05 [✓]

4.3K 370 31
                                    

“Menunggu memang melelahkan. Namun lebih melelahkan ketika yang kita tunggu malah asik bersama orang lain.”—Abimael Bara Valerin.

•••

Untuk apa janji, jika akhirnya mengingkari!”Abimael Bara Valerin.

•••

Sejak tadi Bara bolak-balik, ke sana ke mari bak setrikaan. Bara menunggu Qila yang tak kunjung pulang. Kurang lebih sudah dua jam ia menunggu cewek itu. Bara tidak mengikuti Qila. Ia memutuskan menunggu di rumahnya saja. Karena Bara pikir, Qila akan sebentar.

Bara duduk di sofa ruang tamu. Bara merogoh saku celana yang terdapat ponsel di dalamnya. Pesan yang Bara kirim tak kunjung dilihat oleh Qila. Pesannya masih dua centang abu-abu.

Terlihat dari raut wajahnya, lelaki itu sangat khawatir. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada gadis yang sangat ia sayangi. Bara melacak lokasi keberadaan di mana Qila saat ini. Untungnya saat itu, Bara Add location meskipun secara diam-diam.

Bara mengernyit tatkala lokasi yang menunjukkan keberadaan Qila sekarang. Kenapa Qila ada di rumahnya, pikir Bara.

Tanpa berpikir panjang lagi, Bara beranjak berdiri. Ia berjalan keluar rumah Qila. Cowok itu berniat pulang untuk memastikan kondisi kekasihnya.

“Makasih, Pak,” ucap Bara berterima kasih pada pak Dadan yang sudah membukakan pintu gerbang untuknya. Pak Dadan mengangguk diiringi senyuman seraya menjawab, “Sama-sama, Den.”

Bara kembali melajukan motornya. Kini ia sudah semakin jauh, sampai pak Dadan sudah tak melihatnya.

***

Motor Bara berhenti tepat di depan rumahnya. Ia melihat ke sekitar, ternyata Qila masih ada. Buktinya motor cewek itu masih ada di depan rumah Bara.

Bara berjalan masuk ke rumah. Ia ingin segera menemui Qila. Bukan karena apa-apa. Ia takut Qila kenapa-napa, dan hanya ingin melihat Qila dalam keadaan baik-baik saja.

Bara terus berjalan sampai kakinya terhenti di ambang pintu. Kini gadis yang Bara khawatirkan tengah tertawa lepas bersama kakaknya sendiri. Kelihatannya Qila sangat bahagia dengan kakaknya.

Bara melangkah mendekati keduanya yang sedang duduk di sofa. Bahkan kehadirannya saat ini tidak mereka sadari.

“Hm.” Deheman Bara seketika membuat keduanya berhenti tertawa. Arkan dan Qila menoleh ke sumber suara.

“Ya ampun Bara, gue lupa!” Qila beranjak berdiri seraya menepuk jidatnya. “Maafin gue Bar. Gue lupa kalau lo nungguin gue di rumah.” Qila benar-benar lupa kalau Bara menunggunya di rumah. Setelah membantu Arkan, dengan bodohnya Qila mengiyakan gitu aja, ajakan Arkan.

Bara tersenyum tipis. “No problem, Qilla.” Dengan singkat Bara menjawab.

“Yaelah, bilang aja lo marah!” Bukan. Bukan Qila yang bicara. Melainkan si pengacau Arkan.

Bara dan Qila melirik pada Arkan yang sedang melipatkan kedua tangannya di depan dada. Tidak ada rasa bersalah di raut wajah Arkan.

“Bener kata Arkan. Bilang aja kalau marah, Bar,” ujar Qila dengan raut wajah merasa bersalah.

“Enggak kok, Qila. Aku gak marah.” Bara menghentikan sejenak ucapannya. Lalu, menghela napas dalam. “Udah jam 23.15, pulang yuk? Udah malam. Aku anterin.” Meskipun Bara tengah kecewa saat ini, tetapi tetap saja ia tidak akan membiarkan Qila pulang sendirian. Lagi pula sekarang udah malam.

Terimakasih, Aku Pamit [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang