Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jangan perdebatkan soal keadilan Sebab keadilan bukan untuk diperdebatkan. Jangan cerita soal kemakmuran Sebab kemakmuran hanya untuk anjing si tuan polan || Iwan Fals
✿
Dedi mungkin tidak termasuk orang yang berisik, tapi bukan berarti dia membenci suatu kebisingan. Meski kadang Hendri suka melampaui orang gila, atau Lukman juga bisa kehilangan syaraf malunya saat melakukan sesuatu, juga Marhan yang setengah normal setengah ubnormal. Dia tidak membatasi hal itu dalam hubungan persahabatannya.
Mereka bebas berekspresi, seperti tanaman liar yang punya kelebihan masing-masing di balik kurangnya perhatian manusia pada mereka. Dedi mungkin tidak seelok tanaman Putri Malu seperti visualnya Marhan, mungkin tidak sekuat Bayam Duri seperti tubuh Lukman, juga tak semenarik tanaman Tempuyung seperti aura positifnya Hendri. Tapi Dedi selalu berusaha menjadi obat di mana tanaman Sawi Langit punya manfaat besar untuk kesehatan seseorang.
Seperti halnya bagaimana Dedi ingin menjadi obat untuk sahabat-sahabatnya. Ketika tahu mereka berseteru, dia meluangkan waktu tiga hari untuk malam-malam yang datang. Pada malam rabu, dia mendatangi Hendri. Lalu mendengarkan cerita dari sudut pandang sahabatnya yang tidak bisa dibilang akan cepat membaik seperti biasa. Malam itu, dia bisa merasakan kekecewaan Hendri merambat dari hati ke hati, tidak ada yang berlebihan mengenai apa yang dia rasakan, dan sebagai pendengar pun Dedi merepasinya seperti zat Sodium Hyaluronate ketika bereaksi pada kulit.
"Gue tau kekecewaan ini jatuhnya lebay, tapi seumur-umur gue tak nyangka bakal dituduh mencuri. Bahkan orang tua gue tak pernah ngajarin itu, kalo pun suatu saat terjadi, mungkin korbannya cuma Miranda. Gue yang bisa mencuri hatinya." Hendri bicara sambil menatap langit yang diselimuti kentara kecil dari kartika yang berwarna putih. "Gue bukan bermaksud untuk pisah dari kalian, tapi gue perlu waktu sampai bener-bener membaik," katanya lagi.
Dedi mengangguk. "Jangan lama-lama," sarannya.
"Tak janji, tapi gue usahakan," sahut Hendri.
Ada banyak hal yang mau Dedi sampai lagi, dan salah satunya adalah ini. "Marhan cuma punya kita, tak ada yang lain. Jangan buat dia sedih."
"Apa boleh buat?" balas Dedi, "Dia bukan makhluk sempurna yang bisa mengendalikan segalanya, Hen. Bahkan bisa bertahan hidup sampai sekarang pasti sulit buat dia, lo harus ngerti itu. Biar kita aja yang jatuhnya ngalah, karena kita punya sesuatu yang tak Marhan miliki. Seandainya kita memang sama, lo bisa pertahankan kemarahan lo. Tapi ini beda, Marhan cuma sendiri, sementara lo ada selangkah di depan dia."
Dedi tidak memastikan pintu hati Hendri akan mudah terbuka dengan percakapan sederhana ini, tapi dia harap, Hendri punya pemikiran yang sama dengannya. Itu juga sama seperti bagaimana dia mendatangi Lukman pada malam kamis. Mereka menempati latar depan rumah sang tuannya yang ternyata disuguhi cahaya penuh dari sang rembulan. Bersama kopi hitam yang suka diminum Lukman kalau harus mengejar deadline tugas kuliah, mereka menghabiskan satu teko air itu dalam waktu empat jam.