24

5.5K 326 14
                                    

“Maaf, selama ini aku tidak peka atas luka yang aku toreh pada hatimu begitu dalam.”—Aqila Nailatusy Mawla.

•••

“Apakah aku boleh egois untuk kesekian kalinya? Aku hanya tidak ingin kehilanganmu.”Aqila Nailatusy Mawla.

•••

“Kamu harus makan banyak biar cepat sembuh,” ujar seorang gadis yang tengah menyuapi bubur pada lelaki di hadapannya. Ia mengganti sebutannya menjadi aku-kamu.

Udah kenyang, Qil,” jujur Bara dengan tatapan kosong, lurus ke depan.

“Tapi ini nanggung, Bara,” protes Qila melihat pada sebuah mangkuk bubur yang dipegangnya.

“Tapi aku udah kenyang,” keukeuhnya membuat Qila menghela napas dalam.

“Ya udah deh, nggak papa.” Qila menaruh mangkuk itu di atas nakas, lalu mengambil segelas tinggi air putih. “Ini, minum dulu Bara.” Qila berdiri, membantu Bara minum. Setelahnya ia kembali menaruh gelas itu di atas nakas dan kembali duduk.

“Bar, keluar yuk, cari udara segar? Bosen di sini mulu. Kamu juga bosen 'kan?” ajak Qila merasa penat berada di ruangan ini lama-lama.

“Sama sih, bosen juga, tapi aku gak bisa berbuat apa-apa,” ujar Bara diiringi senyuman.

“Tenang aja, aku yang akan bantu kamu.” Qila beranjak dari duduknya. “Tunggu bentar aku mau ambil kursi rodanya dulu,” izin Qila melangkah, mengambil kursi roda yang berada dekat dengan sofa di ruangannya.

“Ayo, sini aku bantu.” Qila membantu Bara turun dari brankar, dan mencoba membantunya duduk di kursi roda. Setelah selesai ia pun mendorong kursi roda yang di tumpangi Bara menuju ke luar ruangan.

***

Qila menghentikan kursi roda di sebuah taman rumah sakit. Ia mengedarkan pandangannya. Lumayan banyak orang yang berada di taman. Qila melangkah, berhenti tepat di hadapan Bara. Lalu, berjongkok memegang tangan Bara.

“Kita udah ada di taman, Bar. Kamu suka gak? Anginnya sejuk banget, ya,” ujar Qila menatap Bara dengan sedikit mendongkak. Sedangkan yang di tatap, melihat lurus ke depan.

“Suka. Sejuk banget bikin tenang.” Bara berucap dengan raut wajah berbinar.

Hening. Qila menatap Bara sendu. Ada rasa yang sulit ia jelaskan, membuatnya teringat kembali akan luka yang sudah ia toreh pada lelaki di hadapannya. Luka yang terlalu dalam, namun lelaki itu dengan gampangnya memaafkan.

Bara merasakan Qila menyandarkan kepalanya ke lutut. Tangannya meraba-raba berniat mengusap lembut surai milik gadis di hadapannya. Qila mendongkak. Menempelkan tangan Bara di puncak kepalanya. Seulas senyuman terbit di bibir Bara. Perlahan ia mengusap surai milik Qila.

“Qila.” panggilan Bara membuat Qila mendongkak, menatap lelaki itu.

“Iya,” sahutnya.

“Kalau aku pergi, kamu bakal rinduin aku gak?” tanyanya. Pertanyaan Bara membuat Qila menyerngit.

“Ya jelaslah, aku bakal rindukan kamu. Emangnya kamu mau pergi ke mana?” tanya Qila. Ada rasa takut kehilangan dari sorot kedua matanya.

“Ke tempat jauh.”

“Iya, ke tempat jauh itu ke mana? Ke luar kota atau luar negri? Aku ikut boleh gak?” tanya Qila. Namun, Bara malah tersenyum kecut.

“Ke tempat yang gak akan pernah bisa digapai. Kamu jangan ikut. Kamu di sini aja sama mereka,” ujar Bara membuat Qila menggeleng pelan. Kelopak matanya sudah berkaca-kaca.

Terimakasih, Aku Pamit [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang