02 [✓]

5.7K 446 33
                                    

"Luka itu bukan untuk diumbar, tapi jadikanlah sebagai pembelajaran agar kita bisa berpikir lebih dewasa."-Abimael Bara Valerin.

•••

"Rasa sakit fisik tidak sebanding dengan rasa sakit hati. Maka berhati-hatilah dalam tindakan, maupun ucapan!"-Abimael Bara Valerin.

•••

"QILA!"

Suara bariton itu, berhasil membuat keempatnya menoleh pada sumber suara. Dilihat seorang lelaki berperawakan tinggi berjalan ke arah mereka berempat.

"Bara? Kok, lo di sini? Bukannya tadi mau ke kantin?" tanya Qila ketika Bara sudah berada di hadapannya.

"Gak jadi. Niatnya mau nungguin kamu, tapi aku lihat tadi ada makanan kesukaan kamu di depan. Siomay. Gimana kalau kita makan siomay aja?" usul Bara. Bara sangat tau sekali dari mulai hal kecil tentang gadis di hadapannya ini.

"Sorry Bar, kayaknya enggak dulu deh, soalnya gue mau makan di kantin aja sama Arkan." Dengan gampang Qila menjawab, seolah-olah ucapannya tidak membuat hati Bara terluka.

Bara melirik pada Arkan. Kakaknya itu selalu unggul dalam hal apapun. Ya, Bara dan Arkan kakak-beradik, tetapi mereka bisa dibilang tidak terlalu akrab.

Ada perubahan dari raut wajah lelaki itu. Dan Qila menyadarinya. "Oke, nggak apa-apa." Meski Bara sedang kecewa, tetapi senyuman selalu terbit di bibirnya.

"Tapi, kayaknya enak tuh, makan siomay." Tiba-tiba saja Arkan berbicara seperti itu. Entah berniat untuk memanasi Bara, atau ucapannya memang murni dari lubuk hatinya. "Gimana kalau kita makan siomay aja?" usul Arkan sambil menyeringai.

Melihat Qila yang kebingungan harus menjawab iya atau tidak, karena awalnya Qila menolak Bara, kemudian Bara kembali membuka suara. "Nah, pas banget Bang Arkan ngajakin makan siomay kan. Gimana kalau kita semua makan siomay aja?" usul Bara mencoba mencari jalan agar Qila tidak terlalu bingung, harus bagaimana. Bara tau, jika Qila tidak enak karena ia tadi sudah menolak ajakannya, tetapi gadis itu tidak mau menolak ajakan Arkan.

"Ya udah ayo," sahut Qila.

***

Kini kelimanya tengah menyantap siomay yang mereka pesan di Mang Dadang. Siomay—makanan kesukaan Qila. Apalagi siomay buatan Mang Dadang. Menurut Qila siomay Mang Dadang, siomay yang paling enak di antara siomay yang sudah Qila cobain.

Fahri melirik pada Dika, membuat lelaki itu menghentikan makannya. Terlihat, Fahri memberikan sebuah kode pada Dika. Melihat sorot mata Fahri yang terus melihat ke arah Bara, membuat Dika ikut melihatnya.

Melihat itu, Dika langsung saja berbisik di telinga Fahri. "Lo kasih tau Bara sana," bisiknya.

Mendengar itu, Fahri langsung menjauhkan telinganya dari Dika, dan menatap lelaki di sampingnya dengan tatapan tajam. "Gak! lo aja!"

"Lo aja!" Dika pun menolaknya. Ia berbisik, menyuruh Fahri yang memberitahunya.

Perdebatan mereka disadari Arkan. Arkan yang sedang makan pun, menghentikan sejenak. Ia melirik pada Fahri dan Dika.

"Lo berdua kenapa? Bisa diem gak kalau makan!" bentak Arkan membuat keduanya kelabakan. "Lo berdua bisikin apa?" tanya Arkan penasaran. Hal itu membuat keduanya gugup, bingung harus menjawab apa.

Dengan ragu, perlahan Fahri bersuara. "I-itu ... " Fahri terus saja menggantungkan ucapannya. Berat sekali untuk berucap.

"Kenapa, Ri? Yang jelas!" Arkan meminta penjelasan. Kemudian melirik pada Dika yang berada di sampingnya. Melihat tingkah aneh kedua manusia itu, membuat Qila dan Bara heran.

"Ada apa Dik? Ayo ngomong aja!" desak Arkan. Kenapa mereka seakan merasa tidak enak hati.

"Hi–hidungnya Bara," ujar Dika pelan. Refleks semuanya melirik pada Bara yang sedang memakan siomay dengan lahap.

Arkan melihat wajah adiknya itu, tepat di bagian hidung. Melihat cairan kental berwarna merah sedikit keluar dari hidung Bara, membuat Arkan terasa mual.

Huekk!

Huekk!

Qila shock, melihat Arkan seperti itu. Gadis itu berbisik di telinga Bara. "Lo mimisan Bara! Lo udah bikin Arkan jijik!" Qila berbisik di telinga Bara. "Sana lo ke toilet! Cepetan bersihin!" suruh Qila. Bara memastikan apa yang diucapkan Qila benar atau tidak jika penyakitnya kambuh lagi. Bara meraba pelan hidungnya dengan jari. Dan ternyata benar, kalau ia mimisan.

"Ar, lo masih mual? Ayo, gue antar lo ke kelas aja," ajak Qila khawatir. Qila memberikan piring siomay dirinya dan Arkan pada Mang Dadang. Lalu, ia memapah Arkan. Sedangkan kedua manusia yang selalu setia mengikuti ke mana Arkan pergi, kini berada di belakang Qila dan Arkan. Arkan sangat jijik segala sesuatu yang bersangkutan dengan darah. Ia akan terasa mual jika melihatnya.

Bara menatap kepergian kekasihnya yang lebih khawatir pada Arkan daripada dirinya. Terkadang ia merasa iri pada kakaknya itu, yang selalu bisa dekat dengan Qila.

Bara membuyarkan lamunannya. Lebih baik ia membersihkan hidungnya yang mengeluarkan darah, daripada harus berpikir yang tidak-tidak.

Ia memberikan piringnya pada Mang Dadang. Lalu memberikan selembar uang berwarna merah. "Ini Mang, berlima sama temen-temen saya. Kembaliannya ambil aja," ujar Bara sekalian membayar untuk Arkan, Qila, Dika, dan Fahri, yang belum sempat mereka bayar.

"Nuhun, Den," ucap Mang Dadang.

***

Bara memutar knop pintu toilet. Ia masuk ke dalam, lalu menutupnya kembali. Lelaki itu, membersihkan seluruh mukanya, termasuk bagian hidung. Ia bercermin, menelisik bagian wajahnya yang kini terlihat pucat. Bahkan ia agak kurus.

"Bertahan Bara! Jangan Cemen! Elo laki!" gerutu Bara dalam hati. Sekuat-kuatnya Bara, ia juga rapuh jika terus-terusan seperti ini.

"Semangat Bara! Semuanya baru di mulai!" Monolognya. Ia selalu tanamkan semangat dalam dirinya. Karena jika tidak diri sendiri yang menyemangati, mau siapa lagi.

Bara keluar dari dalam toilet dengan wajah yang masih basah. Ia berjalan menelusuri lorong sekolah, menuju kelas 12 IPS II. Ia berniat untuk menemui Qila. Bara yakin Qila ada di kelas Arkan.

Bara berhenti di ambang pintu kelas 12 IPS II, tatkala melihat kekasihnya itu tertawa lepas bersama kakaknya sendiri. Ada rasa sakit tersendiri ketika melihatnya.

Tidak baik lama-lama terpuruk dalam kesedihan. Bara melangkah masuk ke dalam.

"Wih, asik bener lagi bahas apa nih?" tegur Bara seketika membuat semuanya berhenti tertawa dan langsung menoleh ke arah Bara.

Sejenak semuanya terdiam. Tidak ada yang menjawab. Qila berdehem, kemudian membuka suara. "Biasalah, Bar, bahas hal random." Qila menjawab dengan cengiran.

Mendengar itu, Bara memanggut-manggut paham. Bara pikir, kehadirannya tidak diinginkan.

"Gue minta maaf soal kejadian barusan, Bang. Maaf penyakit gue bikin lo jijik!" Bara berucap begitu tulus dari dasar hati. Tidak ada unsur hanya ingin mendapat pujian dari siapapun.

Dengan berlagak sok, Arkan menjawab, "No problem." Satu alisnya terangkat tatkala berucap.

Merasa canggung, kedua manusia yang sejak tadi hanya diam menyaksikan, kini keduanya menjadikan meja seperti kendang.

"Tarik ... sis ... " teriak Fahri seraya memukul meja bangkunya.

"Semongko," sambung Dika.

TBC

See youuu

15 Agustus 2021
14.03

Terimakasih, Aku Pamit [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang