"Sebegitu inginnya kah mereka, akan kematian ku?"
°°°
"Jihan, kamu masih rasa sakit gak? Kepala kamu pusing? Atau kamu kedinginan?" Tanya Bunda pada Jihan yang kini sudah bisa pulang ke rumah. Dia hanya luka ringan dan beberapa lebam saja. Jadi dokter memperbolehkan dirinya untuk beristirahat di rumah. Kini jam 8 malam ia baru saja sampai di rumah, ia di papah bundanya.
Suaranya sekarang menjadi melemah mungkin shock atau bisa jadi... Dia ketakutan atas apa yang terjadi pada Ciara saat ini. "Gak kok, Jihan baik-baik aja cuman lemas doang." Ujarnya yang kini mulai menaiki anak tangga.
Bundanya menatap dirinya murung, "Bunda bantu naik ya? Kasihan kamu. Sampai di kamar kamu istirahat ya. Kalau butuh apa-apa telepon Bunda." Anak remaja itu hanya mengangguk.
"Tidur ya, jangan lupa telepon Bunda jika kamu butuhkan sesuatu." Bunda berkata untuk kedua kalinya ketika anak sulung tirinya itu sudah terbaring di atas kasurnya.
"Ayo, pah." Ajak Bunda, namun Tio—Papa Jihan, bergeming di sana. Menatap Jihan cukup intens.
"Papa mau bicara dulu sama Jihan."
"Pah, ayolah, Jihan lagi sakit. Dia baru aja pulang dari rumah sakit. Biarin dia istirahat, kasihan dia. Pasti dia shock juga akan hal ini. Ayo, ya?" Bunda masih berusaha membujuk Tio agar segera meninggalkan Jihan. Yang tanpa Bunda sadari, sebenarnya Jihan sudah berkeringat dingin sejak tadi di tatap oleh Papanya seperti itu.
Papanya mengangkat telapak tangan pada Bunda, mengisyaratkan untuk memberinya waktu sebentar saja. "Bunda duluan aja. Gak lama kok, papa gak akan ganggu lama istirahat dia." Bunda menatap Jihan sebentar serta Tio. Ia kemudian menghembus nafas kecil dan mengangguk pelan. Langkahnya kembali melaju keluar dengan tangan yang menutup pintu kamar Jihan dengan rapat.
Kini tersisa Jihan dan Tio, gadis itu yakin Papanya akan menanyakan perihal yang terjadi hari ini. Dia, akan mengulik sesuatu tentang hari ini pada Jihan walaupun dengan keadaannya yang sekarang. Justru, bukannya ini keadaan yang tepat untuk memberi interogasi?
Bokong papanya kini mendarat di sebelah tubuhnya yang berbalut selimut hangat. "Jihan." Ujar Tio menatap anak sulungnya itu. Seketika Jihan menegakkan tubuhnya, mengamati wajah papanya dengan hati yang bergemuruh kencang.
"Kamu... Kamu yakin pelakunya Sheira?" Wajah Tio bukan terlihat mengintimidasi, justru sorotan matanya seolah tak yakin jika Sheira melakukan itu.
Jihan terdiam, ia melirik ke arah lain sembari memikirkan jawaban yang tepat agar ia bisa lepas dari pertanyaan ini. Sungguh, Jihan tahu ini adalah pertanyaan yang tidak akan ia sanggup dengar ataupun di pertanyakan padanya. Jelas ia sadar, bahwa dirinya sengaja melakukan hal ini pada Ciara. Semata-mata untuk menarik perhatian papanya ketika ia mulai ikut olimpiade lagi. Sebab beberapa bulan terakhir, nilainya tidak sebagus seperti biasa.
Walaupun sebenarnya ini bukan sama sekali seperti rencana yang ia buat. Lagipula Jihan tidak menyesali hal ini yang ia tumpahkan pada Sheira akar masalah tersebut.
"Papa jadinya mau nuduh siapa atas kejadian ini?" Jawab Jihan pada akhirnya.
Papanya menatapnya kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain. "Tapi, papa gak yakin itu perbuatan Sheira."w wax mi
Secepatnya Jihan menimpali "Sekarang Papa percaya sama Sheira? Memangnya Papa ngerti seluk-beluk sifatnya dia? Pah, papa tahu sendiri bahwa Mama Sheira adalah pembunuh mama. Papa tahu pepatah ini 'buah jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya' dan pepatah itu berlaku juga untuk shei,"
KAMU SEDANG MEMBACA
REPLAYING
Mystery / ThrillerON GOING • SELASA, RABU & JUM'AT Bagaimana rasanya hidup dengan masa lalu yang terus terputar ulang? **** Masa lalu saling berkesinambungan dengan masa depan. Seringkali masa lalu tersebut menjadi arahan seseorang bahkan pelajaran untuk kehidupan ke...