13

3.4K 311 12
                                    

“Sepertinya, ketentraman tidak memihak pada hubungan kita.”Abimael Bara Valerin.

•••

Dia selalu ada di saat kamu membutuhkannya. Namun, kamu selalu tidak ada di saat dia membutuhkanmu.”—Author-nya.

•••

Terbaring di atas rumput hijau. Menjadikan kaki lelaki itu sebagai bantal. Tangan yang tak pernah menampar seorang wanita, kini tengah mengusap lembut Surai milik seorang perempuan yang sangat dicintai.

Kini sepasang kekasih yang selalu dilanda masalah sedang terdiam di taman memandang indahnya sunset.

Keduanya saling melempar gurauan diiringi tawa. Bahagia. Ya, itu yang keduanya rasakan saat ini. Bara berharap hubungannya dengan Qila tentram terus seperti ini. Namun, selalu aja ada masalah yang dihadapi di antara dirinya dan Qila.

Qila beranjak dari tidurnya, lalu bersandar di dada bidang  Bara. “Hari ini gue seneng banget,” ujar Qila tanpa melihat lelaki yang menjadi sandarannya saat ini.

Why?” tanya Bara  menaruh dagunya di ceruk leher Qila. Kedua tangannya memeluk tubuh Qila dari belakang.

“Papa sama Mama semalam pulang,” jawab Qila antusias. Bibirnya melukis lengkungan indah. Siapa saja yang melihat bisa terpesona.

“Serius?” Bara kembali bertanya. Qila menoleh ke belakang, lalu mengangguk mengiyakan.

“Aku juga turut bahagia,” ujar Bara seraya mengecup Surai milik Qila. menghirup aroma wangi vanilla.

“Papa sama Mama juga bakal tinggal di Indo selama sebulan, loh.” Raut wajah perempuan itu terlihat sangat bahagia. Bagaimana tidak. Orangtua yang sangat Qila rindukan kini pulang. dan akan tinggal bersamanya lagi meski cuma sebulan. “Tapi ada syaratnya, Bar,” lanjut Qila membuat Bara menyerngit. Begitu pun terlihat perubahan di raut wajah Qila. Ia terlihat sedih tatkala mengatakannya.

“Syarat? Syarat apa?” tanya Bara penasaran.

Qila berbalik, menghadap Bara. “Gak tau. Papa sama Mama gak kasih tau syaratnya apa. Yang jelas mereka akan tinggal sebulan, kalau gue menyetujui syarat yang akan nantinya mereka berikan.” Qila menatap Bara sendu. Ada rasa takut dari sorot mata perempuan itu.

“Kamu menyetujui gitu aja syaratnya?” tanya Bara dengan raut wajah gelisah.

“Ya iyalah, Bara. Gue bakal lakuin apa aja asalkan Papa sama Mama tinggal sama gue meski hanya untuk sebulan,” jelas Qila.

“Kenapa kamu menyetujui gitu aja, Qila.” Ada getaran takut dari ucapan Bara.

“Karena gue pengen mereka tinggal bareng gue meski tuk sebentar Bara. Emangnya kenapa?” Qila beranjak berdiri, membuat Bara pun mengikutinya.

“Karena gue takut syarat itu adalah sebuah perjodohan. Perjodohan antara kamu sama Bang Arkan,” jelas Bara menatap Qila dengan tatapan takut kehilangan.

Qila menyerngit tak paham. “Maksud lo apa bicara kayak gitu?” Qila benar-benar tak paham dengan ucapan Bara barusan.

Bara memegang kedua bahu Qila. Menatapnya dengan tatapan teduh. “Papa bilang kalau dia akan jodohkan kamu sama Bang Arkan. Kata Papa juga orangtua kamu sudah sepakat. Dan waktu itu Papa nyuruh aku buat mutusin kamu, Qila,” jelasnya. Di detik itu Qila menyentak tangan Bara yang memegang kedua bahunya.

“Gak. Gak mungkin Bara!” Qila tidak percaya begitu saja. “Gak mungkin Mama sama Papa setega itu. Gue harus tanya sama mereka.” Qila pergi berlari meninggalkan Bara yang masih berdiri di tempat. Qila sepertinya terpukul dengan ucapan Bara.

Terimakasih, Aku Pamit [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang