03 [✓]

5K 440 44
                                    

"Belum tentu orang yang kita cintai tidak akan membuat kita kecewa. Nyatanya, orang yang sering membuat kecewa ialah orang yang kita cintai."-Abimael Bara Valerin.

•••

Siang telah berganti menjadi malam. Langit cerah kini berubah menjadi gelap. Malam ini, tidak ada bintang-bintang yang biasanya kerlap-kerlip indah di langit hitam.

Sebuah motor hitam milik seorang lelaki berperawakan tinggi, berhenti di bangunan mewah, yang tak lain ialah rumahnya. Lelaki itu turun dari motor, lalu berjalan masuk ke dalam bangunan yang terlihat besar dan elegan.

Ia berjalan, sampai tepat di ruang keluarga langkahnya terhenti. Di sana sudah ada dua orang lelaki yang masih berhubungan darah dengannya.

"Jam segini baru pulang! Bukannya belajar, malah keluyuran!" Lelaki yang duduk di sofa tiba-tiba saja berucap seperti itu, yang membuat keadaan semakin memanas. Ia melirik pada Bara yang masih setia berdiri di tempat.

"Maksud lo apa Bang, ngomong kayak gitu?" Bara benar-benar tidak paham apa yang diucapkan oleh kakaknya. Ya, dia Arkan Valerin-Kakak dari seorang lelaki yang bernama-Abimael Bara Valerin.

"Diam!" sentak seorang lelaki paruh baya, yang sejak tadi berdiam diri dengan raut wajah penuh amarah.

Lelaki itu melangkah ke arah Bara dengan sorot mata setajam elang. Tampaknya, ia sudah sangat marah terhadap Bara.

"Jam segini baru pulang! Ke mana aja kamu?" tanyanya dengan nada tinggi. Sorot matanya terus menatap Bara tajam.

"Ini kan, baru jam tujuh malam, Pa." Dengan tenang, Bara menjawab. Lelaki paruh baya itu, satu langkah maju mendekati Bara.

Plak!

Plak!

Suara gamparan menggema di setiap sudut ruangan. Bara shock tatkala Papa nya, menampar tanpa ia tau dengan jelas kesalahannya. Pipi Bara terasa sakit, tetapi hatinya lebih sakit. Sedangkan Arkan tersenyum puas melihat adeknya tersiksa.

"Apa salah Bara, Pa?"

"Banyak! Kesalahan kamu sangat banyak!" Ia menjawab dengan sarkas.

Dia-Alexander Valerin. Papa dari dua orang anak putra-Arkan Valerin dan Abimael Bara Valerin. Alexander jarang berada di rumah. Namun, sekalinya ia pulang, Arkan selalu mengadu yang tidak-tidak tentang Bara, yang membuat Alexander murka.

Bara tersenyum miris. "Maaf, Pa, Bara punya banyak salah sama Papa." Setelah mengatakan itu, Bara hendak pergi melangkah. Namun, langkahnya terhenti saat Alexander kembali bersuara.

"Mau ke mana kamu?" tanya Alexander dengan raut wajah yang semakin marah. "Dasar tidak punya sopan-santun! Lihat Kakak kamu Arkan! Dia sangat sopan sama Papa. Arkan bisa buat Papa bangga dengan prestasi-prestasinya. Tidak seperti kamu yang penyakitan, yang bisanya cuma habisin uang! Kamu cuma bisa jadi beban keluarga ini, Bara!"

Deg!

Cacian seorang lelaki yang berperan sebagi papanya itu, membuat Bara seperti dihantam rimbunan tombak. Sudah sering diperlakukan seperti ini, tetapi tetap saja ia merasakan sakit. Di saat-saat seperti ini, ia merindukan sosok ibunya yang selalu ada membela tatkala ia diperlakukan seperti ini oleh Alexander. Namun sayang, sekarang ia tidak bisa bertemu lagi dengan ibunya itu. ibunya sudah pergi terlebih dahulu meninggalkannya.

"Bara sama Bang Arkan emang bersaudara. Tapi bukan berarti segala sesuatunya itu sama. Bara sama Bang Arkan beda! Jadi, jangan banding-bandingkan lagi Bara sama Bang Arkan! Bara memang tidak bisa membuat Papa bangga, tapi setidaknya hargai Bara sebagai anak Papa!" Bara berucap dengan santai, tetapi mampu membuat keadaan semakin memanas.

Terimakasih, Aku Pamit [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang