REPLAYING || 10

10 4 3
                                    

SELAMAT MEMBACA, YEOROBUN❤

****

"Siapa di sana!" teriak seorang lelaki memakai rompi berwarna oranye. Sheira yang duduk di balik pilar bangunan setengah jadi ini terdiam sesaat. Tidak, ia bukan kaget hanya saja ia merasakan sensasi baru sekarang. Pikirannya yang sejak tadi terputar-putar dengan permasalahan masa lalunya. Ia lantas berdiri, mengeluarkan dirinya dari persembunyian tersebut.

"Kamu ngapain di sana?" pria itu kini menghampiri Sheira yang berdiri menatapnya diam dengan tangan yang ia lukai di sembunyikan pada belakang tubuhnya.

Walau di tanya seperti itu, Sheira tidak menjawab sama sekali. Mulutnya terkatup rapat.

"Pergi dari sini, tempat ini sangat berbahaya. Banyak barang konstruksi yang akan di pasang nantinya. Jika kamu terkena kami-"

"Itu yang saya inginkan." Pria itu diam, tak mengerti dengan ucapan gadis berambut pendek tersebut yang menatapnya tenang tanpa ekspresi. Lama menatap pria yang ternyata mandor proyek bangunan tersebut, Sheira akhirnya mengalihkan pandangan dan berbalik.

"Tunggu!"

Sheira berdesis pelan ketika tangannya yang terluka kini di genggam. Langkahnya terhenti dan dia kemudian berbalik. Matanya menatap nyalang sosok tersebut. Segera ia uraikan tangannya yang di pegang dari pria berpakaian semi formal ini. Sebab karena kejadian itu, pria mandor tadi akhirnya berteriak.

"Pak, tangannya berdarah."

Pria paruh baya di depan Sheira menatap telapak tangannya, matanya membelalak ketika darah tersebut ada di tangannya. Lalu ia memandang tangan Sheira, akhirnya pria itu tahu dari mana asal bercak darah di tangan miliknya.

"Saya sepertinya pernah lihat kamu." Pria itu menatap Sheira dengan pikiran mengingat Sheira dalam benaknya.

"Permisi, bu. Anda mendapat kunjungan lagi." Seorang perawat rumah sakit yang banyak memiliki pasien berkarakter berbeda di setiap kamarnya. Salah satu pasien wanita yang berbaring di atas ranjang. Perawat Rumah Sakit Jiwa Terang (RSJT) tersebut membuka gembok pintu besi berjendela jarang di sana. Setelah gembok di buka, ia menghampiri pasien wanita itu dan memegang sebelah lengannya.

Sebenarnya bisa saja para pengunjung berbicara di depan pintu ruangan pasien yang memiliki celah jendela berjarak di pintu itu. Tapi bagi pengunjung yang ingin bertemu langsung akan di bawa ke ruangan terbuka.

Sampai di bangku taman, pasien tersebut di tinggalkan sendirian di sana. Sang pasien memandang bukit indah yang di suguhkan taman RSJT ini.

"Kamu!" Histeris pasien wanita itu. Matanya menatap nyalang seorang anak gadis berumur 10 tahun di hadapannya.

"Pergi! Pergi kamu!" Wanita itu kini menutup telinga dan matanya sambil berjongkok, padahal anak gadis itu tidak melakukan apapun padanya. Anak itu hanya menatap sang ibu yang melahirkannya, diam, tenang, dan mata yang sama sekali tidak di tahu apa ekspresinya. Ia bahkan tidak bergerak sama sekali dari tempatnya berdiri sejak tadi.

Perawat datang dan langsung memeluk sang wanita tersebut. "Ibu tenang ya, itu anak ibu dia mau mengunjungi. Pengen tahu keadaan ibu, tenang ya bu." Bahu wanita tersebut kemudian di elus-elus lembut oleh sang perawat. Tapi hal itu tak berarti lagi, ibu tersebut pada akhirnya langsung berdiri dan segera menerjang sang anak gadis itu hingga tubuhnya jatuh terbaring di atas tanah. Sang ibu kini mencekik dirinya dengan posisi ibunya berjongkok di atas tubuhnya.

"Kamu harusnya udah mati kayak dia. Mati!!" Histerisnya lagi dan membuat perawat kalang-kabut melerai pertikaian sang ibu pada anaknya.

Tapi yang melerai itu adalah sosok pria yang berlari saat masuk dan langsung menarik wanita tersebut. Sementara sang anak gadis itu wajahnya memerah dan selama kejadian berlangsung ia tidak mengeluarkan suara sedikit pun ataupun perlawanan apapun. Hanya diam saja.

"Kamu sadar! Dia anak kamu! Kamu bisa sebal dengan istri saya sampai kamu membunuh dia. Tapi kamu ingat dia darah daging kamu!" Pria membentak ibu anak itu. Pria itu suami dari sang wanita yang di bunuh dengan kejam oleh wanita di hadapannya.

Di sisinya yang kini di cengkeram kuat oleh dua perawat rumah sakit jiwa itu, ia langsung memajui pria itu.

"Anak? Aku gak punya anak sama sekali! Aku akan punya anak sama kamu harusnya, mas!" Wanita itu berucap penuh dramatis. Pria itu berdecih kemudian memalingkan wajahnya tak menyangka dengan wanita gila ini.

"Kamu emang udah gila, Nimas!"

"Aku bahkan gak akan mau jadi anak kamu jika dilahirkan kembali." Semua orang yang ada di sana memandangnya dan seketika senyap. "Cuma itu yang aku mau katakan saat ke sini. Suster salah jika aku mau menjenguk dia, menanyakan kabar dia."

Kemudian wanita itu di seret masuk walau dia mengerang ingin di lepas. Pria tersebut kemudian membantu anak gadis itu berdiri.

"Wajah kamu luka. Tanganmu juga lecet, kita ke rumah sakit ya?" Pria itu mendaratkan tangannya mengelus surai anak itu, tapi segera di tepis oleh sang empu dan menatapnya nyalang.

"Luka ini adalah hadiah terindah dan terakhir kalinya atas berakhirnya hubungan aku dan dia sejak 3 tahun lalu." Anak itu menepuk-nepuk badannya yang kotor akibat debu. Ia lalu pergi meninggalkan pria itu sendirian.

"Apa kamu anaknya... Nimas?"

Sheira membelalakkan matanya, untuk pertama kalinya ia bisa terkejut sampai segininya. Ia menatap pria di hadapannya dengan teliti, bahkan ia merasa tidak pernah bertemu dengan pria paruh baya di hadapannya.

"Om siapa?" Todong Sheira.

"Kamu benar anak, Nimas?"

Sheira menaikkan tali tas punggungnya secara kasar. "Om gak perlu tahu saya anak siapa. Saya gak suka ada orang yang terlalu ngurus hidup orang." Itu kata terkahir Sheira sebelum meninggalkan pria itu.

Tapi pria paruh baya ini masih tidak yakin jika Sheira bukan anak Nimas, sosok wanita yang membunuh istrinya 7 tahun yang lalu. Kemudian dering ponselnya membuat dirinya berhenti memikirkan Sheira, ia segera mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, ada apa Jihan?"

****

Sheira POV

Luka itu gue biarkan mengering dengan bercak darah yang gak gue bersihin sama sekali. Gue gak peduli, asalkan gue udah sampai di rumah sekarang. Saat gue membuka pintu, rumah gue dalam keadaan gelap gulita, hanya lampu meja yang menyala, serta cahaya dari luar lewat biasan jendela yang menerangi penerangan gue.

Gue buang aja tas sekolah sembarang arah, senter ataupun lampu sama sekali gak gue nyalain. Mata gue masih cukup terang untuk melihat ruangan ini. Gue ambil air dingin di kulkas, meneguknya sambil duduk. Tapi kemudian, suasana di sekitar gue mendadak menjadi dingin. Angin berhembus cukup kencang membuat gorden di jendela rumah gue melambai sana-sini.

Saatnya gue rasa dari belakang ada sebuah tangan yang menggapai leher gue dan itu membuat gue takut. Lagi, masa lalu suram itu datang. Perlahan-lahan tangan itu tepat di kedua sisi leher gue, kemudian secara bertahap kuku yang sedikit panjang mulai menusuk kulit gue yang kini terasa perih, jika boleh gue jujur di setiap momentum ini rasanya gue pengin nangis dan berlari tapi gak bisa.

"Kamu harus mati! Hidup saya sial karena kehadiran kamu!" Suara berdengung itu membuat diri gue membatu. Dan di jalan yang buntu seperti ini gak ada cara lain untuk menghentikan gerakannya selain memecahkan gelas di tangan gue dan memberi lagi sayatan kedua di sisi lain tangan gue.

Secara spontan, nafas gue berhembus keras seperti orang yang selesai maraton, tangan yang mencekik itu berangsur menghilang. Tiba-tiba ketokan pintu membuat gue akhirnya jadi gemetar sendiri. Pecahan beling di tangan gue terjatuh dan segera gue berjalan menuju pintu. Saat gue buka pintu...

PLAKK

"Kamu hanya akan selalu membuat masalah seumur hidupmu!"

Secara gak langsung, hanya kata itu yang terputar di pikiran gue ketika kalimat itu di ucapkan.

*****

Salam hangat💙,

fadilldolmi
(Jum'at, 20 Agustus 2021. 22:53 WITA)

REPLAYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang