gudang rumah sakit. Lama kemudian, papanya melepaskan cekikan itu ketika suara datang menerobos amarahnya.

"Lepasin Sheira, om. Sadar om!!"

Sheira bernafas dengan dada yang kembang kempis. Kemudian ia mengangkat pandangan dan menatap tajam pria yang tak pernah menghiraukan bagaimana batinnya selama ini.

"Kenapa kamu tatap saya gitu, hah?" papanya kemudian mendekat namun di tahan cowok yang baru beberapa hari Sheira kenal.

Tatapan Sheira sangat tajam seperti ingin menerkam mangsanya. Tak lama kemudian...

"PERGI DARI SINI!!" teriak Sheira melengking dengan seluruh tenaga yang ia kerahkan sambil mengacak rambutnya frustasi.

Dua pria yang ada di sana terdiam membeku. Melihat Sheira yang kini seperti orang gila, berteriak dan mengacak rambutnya asal.

*****

Salam hangat💙,

fadilldolmi
(Selasa, 24 Agustus 2021. 22:49 WITA)

REPLAYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang