“Kenapa gue selalu salah dan salah di mata orang-orang? Apa gue seburuk itu!?”—Abimael Bara Valerin.
•••
“Setidaknya kamu selalu mencoba menjadi orang baik meski tidak dihargai. dan, teruslah menjadi orang baik meskipun orang-orang selalu jahat terhadapmu!”—Abimael Bara Valerin
•••
Makan malam kali ini terasa begitu canggung. Malam ini Alexander berada di rumah dan ikut makan malam bersama kedua putranya. Tidak ada obrolan di antara ketiganya.
“Gimana di kantor hari ini lancar gak, Pa?” tanya Arkan mengawali pembicaraan sambil memasukkan satu suap ke mulutnya.
Alexander menatap sang putra pertama. “Sangat lancar,” jawab Alexander sambil memotong daging dengan pisau.
“Papa emang the best.” Arkan kembali bersuara.
“Tapi Papa harus tetap jaga kesehatan.” Bukan. Bukan Arkan yang berbicara. Melainkan putra kedua Alexander—Bara. Namun, Alexander tidak merespon apa pun. Ia malah acuh. Sedikit pun Alexander tidak peduli dengan ucapan putra keduanya.
Bara tersenyum miris. Sudah biasa ia diperlakukan seperti ini. Jadi ia tidak memasukkan ke hati sikap papanya itu.
“Setelah lulus nanti, kamu mau kuliah di mana? Mau ke London. Jerman. Atau ke Inggris?” tanya Alexander pada Arkan kembali mengawali percakapan.
“Arkan kuliah di Indo aja, Pa. Arkan gak bisa tinggalin Papa sama sahabat-sahabat Arkan termasuk Qila.” Arkan berucap seolah-olah ingin membuat Bara marah. Sedangkan Bara yang mendengar itu hanya bisa mengepalkan kedua tangannya kuat.
“Kamu harus lebih giat lagi belajarnya biar bisa bikin Papa lebih bangga. Jangan jadi anak yang tidak berguna. Yang bisanya cuma membangkang dan hambur-hamburin uang,” sindir Alexander melirik pada Bara. Begitu pun dengan Arkan. Sepertinya keberadaan Bara di sini tidak diinginkan.
Melihat Arkan yang terlihat mual setelah melirik pada Bara, membuat Alexander kembali melihat pada putra keduanya itu. Mata Alexander langsung membulat sempurna tatkala melihat tepat di bagian hidung Bara mengeluarkan cairan kental kehitaman.
“Hidungmu!” sentak Alexander. “Pergi! Jangan buat Arkan jijik karena penyakitmu!” lanjut Alexander mengusir Bara.
Bara langsung beranjak dari duduknya dan pergi berjalan menuju kamar mandi. sedangkan Alexander membantu Arkan yang terlihat mual karena melihat darah.
***
Motor hitam milik Bara melaju dengan kecepatan tinggi. Membelah jalanan yang masih ramai. Setelah makan malam tadi yang kacau karenanya, membuat Bara memutuskan untuk pergi ke cafe. Ia butuh ketenangan. Meski sekarang bukan taman tempat tujuannya, tetapi taman itu tetap menjadi tempat yang membuatnya bisa tenang. Saat ini Bara hanya ingin suasana yang baru saja.
Bara berhenti di sebuah cafe bernama love with. Memarkirkan motornya terlebih dahulu, lalu berjalan masuk ke dalam cafe. Saat di parkiran tadi Bara melihat motor teman-temannya Arkan dan juga motor Qila. Apa mereka ada di cafe ini, pikir Bara.
Bara duduk di kursi dekat dengan jendela. Melihat ke sekitar luar lewat jendela. Di saat itu, waiters datang membawa alat tulis dan menu.
“Mau pesan apa, Mas?” tanyanya memberikan menu cafe ini.
“Ice cappucino satu,” pesan Bara melihat pada Mba Waiters. Mba Waiters pun mencatat pesanan Bara.
“Ada yang mau dipesan lagi, Mas?” tanyanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terimakasih, Aku Pamit [Tamat]
أدب المراهقين"Mungkin kamu akan bahagia jika aku pergi." "Jaga diri kamu baik-baik, aku gak suka lihat kamu terluka." "Maaf, selama ini aku memang egois." "Terima kasih untuk segalanya. Jangan lupa tersenyum meski tanpa aku." "Aku pamit, Qila." Star: 13 Agustus...