REPLAYING || 9

8 5 0
                                    

"Kok lo telat sih yo?" kata Jihan pada Mario ketika cowok itu kini duduk di hadapannya sebab lelah bermain basket. Mario kemudian merebut botol air mineral di atas meja tersebut dan segera meneguknya hingga hampir tandas.

"Ternyata Sheira di skors. Gue tahu dia salah, tapi bukannya Kak Ellia harusnya kena juga hukuman ya? Bagaimana pun dia bawa benda tajam ke sekolah dan hamburin itu sembarangan secara terang-terangan malah. Apa lagi para murid yang nyaksiin, kalau kelakuan Ellia keterlaluan banget sama rivalnya itu."

Mario berucap panjang lebar sedangkan Jihan kini menekan dengan kuat pangkal ibu jarinya tanpa ampun. Kukunya yang lentik dan bagus itu tentu saja pastinya melukai dirinya. Tapi Mario tidak memerhatikan itu. Cowok itu hanya memandang ke arah lain, saking sibuknya pikirannya berkeliaran tentang hukuman Sheira yang Jihan baru tahu itu.

"Han, gue ke kelas ya." Mario pamit, tangannya kemudian meletakkan botol minuman Jihan di hadapan pemiliknya tersebut.

Jihan mengangkat pandangan, "Sejak kapan lo peduli sama Sheira? Lo gak kenal dia juga kan?"

Langkah Mario berhenti, kepalanya kini berbalik menoleh sahabatnya yang sudah 10 tahun tersebut bersamanya. "Gue udah jadi temen dia kok. Wajar kan sesama teman kalau peduli? Jangan bilang lo iri?" bokongnya ia daratkan kembali di kursi tadi. Pada kalimat terakhir yang dia ucapkan, cowok itu tertawa lucu.

"Han, lo tuh sahabat gue, sementara Sheira temen baru. Wajarlah jika gue kepo dan peduli ama dia. Lo tenang aja, gue gak mungkin kok lupa atau mengabaikan sahabat gue ini. Lagi pun, gue rasa Sheira itu sebenarnya butuh temen. Tapi dia gak bisa ungkapin dan mungkin aja semua murid di sini mandang dia dari ekspresi dan tatapan mata dia yang menukik dalam itu." Mario memberi seutas senyum bahagia yang entah mengapa membuat Jiha  gelisah akan hal itu.

Apa Mario dan Sheira ketemuan lagi sebelum berangkat sekolah? Jihan membatin memandang Mario yang kini meninggalkan dia yang sebelumnya telah mengacak puncak kepalanya hingga rambutnya sedikit berantakan. Tapi satu hal yang pasti, hati Jihan ikut berantakam bersamanya.

****

Sheira POV

Earphone gue tetap gue buang di taman sana tanpa gue pungut. Itu semua buat gue jadi gak stabil emosi sekarang. Itulah mengapa gue katakan, jangan mudah percaya sama orang lain. Bohong jika gue, sama sekali gak punya orang yang bisa di percaya. Gue punya kok walau itu cuman setitik kepercayaan, orang itu adalah Mario.

Gue gak bisa bilang secara gamblang bahwa gue percaya pada dia 100%. Jika di hitung mungkin 8% adalah nilai yang tepat untuk kepercayaan gue sama dia. Tapi gue kembali memudarkan kepercayaan gue sama Mario sebab perlakuannya pada gue tadi.

Gue gak semata-mata emang berniat berteman ama dia. Bisa di bilang, gue mempunyai niat terselubung. Gue gak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi soal masa lalu yang suram itu gue yakin suatu saat semuanya akan di ketahui orang-orang seperti waktu gue SMP. Dan mungkin, gue bakal di cap sebagai anak seorang pembunuh yang sekarang udah mati 7 tahun yang lalu. Kata biologisnya dia adalah orang yang melahirkan gue, yang buat gue akhirnya bisa melihat dunia yang penuh luka dan kesengsaraan pada bentuknya yang bulat di luar dan datar di dalam. Bahkan bumi pun bisa mengelabui.

Gue bukannya menganggap pelukan Mario itu hal pemicu emosi dan pikiran buruk gue saat ini. Tapi, sebuah pelukan yang gue rasakan dari Mario membuat gue membenci diri gue sendiri. Gue zombie dan hanya kelaparan akan kehidupan. Pelukan yang berselang detik itu, gue kembali merasakan kelaparan akan hal pelukan yang selama ini baru sekali gue mendapatkan itu.

Di mata wanita gila yang udah lahirin gue, sebut aja dia monster one, gue itu gak kelihatan di mata dia. Gue bukan anak dari hasil percintaan sepasang kasih dari kedua belah pihak yang menikah. Gue hanya sebagai alat bukti dan pengakhiran dari kemalangan yang terjadi dalam hidup monster one.

Sejak usia gue menginjak bangku sekolah, dia gak pernah sekalipun mengantar gue seperti orang tua pada umunya. Jujur, sewaktu kecil gue juga berkepribadian seperti anak lain, manja. Di masa kecil, hidup gue hanya di liputi tangisan meminta kasih sayang pada dia, monster one, yang sama sekali gak peduli dengan gue dan benci adanya gue di dunia ini. Seolah-olah emang perkataannya itu benar-benar di matanya, bahwa gue gak ada di pandangannya.

Untuk pria yang gak pernah gue sebut papa itu menyayangi gue secara singkat. Di kala penangkapan monster one atas pembunuhan yang dia lakukan di gudang belakang rumah sakit tempat dia kerja, pria itu mengabaikan gue. Hak asuh gue terombang-ambing gak jelas ketika perceraian menjadi jalan keluar atas masalah mereka. Sampai umur 8 tahun, gue selalu nangis doang meminta kasih sedikit saja kepada mereka berdua. Melewati usia itu gue akhirnya sadar, bahwa tangisan gue yang membasahi lantai tempat berpijak gue gak ada lagi artinya. Bagaimana pun mereka gak akan peduli dengan putri tunggal mereka.

"Lo juga manusia, Shei." terasa bahwa cowok yang baru aja gue jadiin temen menumpukan dagunya ke bahu gue.

"Lo harus berdamai dulu dengan masa lalu itu, Shei. Gue yakin lo orang yang baik." kata Mario yang sangat enteng cowok itu ucapkan. Seandainya bisa, akan gue lakukan. Sementara saat gue berusaha melakukan pemilahan masa lalu yang harus di kubur, masa lalu tersuram di hidup gue akan terus membayangi bagaimana pun situasinya.

"Apa yang lo lakuin ke gue sekarang bisa gue toleransi. Asa lo inget, pertemanan kita bisa aja berakhir di waktu dan situasi yang nggak lo duga. Jangan sok mau memahami gue, muak gue lihat orang yang pandai berpura-pura dalam tatapan sedihnya untuk gue. Gue gak semenyedihkan itu kok."  ucap gue terakhir kalinya memutus pertemuan gue dan Mario hari ini. Karena dia, gue kembali merasakan bagaimana rasanya menyayat tangan tanpa ragu menggunakan benda kecil dan tipis serta tajam ini, benda yang selalu berposisi di saku baju gue berbalut sobekan koran di lipat rapih.

Darah yang terus mengalir itu hanya jadi tontonan gue selama hidup menjadi zombie sejak 7 tahun yang lalu. Gak ada perih sama sekali, hanya seperti sebuah beban seberat pulpen yang kini lepas dari pundah ringkih gue.

"Siapa di sana!"

Mata gue langsung menengok ke samping yang agak jauh kelihatan sosok itu. Di gedung setengah jadi ini, apa ada yang menyaksikan pertunjukan manis gue pada diri gue sendiri? Jika iya, berarti dia mungkin akan melakukan hal yang sama jika berada di posisi gue suatu saat nanti.

****

To be continued...

Sampai jumpa hari Jum'at Insya Allah. Tekan bintang di pojok kiri ya (🌟)

Salam hangat💙,

fadilldolmi
(Rabu, 18 Agustus 2021. 22:34 WITA)

REPLAYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang