“Terimakasih untuk lelaki fiksi ku, sudah menjadi lelaki terhebat meski tidak nyata. Aku akan terus mengingat kebaikan yang kamu perbuat dengan tulus tanpa pamrih.”— Author-nya
•••
Pemakaman berlangsung haru pilu. Semuanya ikut mengantarkan Bara ke peristirahatan terakhir kalinya, kecuali Qila. Gadis itu, semakin histeris tatkala Bara akan segera dimakamkan. Sekarang Qila berada di rumahnya. Gadis itu disuntik penenang.
Semua orang memakai baju serba putih. Pemakaman berjalan dengan lancar. Dan semuanya sudah selesai. Kini hanya tersisa Arkan, Alexander, Oma Mira, Luna, Dika, Fahri, dan kedua orangtua Qila. Teman kelas Bara dan teman Arkan sudah pada pulang.
Luna melangkah mendekati Arkan dengan raut wajah sendu. Ikut merasakan sakit ketika ada kabar jika Bara telah pulang kepada Sang Pencipta.
“Gue turut berduka atas musibah yang sudah menimpa keluarga lo. Semoga keluarga lo diberi ketabahan,” ujar Luna berbelasungkawa atas musibah yang menimpa keluarga Arkan.
“Makasih, Lun.” Arkan menjawab diiringi senyuman singkat.
“Sorry, gue gak bisa lama-lama. Gue masih ada urusan yang gak bisa ditunda,” izin Luna merasa sangat tidak enak.
“Gapapa, Luna. Lo ke sini aja gue sangat berterima kasih,” ujar Arkan.
“Ya udah gue pamit dulu, Ar,” pamit Luna.
“Ar, gue pamit pulang duluan. Gue harus antar Luna,” pamit Dika.
“Iya, gapapa. Makasih udah bantuin gue,” ujar Arkan. Luna dan Dika pergi berlalu. Begitu pun dengan Fahri. Ia izin pamit juga pada Arkan.
***
Arkan masuk ke dalam kamar, berniat untuk melihat kondisi Qila. Gelap dan sunyi. Pertama kali yang ia rasakan ketika masuk ke dalam. Edaran pandangannya terhenti tepat di sudut kamar. Ia melihat Qila sedang duduk seraya memeluk lututnya. Gadis itu terisak di tempat.
Arkan mengusap lembut Surai milik Qila. Namun, Sang empu tidak merespon apa-apa. Qila tetap diam dengan isakannya.
“Qila,” lirih Arkan memanggil. Di detik itu Qila mendongkak.
“Bara,” sahutnya menyebut Arkan dengan sebutan Bara.
“Gue Arkan, Qila,” koreksi Arkan, ikut berjongkok di hadapan Qila.
“Bara ke mana?” tanyanya dengan raut wajah sendu. Hidungnya memerah. Dan, matanya sudah sangat sembab.
“Bara udah dimakamkan. Dia udah tenang.” Arkan terluka melihat Qila seperti ini. Hatinya seperti disayat.
“Gak! Gak mungkin.” Qila beranjak Berdiri, membuat Arkan juga mengikutinya. “Gue mau ketemu Bara. Gue rindu sama dia. Gue pengen peluk dia,” Racauan-racauan Qila terdengar sangat menyakitkan. Mata lelaki itu sudah dibaluti cairan sebening kristal.
“Jangan kayak gini, Qila. Lo harus terima kenyataan ini.” Arkan menarik Qila ke dalam dekapannya. Sedangkan Qila sudah terisak sambil memukul-mukul pelan dada bidang Arkan. Di saat itu, kedua orangtua Qila datang.
“Na, Arkan gimana keadaan Qila? Apa kita perlu memanggil psikiater?” tanya Nesya dengan raut wajah sendu melihat anaknya seperti itu.
Sejenak Arkan menatap Qila. Kemudian beralih menatap kedua orangtua Qila.
“Jika itu yang terbaik buat Qila, silahkan saja,” ujar Arkan.
***
Satu Minggu sudah berlalu ....
Gadis dengan rambut yang terikat ke belakang menjadi satu itu, terduduk di kasur empuk. Ia memeluk kedua lututnya, menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Setelah diperiksa ke psikiater, Qila mengalami gangguan mental pascatrauma. Qila disarankan agar ditangani secara khusus ke rumah sakit jiwa di Malaysia. Namun, Arkan menolaknya. Ia akan merawat Qila dengan tangannya sendiri. Sebagai pengganti Bara yang telah pergi.
“Qil, makan dulu yuk,” ujar Arkan membawa nampan. Terdapat satu piring berisi makanan dan satu gelas air.
Tidak ada respon sedikit pun dari Qila. Arkan menaruh nampan itu terlebih dahulu ke atas nakas.
“Qila ... Lo harus makan. Jangan kayak gini terus.” Arkan mengusap lembut surai milik perempuan itu.
Qila mendongkak menatap Arkan. “Bara,” lirihnya memanggil Arkan dengan sebutan Bara.
“Gue Arkan, bukan Bara,” koreksinya dengan nada suara lembut.
“Ar, Bara ke mana? Kenapa dia gak temuin gue? Bilang sama Bara kalau gue rindu,” ujar Qila sangat lirih.
“Qila, Bara udah gak ada. Dia udah tenang di sana. Lo harus terima kenyataan itu,” jelas Arkan untuk kesekian kalinya. Qila selalu seperti ini. Memanggil Arkan dengan sebutan Bara.
“Pergi? Gak mungkin Bara tinggalin gue.” Ucapan Qila diiringi tangisan, kemudian tertawa. Pancaran sorot matanya memancarkan kesakitan yang mendalam.
Qila kembali menangis dibarengi kekehan. “Jangan becanda. Kenapa lo suka banget keterlaluan bercandanya?” Qila tertawa kecil.
Melihat seperti ini Arkan dibuat terluka. Orang-orang di sekitar Arkan meninggalkannya. Alexander semakin Gila kerja. Oma Mira kembali tinggal di luar negri. Sedangkan kedua orangtua Qila kembali ke Jerman, menitipkan Qila padanya. Kini hanya Qila yang masih bersamanya. Dika, Fahri, dan Luna fokus sekolah. Paling cuma sebentar melihat kondisi Qila.
“Maafin gue, Bar. Selama ini gue punya banyak salah sama lo. Mungkin ini balasan buat gue yang suka jahat. Lo yang tenang di sana. Gue akan menjaga Qila menggantikan lo, sampai Qila kembali sembuh. Mungkin ini akhir dari segalanya. Kisah yang berakhir duka,” batin Arkan mencoba memberi ketenangan pada Qila yang sejak tadi menanyakan Bara.
The End
Sudah tamat. Gak nyangka banget, meski pun ceritanya amburadul.
Maaf gak ngefeel. Aku baca dari awal gak ada sedih²nya.
Sok komen, keluarin kejelekan cerita ini.
Makasih sudah mau membaca story ini dari awal sampai akhir.
Star: 13 Agustus 2021
End: 4 September 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Terimakasih, Aku Pamit [Tamat]
Ficção Adolescente"Mungkin kamu akan bahagia jika aku pergi." "Jaga diri kamu baik-baik, aku gak suka lihat kamu terluka." "Maaf, selama ini aku memang egois." "Terima kasih untuk segalanya. Jangan lupa tersenyum meski tanpa aku." "Aku pamit, Qila." Star: 13 Agustus...