Pas mau baca coba deh dengerin lagu :
RUN TO YOU - KWON JIN AH🎶
SELAMAT MEMBACA❤🌟
*****
"Kamu jahat mas. Gak punya hati kamu!"
PLAKK
Bunyi sebuah tamparan tanpa ragu mendarat mulus tepat sasaran. Suara di ruangan putih dengan lampu ruangan yang lumayan redup, di isi hanya dengan suara tangisan. Bunyi penganiayaan fisik terhadap sosok wanita yang sudah terluka batin itu kini beradu dengan dentum benda di sekitar sebab di porak porandakan begitu saja.
"Pergi jangan lihat ini, nak." wanita itu menghampiri anaknya yang berdiri di sudut ruangan luas itu sambil memejamkan mata dan telinga yang di tutup.
"Kamu pergi ke taman aja ya? Mami akan susul kamu nanti. Mami janji." kemudian tangannya mengusap lembut surai anak sulungnya itu di tambah kini ia mendorong tubuh anaknya pelan menuju pintu utama rumah ini selagi suaminya itu pergi ke ruangan lain untuk mengacaukan seisi rumah tersebut.
"Tapi wajah mami..." anak itu berhenti menatap sosok yang melahirkannya ke dunia ini. Tak berapa lama ia menitihkan air mata. Maminya itu mendaratkan pelukan.
"Jangan nangis ya. Ayo, pergi sekarang. Mami akan urus papimu dan menyelesaikan semuanya. Gak lama kok." tangan maminya mengusap pipinya yang basah. Lama kemudian, bocah itu berlari menuju taman. Terakhir ketika kakinya menginjak di luar pekarangan rumahnya, bunyi sebuah barang yang mudah pecah hasil koleksi kedua orang tuanya seketika menghancurkan hatinya.
****
Mario POV
Gue udah bisa lupa dengan apa yang terjadi di masa lalu walau nggak pure lupa banget. Istilahnya gue bisa menganggap bahwa itu cuman masa lalu doang yang gak perlu membebankan gue di masa depan. Itu semua berkat mami yang selalu support gue dan berusaha buat gue dan dia selalu dalam lingkup kebahagiaan. Dalam hati, gue berusaha memaafkan seperti yang mami ucapkan dan lakukan tentang masa lalu itu. Sejak 8 tahun terakhir penderitaan mami hilang, gue bisa puas berdiam diri di rumah lagi merasakan bagaimana hangatnya lingkungan rumah yang baik dengan suasan baru yang nyaman bersama mami.
Di usia gue yang remaja ini, mami masih selalu memperlakukan gue seperti anak kecil. Padahal, gue juga punya adik cowok yang sekarang udah SMP. Tapi mami lebih percaya dengan adik gue daripada gue jika menyangkut soal penjagaan diri. Come on lah, padahal kalau dipikir gue udah gede, cowok pula.
Gue berteman atau lebih akrabnya bersahabat bareng Jihan udah 9 tahun pula. Mungkin soal masa lalu dan latar belakang keluarga gue dia udah tahu dan paham. Tapi untuk soal yang menurut gue pribadi, cukup mami yang tahu.
Tapi untuk hari ini secara gak sengaja dan terbuka, kepribadian lama gue berulah. Gue yang mendadak... ketakutan. Sekian lama gue berusaha, ketika melihat apa yang gak gue harapkan usaha itu hancur berkeping-keping dan hanya sia-sia.
Gue pikir dia akan mendapatkan penderitaan atas apa yang dia tinggalkan kepada gue dan mami di masa lalu. Pria yang berdiri di samping mobil sambil canda tawa dengan seorang anak usia 10 tahun membuat gue terpaku. Hidupnya bahagia, gak seperti yang gue bayangkan. Tawanya lepas bersama seorang anak yang mungkin itu buah hati kesayangan dia. Udah 8 tahun berlalu dan sudah 3 tahun mencoba memaafkan dia, setelah melihat papi lagi secara langsung setelah semuanya berlalu, pertahanan gue runtuh.
"Puter balik." itu kata gue pada Sheira. Gue gak peduli lagi walau jarak sekolah udah deket. Tapi gue gak akan sanggup lihat lebih dekat lagi sosok papi yang sekarang.
Di tengah kaki gue yang terus mengayuh pedal sepeda, isi pikiran gue berputar di kejadian seram yang ada di hidup gue yang memang terlihat agak samar. Sebab gue udah bilang, ini semua berkat mami. Akhirnya gue yang dulu hancur mentalnya kini menjadi pribadi yang ceria dan menyenangkan ke semua temen gue.
Gue gak tahu jika Sheira akan terus ngikutin gue sekarang dalam kefokusan gue yang minim. Sampai duduk di batu besar yang ada di taman tempat sepeda gue membawa diri gue kesini, Sheira masih di dekat gue tanpa suara apapun dan tanpa menatap gue sekalipun.
Seringkali ketika gue sedih, gue gak membutuhkan orang lain. Mami bahkan gak gue perluin untuk waktu yang pengin gue pakai merenung hanya dengan diri gue sendiri. Jihan bahkan suka maksain diri nemenin gue kalau lagi stress soal sekolah ataupun yang lain, gue akan nolak. Gak suka dengan keberadaan siapapun yang nantinya akan mengoceh menambah beban kepala gue.
Tapi melihat Sheira di samping gue yang terus diam memberi gue ruang bersama pikiran gue, mulut gue udah gak tahan lagi untuk menceritakan apa yang hati gue rasain saat ini. Gue gak merasa risih sedikit pun dengan kehadiran dia.
"Gue sepertinya sulit memaafkan untuk yang satu itu." gue berucap memecah keheningan yang kokoh di antara kita berdua. Sheira gak memandang gue sama sekali. Telinganya tersumpal earphone, walau gue tahu dia akan bersikap macam itu gue gak merasa di abaikan oleh dia. Gue gak merasa dia gak peduli dengan ocehan gue. Gue masih merasa dia orang yang peduli walau sebenarnya dia gak melakukan apapun pada gue seperti orang lain ketika ada seseorang di sekitar lo yang sedih.
Kata hati gue gak yakin bahwa dia zombie yang gak berperasaan dan peduli sama sekali seperti yang dia katakan.
"Dia papi gue, sejak 8 tahun gue gak pernah lagi lihat wajah dia. Di 3 tahun terakhir, gue berusaha memaafkan dia seperti yang mami gue bilang." akhirnya Sheira menoleh ke arah gue, dan hal tersebut persis yang gue lakuin ke dia.
"Tapi ketika akhirnya lihat wajah dia lagi, perasaan maaf itu tiba-tiba goyah." wajah gue berubah murung. Mengingat masa lalu yang suram tanpa jelas.
"Gue gak ngerti dengan makna memaafkan itu kayak gimana. Kalau lo ngerasa gue gak bisa motivasi lo atau apalah itu di situasi lo sekarang, gue bisa pergi aja. Sebab gue gak tahu bagaimana kemanusiaan seseorang. Wajar aja kan, gue ini zombie." Sheira menatap gue dengan eskpresi tenang dan mata yang menyorot dalam. Dia kemudian menepuk pahanya lalu berdiri.
"Lo gak perlu ceritain apa yang lo rasakan sekarang. Lo yang bilang sendiri, ketika masa lalu itu kebongkar di gue lo gak akan menjadi cowok berkepribadian sekarang."
Gue tatap Sheira dengan diam. Cowok itu seperti memberi batas antara gue dan dia, padahal sejak kemarin dia yang berusaha mengakrabkan diri. Tapi sekarang dia malah berusaha buat gue jangan percaya sama dia.
"Satu lagi," Sheira kini berdiri di hadapan gue. "Jangan gampang percaya sama orang lain. Gak ada manusia yang bisa tetap teguh menjaga kepercayaan yang lo kasih. Terlebih sama gue."
Sheira kemudian berjalan menuju sepedanya. Ada apa dengan dia? Kenapa dia mendadak acuh sama gue? Tapi ucapan Sheira tentang kepercayaan itu memang benar. Gak bisa di pungkiri. Sebelum Sheira meninggalkan gue dan menaiki sepedanya, gue segera menghampiri dia. Dengan cepat gue mencegat pergelangan tangannya dan menarik pelan membuat dia berbalik ke arah gue lalu akhirnya tangan gue akhirnya melingkari tubuh dia yang tinggi hampir sama dengan gue.
"Lo bukan zombie, Shei!" ucap gue dengan sedikit jeda. "Gue percaya sama lo dan gue... Bakal berusaha memahami lo apapun latar belakangnya."
Gak bisa gue elak, gue mulai merasa bisa memosisikan diri sebagai teman Sheira. Walau gue gak ngerti diri dia yang sebenarnya seperti apa. Tapi, mulai detik ini mungkin gue bakal berusaha memahami dia.
"Lo juga manusia Shei."
******
Bab 8 akhirnya meluncur. Sampai jumpa besok lagi insya allah.
Salam hangat💙,
fadilldolmi
(Selasa, 17 Agustus 2021. 21:41 WITA)
KAMU SEDANG MEMBACA
REPLAYING
Mystery / ThrillerON GOING • SELASA, RABU & JUM'AT Bagaimana rasanya hidup dengan masa lalu yang terus terputar ulang? **** Masa lalu saling berkesinambungan dengan masa depan. Seringkali masa lalu tersebut menjadi arahan seseorang bahkan pelajaran untuk kehidupan ke...