04 [✓]

4.4K 375 42
                                    

“Kamu lebih memprioritaskan orang lain! Hingga tanpa kamu sadari, aku sebagi kekasihmu merasa iri!”—Abimael Bara Valerin

•••


Qila Is mine
Online

Kamu lagi apa Qil?
Udah makan?
Qila kamu udah tidur?

Beberapa kali ia mengirim pesan pada kekasihnya, tetapi tak kunjung ada balasan. Padahal Qila sedang online. Pesan yang ia kirim masih dua centang abu-abu, yang tak kunjung centang biru. Jari-jemarinya kembali berkutat, mengetik sesuatu untuk mengirim pesan pada Qila.

Qila, kamu nggak papa kan? Kamu baik-baik aja kan? Jangan bikin aku khawatir, Qila

Di detik itu juga, dua centang abu-abu kini berubah menjadi centang biru. Akhirnya Qila melihatnya juga. Terlihat, Qila sedang mengetik.

Gue nggak papa, Bara.
Gue baik-baik aja. Gue cuma laper, tapi males seduh mie instannya.

Loh, emang Bi Inah ke mana?

Bi Inah izin pulang kampung untuk beberapa hari ke depan. Jadi, di rumah gak ada yang masakin

Jangan makan mie instan terus
Gak baik buat kesehatan
Aku ke sana sekarang
Kamu mau dibeliin apa?

Apa aja. Yang penting bisa bikin perut kenyang.

Oke, otw

Bara langsung mengambil jaket dan kunci motor yang tergeletak di atas kasur. Ia berjalan keluar, menuruni anak tangga penuh dengan semangat.

Di rumah mewah milik papanya ini, tidak ada siapa-siapa. Papanya—Alexander— jam segini masih kerja. Alexander semakin gila kerja setelah kematian istrinya dua bulan yang lalu, akibat penyakit mematikan—Leukemia—seperti yang dialami Bara saat ini. Dan jika Arkan ... entahlah, Arkan jam segini biasanya belum pulang. Di rumah ini hanya ada pak satpam, itu pun menjaga gerbang rumahnya. Bara semakin kesepian setelah ibunya meninggal.

“Kalau Papa tanya Bara ke mana, bilang aja Bara ke rumah Qila,” ujar Bara menitip pesan pada penjaga gerbang rumahnya.

“Siap, Den,” ucap Mang Cecep—satpam rumah kediaman keluarga Valerin.

Bara melajukan motornya. Dan mang Cecep pun kembali menutup gerbang.

***

Bara berhenti di sebuah rumah mewah yang tak jauh besar dengan rumahnya. Ia turun dari motor, dan melepas helm fullface. Bara melangkah, mendekati penjaga gerbang rumah Qila dengan membawa sebuah kantong kresek yang di dalamnya entah apa.

“Pak, udah makan?” tanya Bara pada penjaga gerbang itu.

“Belum, Den,” ujarnya. Dia—Pak Dadan. Penjaga gerbang rumah Qila.

“Ini, Pak, dimakan. Tadi kebetulan saya beli buat Qila, tapi beli lebih.” Bara memberikan kantong kresek berwarna putih itu, pada Pak Dadan. Namun, Mang Dadan belum juga menerimanya.

“Tapi ... Den.” Pak Dadan merasa tidak enak. Sudah sering Bara seperti ini padanya. Menurutnya, Bara anak yang sangat baik.

Terimakasih, Aku Pamit [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang