Chapter 19

4.4K 331 36
                                    

[Im going feel down /sniff/ next. Happy Reading. *Begini Ya, kalau kalian baca ini lalu berpikir 'Nggak masuk diakal banget sih.' Atau 'Ini asal usulnya gimana? Kenapa jadi begini?' Please:) Ini Fanfiction, aku buat cerita buat have fun. Kalau ada yang ngawur atau ga jelas aku minta maaf. Setelah ada waktu luang dan semua cerita tamat aku akan revisi semua cerita agar lebih baik dan enak dibaca. Ku camkan☺ INI MPREG demi kelangsungan dan tamat cerita ini lalu aku bisa lanjut cerita lain dan revisi cerita yang lain juga. Jika banyak kesalahan aku akan memperbaikinya sesegera mungkin. Okey? Untuk pembaca, sekian terima kasih.]

****

- Yang terjadi, biarlah terjadi dan nikmati apa yang telah terjadi.-

Ciel POV'S

Tidak tahu, aku tak tahu bagaimana caranya memperbaiki situasi ini. Kalian tahu? Bantu aku ...

Setelah tragedi ketidaksengajaan--apa itu? Ralat. Setelah kejadian karena aku menguping Daddy di kamar mandi, kemarin-lah akhir nya. Tapi aku tak ingin munafik, banyak kenikmatan yang membuatku melonjak tinggi tak karuan. Tidak! Lupakan itu.

Semenjak perihal itu, aku dan Daddy agak canggung. Jika kami tak sengaja bertatap wajah atau berpapasan, pasti kami saling membuang muka seperti orang asing. Argh!! Aku muak, ini seperti bukan kita saja. Cukup, apa harus memperpanjang kecanggungan ini?

Aku ingin mengakhiri nya, tapi aku sendiri pun tak tahu harus bagaimana. Karena, aku sendiri juga malu setiap ingin berbicara pada Daddy. Sial, padahal kesempatan bicara itu banyak, hanya saja tak ada yang ingin buka suara disini. Baiklah!

"Dad--Huek!"

Hah?! Kenapa ini? Maksudku, perut ini rasanya bergejolak tak karuan, ada yang ingin keluar, rasanya sungguh tak enak sekali. Aku lihat Daddy tergopoh-gopoh menghampiriku, melempar ponsel nya ke sofa.

"Ciel! Ada apa? Kau sakit? Mana yang sakit?"

Di hujani pertanyaan seperti itu ... Aku malah tambah pusing mendengarnya. Tapi, Daddy mengkhawatirkanku, semuanya mendadak berputar dan mual.

"Dad, Aku mual, pusing, ingin muntah."

Ujarku pada Daddy dengan manja, tubuh ini luruh begitu saja ke pelukannya. Daddy mengangguk, mungkin mengerti apa yang ku katakan, hanya sebentar ku merasa tubuhku terhentak dan kemudian merasa ringan.

Daddy menggendongku, sebelumnya kudengar dia sedang berbincang dengan rekan kantornya lewat ponsel. Apa dia meninggalkan itu semua demi aku? Secara, bahkan panggilan itu belum berakhir dan Daddy langsung membanting ponselnya panik lalu mendatangiku.

"Mau kerumah sakit?" Tanya Daddy dengan sangat lembut, kecanggungan kita berakhir begitu saja. Aku tak masalah, malah ini setidaknya lebih baik daripada sepi dan merasa gugup setiap aku berada di dekat Daddy.

Semua pelayan sedang sibuk pada pekerjaannya, makanya di ruangan sebesar ini aku selalu menganggap hanya kita berdua. Aku menggeleng, mual dan pusing ini akan menghilang sebentar lagi, aku hanya perlu beristirahat. Ya, istirahat, makan, minum obat lalu tidur dan terbangun dengan tubuh yang kembali segar bugar.

"Tidak apa, Dad. Ciel hanya perlu istirahat."

Daddy mengangguk singkat, dia menggendongku ala bridal style menuju kamar dan menaruhku di kasur dengan lembut. Selimut ditarik hingga menutupi sampai batas bawah dagu, Daddy mengecup dahiku kemudian tersenyum.

"Istirahatlah."

Aku pun mengangguk, menatap punggung tegap Daddy yang menghilang seiring pintu kamarku yang tertutup. Ya, istirahat disaat sakit itu memang perlu, jika kalian memaksakan untuk terus melakukan kegiatan malah tubuh itu semakin sakit dan lemah.

Namun, sakit ini berlangsung lama, selama dua minggu. Kupikir, setelah makan, minum obat lalu istirahat yang rutin kulakukan semuanya akan sembuh. Salahnya, aku selalu menolak ketika periksa ke dokter. Seminggu yang lalu, Daddy sudah mengurus semua berkas-berkas ku untuk masuk ke sekolah umum.

Aku tak perlu lagi merasa bosan sekolah privat dirumah, Daddy mendengarkanku, aku akan punya banyak teman, punya banyak kegiatan ini dan itu. Daddy hanya berpesan jaga diri baik-baik, karena dunia luar tak seindah yang kuinginkan ketika merengek pada Daddy dan menbayangkan nya. Keinginanku terpenuhi, aku sangat-sangat tercukupi hidup bersamanya.

Antar jemput yang menggunakan mobil, jam tangan digital seperti handphone yang memiliki banyak akses aplikasi, lalu handphone canggih baru yang Daddy berikan untukku.

"Kenapa Ciel selalu menolak ketika Daddy menyuruhmu periksa ke dokter? Apakah kamu takut akan disuntik?"

Ya, itu. Tak ada alasan mengapa aku takut disuntik? Kenapa? Ada yang mau bilang kalau takutku perihal itu adalah hal kekanak-kanakkan? Semua orang mempunyai phobia tersendiri, apakah phobia ku termasuk hal yang bodoh? Ya, meski aku sendiri tak mempunyai pengalaman masalah jarum suntik yang runcing itu.

"Tak akan ada yang disuntik, kecuali kalau Ciel drop dan memerlukan cairan infus. Baru kau akan disuntik, Ciel."

Aku berpikir sebentar, jika Daddy berbohong aku akan marah. Aku benar-benar takut disuntik, kalau sampai sana aku benar disuntik, lihat saja. Aku mengangguk, karena seiring aku melalukan sakit ini, Daddy setiap waktu memeriksa kondisi dan menanyakan bagaimana keadaanku.

"Baiklah, tidak disuntik, ya?"

Kulihat Daddy mengangguk, karena aku merasa lebih pusing dan mual yang parah. Untuk sekolah hari ini, Daddy meminta izin kepada walikelas ku untuk memberi tahu pada ketua kelas. Jadi, jika ada guru yang menanyakan aku kemana, ada ketua kelas yang menjawabnya. Aku belum terlalu kenal, bagaimana teman teman sekolahku, apakah mereka baik? Karena sekolahku baru berlangsung dua minggu.

Daddy sudah siap dengan pakaian casual nya, aku tak perlu berganti pakaian. Hanya kaos dengan lengan pendek dan celana bahan. Mengekori Daddy keluar kamar dan menunggunya di halaman rumah selagi Daddy mengeluarkan garasinya. Setelah mobil putih terpampang di hadapanku, aku membuka pintu mobil dan duduk di samping Daddy yang sedang menyetir.

Mobil melaju membawa kami ke rumah sakit yang Daddy tuju, aku tidak tau kenapa banyak rumah sakit disini. Tapi, Daddy malah lebih memilih ke rumah sakit yang jauh.

****

"Ciel Michaelis."

Aku mendapat giliran untuk periksa, Daddy mengangguk sambil mengelus bahuku.

"Tenang, hanya diperiksa."

Aku juga tidak habis pikir, di usiaku yang enam belas tahun ini kenapa masih takut untuk di suntik? Aku masuk bersama Daddy ke ruang periksa. Dokter mulai memeriksa, mengarahkan stetoskop pada dada dan juga di perutku agak lama.

"Ini--"

Daddy yang sedang menunggu memperhatikan kami pun turut bingung, aku juga. Ini? Ini apa maksudnya? Dokter memeriksa perutku agak lama sampai dia melepas stetoskop dan menggantungnya kembali pada leher.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"

Dokter tersenyum, menoleh padaku dan kembali berpaling pada Daddy.

"Anak Tuan Michaelis?"

Aku mengernyit, tentu saja aku anak Daddy, bahkan aku sudah memiliki marga nama Daddy pada namaku. Daddy mengangguk, sempat melirikku sekilas. Aku penasaran, akhirnya aku turun dari bangsal dan ikut duduk di samping Daddy. Dokter tersenyum lagi, menatap aku dan Daddy secara bergantian.

"Tuan Michaelis, selamat. Anak anda sedang mengandung."

.
.
.
.
.
.

TBC OR END??

Hola, hola:) peminat ceritaku makin sedikit hiks. Gapapa publish mah publish aja ya Kuu.. Ga berniat tamat di Chap 20 karena ada ide mendadak:) sankyuu.. ketemu lagi di next chap. Oya, Kuu meminta pada kalian, meski semua cerita Kuu amburadul Kuu harap kalian pun tetap menilai. Mohon jika kalian menemukan cerita Kuu dengan alur yang ga nyambung, typo atau keselarasan kata tidak sesuai mohon komentar saja. Karena meski ini cerita BL Kuu perlu memutar otak untuk membuatnya, maklum nulis cerita tak hanya satu.

21-08-2021
11 : 03

MY DADDY [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang