S1 - Tragedi Saat Hujan

17 4 10
                                    

Akhir dari kehidupan di dunia adalah kematian. Aku, kamu, dan kita semua akan mengalami itu. Hanya saja, tidak ada yang tahu. Itu rahasia, hanya Tuhan yang mengetahuinya.

Solitude by AndharaRP

🕯🕯🕯


Hari ini adalah hari Senin. Hari di mana seluruh murid dan guru, pun kepala sekolah hadir dalam upacara pengibaran bendera. Hari yang dibenci hampir sebagian murid sekolah. Karena mereka harus berdiri tiga puluh menit lamanya. Belum lagi jika jadwal pelajaran mereka adalah matematika, fisika, dan kimia berturut-turut. Kepala mereka panas. Seolah keluar asap. Ngebul.

Hari Senin kali ini semakin menyebalkan, karena teriknya mentari pagi. Membakar wajah-wajah mereka. Ainsley menatap sebal ke arah barisan guru. Kenapa guru-guru selalu mendapatkan tempat yang sejuk? Bukankah ini tidak adil?

Dan lagi, kenapa amanat kepala sekolah itu lama sekali? Kaki mereka semua pegal. Sudah tidak ada yang diam. Sebagian besar menggerakkan tubuhnya ke kanan-kiri secara pelan. Menunduk, menendang kerikil. Bahkan ada yang pura-pura pingsan demi mendapatkan teh manis hangat di UKS.

Ainsley juga ingin seperti itu. Tapi dia takut akan tertawa saat digotong oleh anak PMR. Bukankah itu akan memalukan? Belum lagi, pasti dia akan mendapat hukuman.

Upacara kali ini adalah rekor. Mereka baru bisa duduk di lapangan saat pukul delapan. Empat puluh lima menit berdiri di bawah teriknya matahari itu membuat mereka sangat lelah. Ditambah kelas Ainsley pada jam pelajaran pertama adalah matematika. Bisa dibayangkan betapa pusingnya otak mereka.

Pengumuman berlangsung sepuluh menit. Tentang pemilihan ketua OSIS yang akan diadakan Senin depan. Setelah itu semua murid dibubarkan. Kembali ke kelas masing-masing.

Ainsley berjalan berdampingan dengan sahabatnya—Batavia. Ingin tahu kenapa namanya Batavia? Itu karena Ayahnya penggemar sejarah garis keras. Bahkan anak sendiri dinamai seperti itu. Orang-orang memanggilnya Tavi. Terkadang ada yang memanggilnya Bata, dan langsung mendapat tatapan tajam dari sang pemilik nama. Tidak ada yang memanggilnya Via, kecuali sang mama. Tavi tidak mengijinkan siapa pun—termasuk Ainsley—memanggilnya seperti itu.

Hanya mamanya. Dan seterusnya pun akan seperti itu.

"Aku harap Bu Sri gak masuk hari ini. Upacara tadi bikin kepalaku pusing. Kayaknya kinerja otakku sedikit berkurang." Ainsley terkekeh.

"Itu nggak mungkin. Aku lihat Bu Sri baris di paling depan." Tavi yang mendengar itu langsung membelalak.

"Serius? Ah! Aku kecewa."

"Siap-siap saja. Yang penting kamu sudah mengerjakan tugas minggu kemarin."

"What?! Ada tugas? Yang mana? Ah sial! Aku belum ngerjain." Tavi mengacak-acak rambutnya. Kali ini gadis itu mewarnai rambutnya dengan warna cokelat kemerahan. Dan memotongnya jadi pendek.

"Buku paket halaman 50 bagian A. Nanti aku kasih contekannya." Mata gadis itu menatap Ainsley dengan berbinar. Gadis itu nyengir. Merangkul Ainsley.

"Terima kasih. Kamu memang sahabat terbaik."

"Ya ya, aku ini memang baik." Keduanya saling bertatapan. Kemudian tertawa. Entah karena apa.

Terkadang bahagia itu sederhana. Saling tatap dengan sahabat saja bisa langsung tertawa. Padahal mereka tidak tahu alasan mereka tertawa. Itu refleks.

SolitudeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang