25

5.8K 357 35
                                    

“Ciptaan-Mu terlalu sempurna. Dia baik. Dia penyabar. Dia tidak mengeluh dengan semua cobaan yang dijalaninya. Dan kekurangannya hanya satu. Dia terlalu pemaaf, hingga membuat aku selalu mengulangi kesalahan yang sama dan berulang-ulang mengucap kata maaf. Dia terlalu sempurna untuk aku yang banyak kekurangan. Namun aku tidak ingin kehilangan dia.”—Aqila Nailatusy Mawla.

•••

“BARAAA!” teriaknya tiba-tiba terbangun dari sebuah mimpi buruk.

Gadis itu memeluk lututnya sendiri. Wajahnya dipenuhi keringat dingin. Rasa sesak dan kesedihan akibat mimpi buruk, terbawa sampai alam sadar. Ia benar-benar takut. Mimpi itu ... mimpi terburuk yang pernah ia alami.

Qila melirik pada jam yang menempel di dinding. Jam menunjukan tepat pukul duabelas malam. Qila melirik ke samping, di mana ponselnya tersimpan di atas nakas. Dengan segera ia menekan kontak bernama Arkan.

“Hallo, Ar. Sorry, gue ganggu lo,” ujar Qila ketika via telpon tersambung. “Lo bisa kasih handphone-nya ke Bara dulu gak?” tanya Qila. Saat ini ia benar-benar ingin mendengar suara Bara meski hanya lewat telepon.

Bisa kok, Qil.” Terdengar dari balik telpon, Arkan membangunkan Bara.

Beberapa detik kemudian, sapaan suara seorang lelaki terdengar di pendengaran Qila, membuatnya meneteskan cairan sebening embun.

“Bar, lo baik-baik aja 'kan?” tanya Qila diiringi isakan.

Kamu kenapa? Aku di sini baik-baik aja. Kamu jangan khawatir.” Suara Bara terdengar parau.

“Aku takut, Bara. Aku takut kamu ninggalin aku. Barusan aku mimpi tentang kamu buruk banget,” ujar Qila masih terisak. Takut akan sebuah mimpi yang barusan ia alami akan menjadi kenyataan.

Jangan terlalu dipikirkan. Itu hanya bunga tidur. Sebaiknya kamu ambil wudhu sana,” ujar Bara mencoba memberikan ketenangan. “Dan jangan lupa sebelum tidur berdo'a dulu,” lanjutnya.

“Tapi kamu harus janji dulu, Bara. Kamu gak akan tinggalin aku. Kamu akan tetap bersamaku selamanya,” ujar Qila memberikan sebuah janji pada Bara.

Iya, aku janji, Qila.” Terdengar suara Arkan berbicara pada Bara, tetapi tidak terdengar dengan jelas. “Kamu ambil wudhu sana, terus sholat. Jangan lupa kalau mau tidur berdo'a dulu. Good sweet dreams, Qila. Aku tutup telponnya, ya.”

Iya, Bara, kamu juga.” Sambungan via telpon terputus dari kedua belah pihak.

Qila beranjak dari tempat tidurnya. Ia akan mengambil wudhu sesuai instruksi Bara.

***

Setelah pulang sekolah, Arkan dan Qila langsung saja ke rumah sakit. Bara masih dirawat karena kondisinya tidak memungkinkan untuk pulang. Kondisi Bara semakin memburuk. Kini Arkan sedang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Sedangkan Qila sedang duduk di kursi dekat berankar. Qila membaca komik bergenre komedi. Sesekali Bara dan Qila tertawa mendengar cerita komik yang kekasihnya bacakan. Ya, Qila dan Bara kembali menjalin hubungan.

“Judul komiknya apa, Qil?” tanya Bara tatkala Qila selesai membacakan sampai bagian akhir.

“Jodohku pelawak,” jawab Qila masih memandangi komik yang dipegangnya.

“Pantas aja dari awal sampai akhir pacarnya ngelawak terus.” Bara kembali terkekeh kecil. Mengingat cerita yang Qila bacakan barusan.

Tanpa kedip Qila memandang wajah Bara. “Ciptaan-Mu terlalu sempurna. Dia baik. Dia penyabar. Dia tidak mengeluh dengan semua cobaan yang dijalaninya. Dan kekurangannya hanya satu. Dia terlalu pemaaf, hingga membuat aku selalu mengulangi kesalahan yang sama dan berulang-ulang mengucap kata maaf. Dia terlalu sempurna untuk aku yang banyak kekurangan. Namun aku tidak ingin kehilangan dia.” Qila membuyarkan lamunannya tatkala Bara kembali bersuara.

“Qila, kamu masih ada di sini?” tanya Bara meraba-raba pada sisi brankar. Pasalnya karena tiba-tiba suara Qila mendadak hilang membuat Bara bertanya apakah dia masih ada di dekatnya.

“Aku masih di sini, Bara,” Sahut Qila memegang tangan Bara. Bara menghela napas lega.

“Bang, lo masih ada di sini 'kan?” tanya Bara melihat ke berlawanan arah tempat Arkan duduk. Sedangkan Arkan yang mendengar namanya disebut, membuat ia beranjak dari duduknya dan mendekati Bara.

“Gue masih ada di sini. Ada perlu apa?” tanya Arkan berdiri di samping Qila.

Bara tersenyum singkat. Kini pandangannya menjadi lurus ke depan, dengan tatapan kosong. “Mana tangan kalian berdua.” Satu telapak tangan Bara terulur melayang di udara. Qila dan Arkan saling menatap. Tidak paham apa maksud Bara.

Tanpa berpikir panjang, keduanya menuruti perintah Bara. Qila menaruh satu tangannya di atas tangan Bara. Dan setelah itu, Arkan menaruh satu tangannya di atas tangan Qila.

Kemudian Bara menggenggam tangan Qila dengan tangan kirinya, sedangkan menggenggam tangan Bara dengan tangan kanannya. Lalu, menyatukan kedua tangan itu menjadi satu—tangan Arkan dan Qila.

“Gue titip Qila sama lo, Bang. Hanya lo yang gue percaya, yang bisa jaga Qila. Takdir gak ada yang tau. Jika gue nanti-nanti takutnya terlambat,” ujar Bara terdengar sangat serius. Ada rasa sesak di dada gadis itu, yang tak bisa ia jelaskan ketika Bara berbicara. Qila terkekeh kecil untuk menghilangkannya. Arkan ikut terkekeh ketika sama juga merasakan hal seperti Qila.

“Elo ngomongnya ngawur banget, Bar,” ujar Arkan melepas tangannya dari genggaman tangan Bara, yang mempersatukannya dengan tangan Qila.

“Tau nih.” Qila ikut-ikutan. “Lo tau gak, Ar? Dari kemarin Bara ngomongnya emang udah ngawur banget,” ujar Qila mengadu pada Arkan diiringi kekehan. Kedua ujung ekor matanya mengeluarkan cairan. Bukan karena terlalu larut dalam tawa, melainkan karena ia menahan tangisan dan menggantinya dengan kekehan kecil.

“Aku gak becanda, Qila,” sela Bara membuat tawa keduanya seketika meredam. “Intinya gue minta sama lo, Bang, untuk jaga Qila. Bahagiakan Qila. Jangan bikin dia sedih. Dan—”

Ucapan Bara terpotong tatkala terlebih dahulu Arkan berbicara. “Gak, Bar. Lo yang harus jaga Qila, bukan gue,” potong Arkan. Sedangkan Qila sudah terisak sambil memandang wajah kekasihnya itu.

Bara tersenyum singkat seraya menggeleng pelan. “Gak. Gue-nya aja gak bisa ngelihat, bagaimana bisa gue jaga Qila,” ujar Bara tersenyum ketir dengan tatapan lurus ke depan.

Seketika suasana menjadi hening, membuat Bara kembali bersuara. “Takdir gak ada yang tau kapan kita kembali ke sang pencipta. Namun, jika sudah ajalnya kita tidak bisa menghindar. Akhir-akhir ini gue sering mimpiin Mama. Mama udah nungguin gue, Bang,” ujar Bara. Suaranya terdengar parau.

Qila menyeka air matanya. Mengedip-ngedip agar tidak kembali jatuh. “Hari ini lo ngaco banget, Bar. Ngomongnya kayak yang mau pergi dan gak akan kembali,” ujar Qila menangis diiringi senyuman. Begitu pun dengan Arkan. Ia tidak bisa menahan air matanya.

“Aku emang mau pergi, Qila. Pergi ke tempat jauh, yang gak akan pernah bisa digapai oleh siapa pun,” ujar Bara.

TBC

Ngefeel gak?
Maaf kalau nggak. Soalnya, aku bacanya biasa-biasa aja. Gak ada sedih-sedihnya.

Kalian tim sad end atau happy end?

Tim baca malam, siang atau pagi?

Jangan lupa vote, komen, dan follow akun ini.

See youuu

Sayang kalian semua

Makasih sudah mau membaca story ini.

Babay mau tidur, dah ngantukk.

2 September
23.30

Terimakasih, Aku Pamit [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang